SAAT berguru atau mencari referensi penulisan, saya bertemu yang biasa disebut “orang pintar” dan ternyata mereka punya tradisi unik, cerdas dan juga humoris. Saya megamati, misalnya, pada saat ada tamu yang ingin belajar ilmu supranatural, ikhtiar atau konsultasi, aturan mainnya ternyata berbeda-beda.
Misalnya, ada tamu, murid atau pasien datang, ditanya weton atau hari kelahirannya berdasarkan kalender Jawa atau hijriyah. Setelah ditunjukkan weton-nya, kemudian ditulis dalam kalender dan di buku pribadinya.
Khusus bagi mereka yang datang untuk belajar keilmuan atau meguru, setiap weton (36 hari sekali) agar datang lagi. Berarti, jika dia sudah punya 36 tamu, maka rata-rata setiap hari ada satu tamu.
Ada yang memberi aturan, khusus bagi yang belajar ilmu, syaratnya tidak bisa sendirian, dan harus sejodoh (mengajak satu teman) dan jumlahnya minimal dua. Karena belajar sendirian itu disebut gotong mayit seperti orang kampung saat menggotong jenazah.
Maka, belajar ilmu itu sebaiknya dua orang, dan lebih sempurna jika empat orang. Sesuai jumlah sahabat Nabi, katanya. Ada juga yang tidak mau menerima pemberian dalam bentuk uang.
Baca juga Terapi Kuburan
Namun setiap tamu yang akan ikhtiar, syaratnya membawa daun sirih. Pasien tidak perlu repot-repot, karena istri tuan rumah punya warung, dan di situ disediakan daun sirih, rokok dan gula.
Di tempat lain, ada yang tidak mau menerima uang, namun tamu harus membawa jenis minyak yang sulit didapatkan di toko. Jika tamunya kesulitan mencari, uangnya bisa dititipkan tuan rumah, biar nanti pengadaan minyaknya diurus anak buahnya.
Ada lagi yang tidak mau diberi uang, tapi hobi banget punya kerja, anak sunat, kadang kalau sudah ingin punya kerja, pinjam “anak yatim atau anak kerabatnya untuk disunatkan, dll. Maka semua yang pernah bertamu, dicatat nomor handphone-nya, lalu dihubungi dengan SMS agar bisa hadir.
Tentu saja tidak semua orang pintar seperti itu. Banyak juga yang tulus, diberi uang atau bingkisan diterima, tidak diberi pun tidak meminta. Bahkan jika ada tamu yang uang sakunya pas-pasan, perjalanan pulangnya diberi bekal secukupnya.
Bahkan ada tamu yang sudah dikenal baik, terkadang tuan rumah titip uang dan dimandatkan untuk disedekahkan atas namanya kepada tetangga tamu yang layak untuk menerimanya, anak yatim, fakir miskin. Dan untuk itu dia pesan tidak perlu menyebut uang itu dari siapa.
Tabib Surabaya
Karena saya sering jalan, saya banyak tahu kebiasaan mereka semua. Misalnya, saat di Surabaya, di rumah kediaman tabib, saya melihat ada tukang becak minta tolong anaknya sakit, dan saat pulang diberi uang untuk membeli obat ke apotek.
Banyak juga mereka yang profesinya sudah mapan dan banyak membantu warga sekitarnya. Kalau ada yang sakit membantu mengobati, dan jika ada yang harus berobat secara medis, dia membantu uang, minimal untuk ongkos becak dan biaya berobatnya.
Saya mengamati, setiap praktisi memiliki manajemen berbeda. Ada yang tidak mau menerima pemberian dalam uang, namun ada yang tarifnya resmi atau terbuka didepan.
Pernah dapat cerita dari teman. Ada yang saat pertama datang, dia disuguhi makan siang, tuan rumah bersikap ramah, namun lain hari kirim utusan mau meminjam uang. Menurutnya hanya orang bodoh yang mau melayani yang seperti itu.
Padahal saat pertama kali bertemu tampak meyakinkan. Namun ada yang setiap tamu datang diberi suguhan makan, soal ikhlas tidak ikhlas itu urusan dia sama Tuhan. Kalau ketemu yang seperti itu lebih baik mengedepankan husnudhan.
Karena ada sebagian dari mereka yang memiliki laku yang harus dikerjakan, dan tidak semuanya dikaitkan dengan modus. Kita hanya mampu menilai luarnya, sedangkan hatinya kita tidak tahu pasti. Pengalaman lain yang sering dijumpai itu yang minta syarat minyak wangi.
Kadang nama minyaknya tidak dikenal di toko, atau bisa jadi nama itu karangan sendiri. Ketika yang dicari itu tidak ada, tamunya kembali dan laporan sama orang pintar. Dia lalu diberi solusi, jika memang tidak ketemu, dan harganya juga mahal, uangnya dititipkan, dan nanti ada tim ahli yang akan mengurusnya.
Manajemen “orang pintar” yang seperti itu memang ada, namun tidak perlu untuk ditiru. Dalam kehidupan ini kita punya pilihan. Kalau niatnya untuk menolong sesama dan sekaligus mencari ketenangan hati, lebih baik yang pilih yang wajar-wajar saja, tidak perlu aneh-aneh. Karena rezeki yang halal itu menentramkan hati dan berkah bagi keluarga.
Manajemen
Dulu, 60-an kilometer dari rumah saya, ada orang pintar yang memberi syarat bagi yang mau belajar suatu keilmuan, syaratnya harus sejodoh, yaitu dia harus punya pasangan, karena syarat ilmunya tidak bisa dipelajari satu orang, dan harus dua atau lebih sempurna empat orang.