JC Tukiman Tarunasayoga
INI terkait dengan “pelajaran Bahasa Jawa” hehehehe, yang konon disebut sebagai pelajaran paling angel. Minggu lalu kita telah “belajar” tentang alun, ombak ing pesisir.
Kalau sekarang ini disebutkan pada judul alun vs alun-alun; itu karena artinya sama sekali berbeda meski pun berupa pengulangan kata alun.
Padahal umumnya, kata yang diulang pengucapannya berarti menyangatkan belaka. Seperti kalimat: “Kabarku apik-apik wae,” menegaskan betapa kondisinya baik-baik saja. Mungkinkah dikatakan: “kabarku apik wae?” Sangat mungkin, namun untuk memantapkan, disebutlah dua kali, apik-apik (wae).
Alun (sama sekali) berbeda dari alun-alun, karena makna alun-alun ialah palemahan jembar ing sangarepe utawa saburine kraton, tanah lapang luas yang terletak di depan atau di belakang keraton.
Baca juga Alun
Alun-alun juga bermakna tengahing kutha, pusat kota. Dan, di sanalah tempatnya banyak orang bertemu, atau berkumpul, atau jalan-jalan; dan pada saat tertentu di alun-alun itulah diselenggarakan pasar malam dengan berbagai tontotan dan orang berjualan. Nah, ……….. alun-alun sama sekali tidak ada kaitannya dengan ombak di pantai.
Dwilingga
Kata, dalam Bahasa Jawa disebut lingga, contohnya alun dan alun-alun tadi. Kalau alun disebut lingga (kata dasar), kalau alun-alun disebut dwilingga. Terkait dengan dwi lingga ini, bahasa Jawa masih memberikan rinciannya; yaitu ada yang disebut dwi lingga salin swara, dua kata yang berubah suara dan pengucapannya, dengan makna menyangatkan atau pun mengulang-ulang.
Contohnya wira-wiri, satu kata wiri, dan ketika diulang dengan suara berubah sedikit; maknanya ialah orang hilir-mudik, seolah-olah datang pergi atau kesana-kemari. Itulah wira-wiri, yang sering disalah-ucapkan menjadi wara-wiri.