Oleh: Amir Machmud NS
// tengoklah jiwa-jiwa bergelora/ hasrat membuncah/ hati yang menguncup merana/ di relung-relung sepak bola…//
(Sajak “Sejuta Rasa”, 2023)
SADIO Mane baru saja tersadar, habitatnya bukanlah di Allianz Arena, bukan di Muenchen, bukan di antara para kesatria Die Roten.
Rupanya, hati Mane tak tertangkup di komunitas baru itu. Dia berselisih dengan Thomas Tuchel, dan perseteruannya dengan Leroy Sane menjadi gambaran betapa Mane masih “orang lain” di lingkungan elite Bayern Muenchen.
Pastilah sesal ia rasakan baru belakangan, bukan pada saat dengan gagah meninggalkan Anfield Road, bukan ketika ia merasa kurang cocok dengan Mohamed Salah, bukan pula karena pelatih Juergen Klopp mulai punya opsi nama penyerang lain seperti Diogo Jota, Darwin Nunez, atau Cody Gakpo.
Bukankah meskipun acapkali terjadi friksi, Mane dan Mo Salah adalah sepasang “rajawali Afrika” yang telah membuktikan kontribusi nyata buat Liverpool?
Hati bintang asal Senegal itu kini menguncup, jiwanya merana. Akankah habitat lamanya akan memanggil untuk kembali merasai gelora fans, “You’ll never walk alone?”
Sepak bola tak sepi dari jiwa, hati, dan rasa. Yang bahagia dan yang menguncup. Yang gundah dan yang merana.
Bahkan seorang seniman sekaliber Lionel Messi pun hari-hari ini sedang gelisah menunggu kepastian jalan: mungkinkah betul-betul terealisasi peluang kembali ke “rumah pusaka”, Barcelona? Semewah itu rumah baru di Paris St Germain, tak semembuncah itu hati dan hasratnya untuk mengarungi hari-hari indah.
Persoalan struktur gaji di Camp Nou menjadi kendala bagi kepulangannya, dan kini sedang dicarikan jalan keluar. Dia dihadapkan pada opsi-opsi di pengujung kebersamaan dengan PSG Juni nanti: perpanjangan kontrak, kembali ke Barca, memenuhi pinangan mewah Al Hilal di Liga Pro Saudi, atau bertualang ke MLS.
Dalam jiwanya, bergelora impian kembali ke Barcelona…
Eric ten Hag
Di sudut yang lain, anak-anak Manchester City diliputi jiwa menggelora menyiapkan leg pertama semifinal Liga Champions melawan Real Madrid, 10 Mei mendatang.
Setelah Mei, dalam kegairahan kematangan permainan mereka menatap final Piala FA melawan seteru “merah” dari kota yang sama.
Ya, di tengah realitas betapa Manchester Biru dan Manchester Merah sedang dalam sebuah paradoks. Antara gairah dan nyala api, dengan gundah hati.
Ah, sekuncup itukah hati anak-anak Eric ten Hag menghadapi gambaran keperkasaan pasukan Pep Guardiola?
Seimbangkah “Derby Manchester” dengan fakta kekuatan saat ini? Ataukah dalam industri kompetisi sepak bola sekarang “teks” akan luruh di hadapan hasrat dan tekad?
Jago-jago blunder seperti Harry Maguire dan David de Gea boleh jadi akan menguncup di hadapan “ke-monster-an” Erling-Burt Haaland dan Kevin de Bruyne. Namun, ketika sedang dalam hari yang “normal”, bukankah keduanya adalah juga pahlawan-pahlawan yang sulit tertaklukkan?
Sejuta Rasa
Sejuta rasa sedang mengembang di hampir semua liga yang menanti hari-hari penentuan.
Napoli bersama Luciano Spaletti tinggal menghitung hari untuk perayaan scudetto Liga Serie A yang — dari logika matematikanya –, takkan terlepas dari genggaman. Sudah 33 tahun menanti, Spaletti bersama anak-anak ajaibnya seperti Victor Osimhen, Kim Min-jae, dan Kvitcha Kvaratskhelia yang akan memecahkannya.
Barcelona pun menanti kembalinya trofi setelah lima tahun kering prestasi. Jiwa Xavi Hernandez membuncah sebagai sosok yang dinilai paling cocok setelah era gilang gemilang Pep Guardiola.
Perpacuan di Liga Primer agaknya sudah terbaca. Susah bagi Arsenal membangkitkan lagi konsistensi dari kejaran Manchester City. Bisa terbayangkan bagaimana gumpalan rasa di seputar Guardiola, Mikel Arteta, Martin Odegaard, Ryad Mahrez, atau Jack Grealish.
Di Tottenham Hotspur, di Newcastle United, Liverpool, Real Madrid, dan PSG, bayangkanlah berjuta rasa sedang merebak dalam tafsir-tafsir hasrat, bahagia, juga kecewa, dan merana.
Sepak bola, sebagai ladang perasaan manusia, membentangkan semuanya…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —