blank
T-shirt Lionel Messi di PSG. Foto: psg

blankOleh: Amir Machmud NS

// akan kau lawankah usia dengan tekad?/ dia isyarat tentang batas/ dialah ayat tentang sikap/ dia kesadaran untuk berbagi/ dia kepatutan untuk berganti//
(Sajak “Tepi Batas”, 2023)

MIRIS rasanya melihat psikologi pergulatan orang-orang besar di ujung kejayaan.

Pada satu sisi bisa dipahami, sekian tahun mereka hidup dalam gelimang kemasyhuran. Menikmati jerih payah profesionalitas dengan mengorbankan sebagian ruang privat kehidupan. Wajar bila muncul kegalauan ketika harus meninggalkan “rumah” penuh cahaya.

Kata “pensiun” rupanya tak cukup memberi peringatan bahwa perjalanan kemonceran manusia selalu punya batas tegas. Usia adalah garis alamiah, sedangkan kebugaran pikiran menjadi garis naluriah.

Satu – dua pengecualian memang ada, namun itu bukan parameter umum yang bisa dijadikan patokan.

Lionel Messi berbeda dari Cristiano Ronaldo. Beda pula Zlatan Ibrahimovic dengan — dulu, Wilfried van Moer, Francesco Totti, Lothar Matthaeus, atau Paolo Maldini, lalu Gianluigi Buffon. Boleh pula Anda sebut Dino Zoff dan Peter Shilton.

Ronaldo misalnya, seberapa pun spartan merawat kebugaran, pada titik tertentu sulit melawan usia. Ketika mencoba kembali ke Manchester United dari Juventus, dia gagal menemukan kembali chemistry ketrengginasan dengan Pasukan Teater Impian. Tingkat kesegaran memengaruhi segi-segi psikologis untuk masuk ke dalam irama orkestrasi tim.

Di tim nasional Portugal pun dia bukan lagi “faktor pembeda”, sehingga tak mendapat kenangan indah dari Piala Dunia Qatar, tahun lalu. Kini, bahkan ketika memilih berlabuh di Al Nassr, Arab Saudi dengan bayaran selangit, Ronaldo sudah jauh dari CR7 yang kita kenal sebelumnya.

Bandingkan dengan Lionel Messi. Usianya dua tahun lebih muda dari Ronaldo, 35. Dan, dia masih unjuk puncak kemampuan. Kebugaran jelas berkurang, tetapi kematangan makin terlihat.

Di Paris St Germain, aksi-aksinya masih memikat. Gol-golnya lahir dalam kualitas proses bukan sembarang gol. Bersama timnas Argentina, dari 2021 dia menorehkan tiga trofi: Copa America, Finalissima, lalu Piala Dunia 2022. Ditambah tujuh trofi Ballon d’Or, Messi melengkapi semua persyaratan untuk menjadi Greatest of All Times.

Ronaldo dan Messi adalah dua contoh tokoh yang bergulat di ujung karier.

Ketika masih banyak yang berharap Leo Messi tampil lagi di Piala Dunia 2026, tentu sulit membayangkan Ronaldo memiliki peluang serupa. Usia makin tak memberinya kesempatan.

Pesan tentang Batas
Usia, sejatinya adalah pesan tentang batas. Sikap tahu diri, kesadaran, dan kepatutan tentang berbagi dan berganti. Visi tentang ketidakmungkinan manusia untuk menguasai dan mendominasi.

Ronaldo pun akhirnya paham tentang ketidakmungkinan mempertahankan sindrom kemaharajaan, bukan?

Leo Messi juga tak hanya bisa mengikuti keinginan orang-orang di sekitarnya. Sehebat apa pun dia, sematang apa pun La Pulga, akan ada barrier yang tegas mengingatkan, “Sudah cukup waktumu…”

Zlatan Ibrahimovic takkan selamanya ber-bla-bla-bla dengan segala arogansinya. Dia manusia biasa, sama dengan Zoff, Shilton, Buffon, Totti, juga Maldini yang berhenti di batas masing-masing.

Atau, mengikuti opsi seperti Xavi Hernandez? Yang pensiun dan bertahap merelaksasi diri bermain untuk klub Al Sadd, Qatar di kompetisi yang tak sekeras liga Eropa; lalu mengisi hari-harinya sebagai arsitek Barcelona.

Realitasnya sekarang, Messi menjadi warna dan kunci di PSG ketika Ronaldo masih melempem di Al Nassr.

Dan, titik henti itu akan datang juga, entah kapan nanti. Hanya Ibra yang masih terus melawannya. Mungkin pula Ronaldo, dan kita belum menangkap isyarat masa depan seperti apa yang akan disampaikan oleh Lionel Messi.

Ada jiwa di sana. Ada hati di sana. Ada pula rasa…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah