blank
Keberadaan Lionel messi di Camp Nou, markas Barcelona begitu dipuja. Foto: elnacional

blankOleh: Amir Machmud NS

// inikah saat dia kembali ke habitat sejati?/ sejauh dia pergi/ jalan sejarah akan menuntun/ ke dongeng abadi…//
(Sajak “Dongeng Leo Messi”, 2023)

PERTAUTAN Lionel Messi dengan Barcelona adalah dongeng tentang gravitasi hati berkekuatan spiritual telepati.

Kemungkinan klimaks kembalinya La Pulga ke Camp Nou memang masih menunggu apa yang akan terjadi di pengujung perikatan dengan Paris St Germain, 30 Juni nanti, namun gambaran tidak adanya sinyal perpanjangan kontrak dengan Les Parisiens adalah kata lain keniscayaan “Messi bersiap balik ke habitat”. Dalam perkembangan terakhir, friksi dengan manajemen Les Parisiens atas “pembangkangan” sang pemain terhadap larangan pergi ke Arab Saudi sebagai Duta Wisata memicu disharmoni tersendiri.

Ketika dua musim lalu dia (terpaksa) meninggalkan Catalunya sebagai konsekuensi penataan struktur gaji Barcelona, banyak yang menyayangkan apabila peraih tujuh Ballon d’Or itu menutup karier di luar Barcelona.

Bukankah sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan pemuncakan karier Messi tak lepas dari perjalanan Blaugrana? Sebaliknya, kemonceran cahaya Barca juga tak terpisahkan dari kontribusi hebat Leo Messi.

Itulah realitas intrinsik kekuatan gravitasi yang saling mengikat. Telepati dan “spiritualitas” kosmis tampaknya menyatukan rasa dua entitas itu.

Dalam ungkapan narasi respek, Messi belum tentu sedahsyat sekarang andai tidak melewati proses pembentukan diri di La Masia dan Barca. Sebaliknya, sejarah klub tersebut dari 2006 hingga 2014 pun bisa jadi tidak semoncer itu tanpa keberadaan Messi.

Logika profesional dalam industri sepak bola akan mengabaikan nilai-nilai “rasa”: seorang pemain memilih pindah ke klub mana pun, lalu kapan mengakhiri karier dan di mana. Di balik itu, ada kosmologi chemistry yang tak mudah diabaikan, ketika daya hidup industrial berkembang dengan nilai-nilai respek.

Pun, bukankah budaya pop akan memosisikan estetika nilai dari relasi manusia dengan ekosistemnya? “Ceruk” itu menjadi bagian eksploratif dalam magnet mediatika.

Begitu pun kisah besar relasi Leo Messi dengan Barcelona, yang sarat dengan elemen-elemen ceruk industrial.

Penahbisan GOAT
“Penahbisan” Messi sebagai The Greatest of All Times (GOAT) menemukan momen justru ketika dia berstatus sebagai pemain Paris St Germain. Dia meraih pengakuan yang sejatinya bernilai mediatik itu ketika mengantar Argentina menjuarai Piala Dunia 2022 di Qatar.

Dengan level kebugaran yang sudah berbeda karena faktor usia, Messi mengemas performa dengan kelebihan lain, sebagai “pusat pelayanan” berupa assist dan pengaruh terhadap ritme dan konfidensi para pemain yang mengelilinginya, baik di PSG maupun di tim nasional Albiceleste.

Raihan gelar puncak di Qatar pun mengakhiri spekulasi panjang tentang siapa yang lebih baik: dia atau mendiang Diego Maradona? Juga tuntas menjawab perdebatan yang bagai tak berujung tentang siapa lebih jago: Messi, atau Cristiano Ronaldo?

PSG ikut “menikmati” sukses Messi di Qatar, walaupun Barcelona-lah yang realitasnya membubungkan nama La Pulga.

Sejak momen indah Qatar 2022 itu, menjelang berakhirnya kontrak, muncul empat opini spekulasi tentang masa depan Messi. Akankah dia bertahan di Parc des Princes? Bertualang ke MLS untuk relaksasi menjelang pensiun? Memenuhi pinangan Al Hilal di Liga Pro Saudi dengan gaji selangit? Atau kembali ke Camp Nou dengan segala konsekuensinya?

Spekulasi terakhir itu sempat gencar diwartakan bakal berlangsung. Dan, pastilah Barcelonistas lebih menyukai pilihan tersebut, meskipun tak semudah itu prosesnya. Messi harus bersedia menerima gaji jauh lebih rendah dari yang dulu dia terima. Penyesuaian itu terkait dengan kondisi finansial Barca dan keseimbangan gaji pemain yang harus sesuai ketentuan La Liga dan UEFA.

Messi juga harus siap tidak lagi menjadi “pemimpin”, karena ban kapten sudah melilit di lengan Sergio Busquets dengan wakil Jordi Alba.

Lalu apakah Messi tak tergiur tawaran spektakuler Al Hilal? Di ujung karier Messi bisa meraup gaji Rp 6,5 triliun per musim sebagai rekor bayaran; namun menurut info terbaru, istri Messi — Antonella Rocuzzo — tidak bersedia tinggal di Saudi.

Kisah Tiki-Taka
Di luar spekulasi-spekulasi itu, kembali ke Barcelona adalah keniscayaan yang bagai dongeng impian. Memang ada konsekuensi-konsekuensi manajerial dan tim yang harus dihadapi Leo Messi, juga Barcelona, bagaimanapun dongeng salah satu pemain terhebat dalam sejarah itu tak lepas dari kisah tim seelok Barca dengan permainan tiki-taka-nya.

Pelatih Pep Guardiola seolah-olah menciptakan taktik bermain yang “menyentral” untuk dan dari Messi. Semua bermain untuk Messi, sekaligus menjadikan Messi sebagai pusat gravitasi yang menghidupkan permainan Barca. Artinya, Messi juga bekerja untuk semua.

Dengan rekor gol, assist, dan aksi-aksi eksepsional, Leo Messi ibarat sosok “lakon” dalam dongeng indah tentang Barcelona. Dalam penghayatan kosmis, telepati itu membentuk “kolaborasi spiritual” yang entah kapan bisa terulang dalam sejarah hidup sebuah klub dengan ikon abadi seorang pemain.

Kita sama-sama menanti Lionel Andres Messi kembali ke habitat sejati. Usianya sudah 35 — senjakala bagi pemain bola –, namun cahaya karisma, nalar skill, tanggung jawab, dan eksistensi sebagai pemimpin dan pembeda masih akan menoreh warna yang tak sembarang bintang mampu memberikan…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah