blank

Oleh : Ahmad Fajar Inhadl, Lc., ME

Garis finis Ramadan mulai nampak dalam pandangan mata. Hanya dalam hitungan hari, kita akan berpisah dengan Ramadan tahun ini. Suasana lebaran juga perlahan menyelinap di sekitar. Kondisi yang tak jarang membuat kita alpa akan sebuah fakta, bahwa Ramadan belum berakhir sepenuhnya.

Lalu, kira-kira apa yang diharapkan dari puasa seorang muslim sebulan lamanya?.

Gol tertinggi dari ibadah puasa adalah menjadikan muslim sebagai pribadi yang mutakin. Pribadi yang mampu menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, seperti makan dan minum. Dan juga mampu mengendalikan hawa nafsunya selama berpuasa. Dalam bahasa yang lebih mudah, puasa dinilai sah bila sesuai kaidah dan di saat yang sama juga harus menghasilkan pahala hasil pengelolaan nafsu yang baik.

Melalui puasa yang berdurasi satu bulan lamanya, seorang muslim diharapkan bisa melakukan “copy paste” bulan-bulan lainnya seperti saat Ramadan. Dimana setiap individu berlomba-lomba mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan berbagai macam ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Baik ibadah yang bersifat ritual dan juga sosial. Seperti puasa, salat, zakat, bersedekah dan ragam amal ibadah lainnya.

Puasa adalah momen untuk berkontemplasi, sekaligus juga ikhtiar transformasi diri, yang merupakan esensi puasa, untuk menjadi lebih baik. Selain dua hal tersebut, dalam puasa ada unsur transendental yang memiliki dampak signifikan dan memberikan pengaruh perubahan pada sikap seorang muslim.
Realita ini tercermin dalam sabda Nabi “Puasa untukku, dan Aku yang akan membalasnya”, (HR. Bukhari). Dalam bahasa Tasawuf, hal ini biasa dikenal dengan istilah “Muroqobah” atau merasa selalu berada dalam pengawasan Allah.

Unsur transendental inilah yang membedakan kepemimpinan profetik dengan kepemimpinan konvensional lainnya.

Unsur transendental adalah keyakinan seseorang terhadap adanya Tuhan dan kekuatan metafisik lainnya. Dan orang yang sedang berpuasa mempunyai hubungan langsung dengan Allah. Hubungan yang melampaui batas fisik, karena mereka yang berpuasa meyakini bahwa dia senantiasa diawasi oleh Allah, meskipun dia tidak bisa melihat Allah (baca : Ihsan). Itulah kenapa hanya Allah yang tahu betul berapa pahala yang didapatkan oleh mereka yang berpuasa, bahkan malaikat-pun tak mampu mencatatnya.

Dalam praktiknya, kepemimpinan profetik menjadikan perilaku dan sifat Nabi Muhammad SAW. sebagai kiblat. Sehingga puasa di bulan Ramadan bisa menjadi ajang latihan bagi para pemimpin untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam kepemimpinannya.

Pengamalan yang bukan dilatarbelakangi oleh nafsu pencitraan atau berharap pujian manusia belaka. Tetapi bentuk keikhlasan dan upaya untuk menggapai rida dan ampunan Tuhan. Sebagai manifestasi “Sebab, ia telah meninggalkan nafsu syahwat dan nafsu makannya karena-Ku.” (HR. Muslim).

“Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin”, (HR. Bukhari).

Karenanya, jika umat Islam berpuasa dengan benar selama sebulan lamanya. Maka umat Islam akan terbiasa untuk melaksanakan nilai-nilai kepemimpinan profetik dan menerapkannya dalam skala individu, keluarga atau bahkan organisasi.

Semoga puasa kita merupakan transformasi menjadi pribadi yang bertakwa. Sekaligus Latihan dan pembiasaan untuk menerapkan kepemimpinan profetik dalam diri kita. Karena masalah yang banyak terjadi di sekitar kita saat ini, hanya bisa diselesaikan dengan bertakwa kepada Allah Swt., dan bukan yang lainnya (*)