blank

blankOleh: Amir Machmud NS

HAMPIR dalam setiap pembukaan Uji Kompetisi Wartawan (UKW) yang digelar oleh PWI Provinsi Jawa Tengah, Gubernur Ganjar Pranowo memberi waktu untuk hadir dan menyampaikan sambutan.

Dalam catatan saya selama mengetuai organisasi profesi wartawan provinsi ini sejak 2015, hanya enam kali dia tidak hadir untuk membuka kegiatan yang sudah 28 kali terselenggara itu.

UKW kami jadikan program mahkota dalam dua periode kepengurusan hingga 2025 nanti. Mengapa mengaitkannya dengan “kehadiran” Ganjar Pranowo, karena dia punya apresiasi, perhatian, dan keterlibatan dalam UKW.

Dari 28 kali UKW itu, enam di antaranya dibiayai lewat anggaran Diskominfo Jawa Tengah. Kerja sama itulah bentuk kolaboratif komitmen peningkatan sumber daya manusia wartawan.

Komitmen yang lain direalisasi dalam bentuk lomba jurnalistik berbagai platform media, dua kali setiap tahun. Secara langsung maupun tidak langsung, event itu merupakan bagian dari ikhtiar peningkatan kapasitas SDM wartawan. Lomba dengan topik-topik kreasi pembangunan di Jawa Tengah itu sekaligus menjadi ruang untuk memberi reward kepada wartawan, tentu dalam parameter kompetensi.

“Gesekan”

Memang ada sejumlah momen “gesekan” Ganjar dengan wartawan dan media. Antara lain, tercatat pada 2013 di awal kepemimpinannya, juga dalam relasi dengan sebuah media, beberapa bulan silam.

Akan tetapi kesan arogan yang distigmatisasi oleh sebagian wartawan itu bisa dilewati dengan performa personal kemediaan yang elok.

Dari interaksi dan diskusi tentang dunia pers dengan Ganjar, saya menyimpulkannya sebagai sosok yang — diakui atau tidak diakui –punya pesona jurnalistik. Terdapat daya pikat dalam tampilan personal sebagai pemimpin dan figur publik.

Dia selalu bisa menjelaskan dinamika relasi kemediaan dengan argumentasi yang pas dan cerdas dalam pemahaman dunia jurnalistik.

Kecerdasan dan kemampuan natural orasi yang “menaklukkan panggung” adalah bentuk pengenalan lain dari seorang Ganjar Pranowo. Gaya, pilihan diksi, dan narasinya terasa “pujangga banget”, dan itu disampaikan dengan kemasan bahasa yang membumi, mudah dipahami.

Penilaian arogan sesungguhnya menjadi paradoks dengan realitas bahwa Ganjar adalah sosok “media darling”: selalu ada yang menarik setiap kali dia berkegiatan di tengah kelompok masyarakat.

Apalagi ditopang oleh “tongkrongan” personal yang dari sisi budaya pop memang “sangat mediatik”.

Mewarnai Rumah Indonesia

Saya mencatat seulas pernyataan yang dia sampaikan ketika membuka UKW PWI Jawa Tengah di Semarang, 24 Agustus 2022.

Ketika itu, dalam sambutan saya menekankan diksi “intelektualitas” untuk menggambarkan betapa penting sikap ini dalam melandasi kecerdasan etis berjurnalistik.

Aksen intelektualitas ini merupakan ungkapan kecerdasan untuk memilih di antara dilematika yang biasa kita hadapi dalam berbagai bidang kehidupan.

Bukankah pengambilan keputusan dalam menyikapi pilihan selalu kita temukan ketika menulis dan mengunggah berita.

Ganjar menekankan, wartawanlah yang sesungguhnya memberi warna seperti apa rumah bernama Indonesia.

“Memberi warna” adalah pilihan di tengah berbagai kemungkinan sikap dan arah. Ada faktor etika dan regulasi yang membedakan produk wartawan dengan informasi-informasi media sosial.

Jika wartawan tidak punya intelektualitas, tak punya kecerdasan etis, cukupkah kompetensi teknisnya menjadi pemandu untuk menyampaikan kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan?

Dalam berbagai diakusi, segi-segi itulah yang sering dia sampaikan. Maka mengapa dia “sangat berpihak” kepada pendidikan wartawan untuk meningkatkan kompetensinya.

Data, Kolaborasi

Misalnya, untuk mewawancarai Ganjar, wartawan dituntut punya kesiapan berdiskusi, dan siap data, bukan hanya mencatat dan mendengar.

Standar semacam inilah yang dia maui, barang tentu berbasis pikiran intelek dan kompetensi.

Rata-rata kepala daerah atau pemimpin seharusnya memang menerapkan sikap bertanggung jawab dalam memberi informasi kepada publik.

Data dan amatan lapangan harus akurat. Kalau sikap ini tidak dibarengi dengan profesionalitas wartawan, apa jadinya?

Sebagai pemimpin yang aktif menggunakan berbagai platform media sosial, dan menerapkan reformasi birokrasi antara lain melalui kanal-kanal aduan, sepemahaman saya Ganjar Pranowo sadar tentang kolaborasi yang tak lagi bisa dihindari antara media mainstream dengan media sosial.

Pidatonya yang memikat dalam puncak peringatan Hari Pers Nasional Tingkat Jateng 2023 di Semarang, Maret lalu juga menegaskan aksen tentang sunnatullah kolaborasi itu, sekaligus tentang etika bermedia yang tak seharusnya bergeser.

Kasus-kasus besar yang muncul, misalnya soal flexing, diawali dari ramai-ramai di media sosial yang kemudian ditangkap dan dikembangkan oleh media mainstream.

Pesan yang hendak dia sampaikan, kalau tidak mampu berkolaborasi melalui adaptasi perkembangan tekonologi informasi, media mainstream akan sulit bertahan.

Citra, “Burung Merak”

Aneka tudingan bahwa hari-hari kepemimpinan Ganjar sebagai Gubernur lebih banyak diwarnai oleh pencitraan melalui aneka platform media sosial, menurut saya perlu dilihat secara proporsional.

Bukankah sejatinya ada branding fungsional yang otomatis melekat dalam tupoksi sebagai kepala daerah?

Bukankah ada intensi pencitraan yang melekat untuk memacu reformasi pelayanan dalam fungsi birokrasi, yang akrab, cepat, dan gesit?

Sejak 2013 saya menyebut gaya Ganjar itu sebagai “birokrasi kasual”. Aduan-aduan ke berbagai kanal pelayanan bisa lebih cepat diselesaikan dengan kegesitan yang solutif.

Dari perpektif media, performa Ganjar Pranowo adalah “objek pasar” bagi berita-berita berdaya tarik. Kecerdasan dan kasualitasnya merupakan magnet ala “burung merak” yang “merak-ati”.

Boleh jadi, survei elektabilitas pada awal April 2023 ini masih terpengaruh oleh penolakan Ganjar terhadap kehadiran Israel dalam Piala Dunia U20 di Indonesia.

Dia sempat menjadi sasaran bully dan objek kekecewaan. Akan tetapi kepastian pengumumannya sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan pada 21 April kemarin menjadi tahapan yang diperkirakan bakal mengklimaks dengan segala elemen daya tariknya.

Kasualitas Ganjar, dari sisi media, bagaimanapun memiliki magnet intrinsik dan ekstrinsik yang merupakan “faktor pembeda”.

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Jawa Tengah, dan dosen Ilmu Jurnalistik Prodi Komunikasi Fiskom UKSW.