blank
Daun sirih, ada “orang pintar” yang meminta kliennya untuk datang dengan syarat membawa daun yang bisa digunakan untuk “nginang” ini. Foto: Masruri
blank
Pasien (klien) menyerahkan syarat daun sirih kepada “orang pintar” yang dimintai tolng. Foto: Masruri

Tentu saja setiap “manajemen” itu punya tujuan  atau target tersendiri. Ada juga yang menerapkan syarat, tamu yang datang disuruh membawa telur ayam, sehingga setiap hari banyak terkumpul puluhan telur ayam kampung dari pasien.

Telur yang dibawa itu konon dipakai untuk menerawang hoki dan penyakit pasiennya. Dan bagi pasien baru yang belum tahu aturan itu bisa membeli di warung si empunya rumah, karena disitu juga sudah tersedia stok telor, rokok dan beras.

Padahal, jika niatnya untuk mengobati dan memang harus ada imbalannya, tentu lebih baik disampaikan terbuka. Begitu juga dalam hal upah atau tarif melayani tamu, apakah itu sebatas konsultasi atau berobat, saya teringat nasihat sesepuh.

Dan semua aturan seperti itu, kembali kepada konsumennya, tinggal dia mau atau tidak.  Tidak ada manusia sempurna, kita pun perlu  memaklumi, karena  bisa jadi cara itu pengaruh dari budaya ewuh pakewuh sehingga tidak berani terbuka, atau tuan rumah berniat agar lebih meringankan tamu-tamunya, daripada membawa dari jauh kan lebih repot.

Ketika beliau ditanya tentang “aturan main” di seputar dunia suwuk menyuwuk, dijawab berbeda tergantung “tingkat” yang bertanya. Atau jika hati sudah mampu lepas, tirulah prinsip para  pinisepuh: Mulut tidak perlu minta, hati tidak tamak, jika diberi, jangan ditolak.”

Masruri, penulis buku, praktisi dan koonsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak Pati