Oleh : Hadi Priyanto
Geger Pacinan atau juga sering disebut Perang Pacinan tahun 1740-1743 dipicu sikap kesewenang-wenangan Belanda di Batavia terhadap warga Tionghoa. Sebab Belanda menganggap bahwa warga Tionghoa bisa menjadi ancaman sebab perkembangannya di Batavia sangat pesat. Tindakan Belanda itu kemudian memunculkan gerakan perlawanan.
Apalagi menurut Sejarawan Belanda Nagtegaal, pada tahun 1693 Belanda juga sudah mulai melakukan pembantian warga Tionghoa. Salah satunya di Jepara. Bahkan banyak orang Tionghoa yang ketika ditangkap memilih bunuh diri dari pada disiksa oleh pasukan Belanda.
Tindakan Belanda itu kemudian memunculkan gerakan perlawanan. Pada bulan September 1740, kurang lebih 1.000 orang Tionghoa berkumpul di halaman pabrik gula Gandaria di Batavia. Mereka dipimpin oleh seorang yang oleh Belanda disebut Khe ( Que ) Panjang. Namun ada yang menyebut Souw (Oey) Phan Ciang atau Tay Wan Soey.
Sedangkan orang Jawa menyebutnya Sepanjang. Konon ia adalah saudara lain ibu dari Kaisar Tiongkok yang bernama Qian Long. Saat ia berada di Jawa Souw (Oey) Phan Ciang bergabung dengan kelompok orang Tionghoa yang datang lebih awal. Salah satu ciri kelompok ini nampak pada potongan rambut tauchang atau kucir.
Saat berada di Batavia, Tay Wan Soey atau Khe ( Que ) Panjang melihat dan merasakan sendiri tindakan sewenang-wenang Belanda terhadap warga Tionghoa. Tindakan itu menimbulkan perlawanan hingga tanggal 7 Oktober 1740 mereka menyerang pos VOC di Meester Cornelis dan De Qual.
Atas insiden tersebut sehari kemudian Belanda melarang semua warga Tionghoa membawa senjata dan harus menyerahkan kepada kompeni. Jika tidak akan ditangkap atau ditembak. Juga diberlakukan jam malam dan larangan bagi perempuan dan anak keluar kota. Pada malam harinya, pasukan Belanda mulai menggeledah rumah warga Tionghoa, menjarah dan bahkan membakar rumah mereka.
Mendapatkan tekanan itu, banyak warga Tionghoa yang kemudian meninggalkan gerbang Batavia. Sebab esuk harinya, 10 Oktober 1740 Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Andriaan Valckenier memerintahkan pembunuhan ribuan orang Tionghoa. Mayat mereka dibuang di Kali Besar.
Meninggalkan Batavia
Warga Tionghoa yang selamat kemudian bergerak ke wilayah timur. Mereka ada yang memilih menuju Lasem dan pada akhir tahun 1740 mereka tiba disana. Warga Tionghoa pelarian ini diterima oleh putra mantan Bupati Lasem, Raden Panji Margono. Juga ditolong oleh Bupati Lasem Tumenggung Widyoningrat yang juga dipanggil Oey Ing Kiat.
Dari Lasem warga Tionghoa kemudian bergerak ke Majawana, Pati. Mereka menyerang serta membakar rumah serdadu Belanda Kopral Class Lutten. Bahkan kopral ini kemudian dibunuh. Pasukan Tionghoa kemudian bergerak ke Kudus. Namun mereka disini dihadang oleh prajurit Bupati Kudus dan dikalahkan. Bahkan pemimpin kelompok Tionghoa dibunuh.
Mereka yang selamat kemudian menuju ke Tanjung dan kemudian menuju Welahan. Juga pasukan Tionghoa dari wilayah lain, hingga pada bulan April 1741 terbentuk pasukan yang cukup besar di Welahan. Mereka dipimpin oleh Tan Sin Ko atau yang juga dipangggil Singseh. Bahkan kekuatan pasukan Tionghoa di Welahan semakin bertambah besar dengan bergabungnya pasukan dari Batavia.
Dari Welahan ini kemudian mereka menyerbu markas Balanda di Rembang pada 27 Juli 1741. Bahkan pimpinan Belanda berhasil dibunuh. Empat hari kemudian mereka mengepung markas Belanda di Jepara dan berhasil menguasai Jepara pada 31 Juli 1741. Dari Jepara pasukan Tionghoa kemudian menuju Kartasura. Mereka bergabung dengan prajurit Mataram dan pasukan Tionghoa dari Batavia yang dipimpin oleh Sepanjang.
Koalisi Jawa – Tionghoa
Mereka mendapatkan dukungan dari Sunan Pakubuwono II dari Kasunanan Kartasura. Bahkan persenjataan. Bukan hanya itu Sunan Pakubuwono II juga memerintahkan Panggeran Mangkubumi untuk mendukung pasukan Tionghoa sehingga terbentuk pasukan Jawa – Tionghoa.
Memang kehadiran pasukan Tionghoa di wilayah ini awalnya disambut hangat oleh Sunan Pakubowono II hinggga muncul sebuah gerakan besar perlawanan bersama Tionghoa – Jawa terhadap Belanda. Bahkan pada tanggal 13 Mei 1741 Sunan Pakubuwono II memerintahkan semua pejabat keraton dan para bupati untuk bahu membahu mengusir Belanda.
Kemudian pada tanggal 20 Juli 1741 pasukan Jawa – Tionghoa ini menyerang Benteng Belanda yang ada di Kartasura. Pasukan gabungan ini kemudian berhasil menguasai benteng VOC di Kartasura.
Melihat perkembangan ini, maka Belanda mencoba mempengaruhi Bupati Madura Cakraningrat IV. Bahkan Belanda membuat surat pernyataan akan membantu Madura lepas dari kekuasaan Kasunanan Kartasura.. Perjanjian itu berhasil menarik Bupati Madura untuk terlibat dalam peperangan Tionghoa – Jawa melawan Belanda.
Peperangan terus berlanjut. Di Semarang pasukan Tionghoa yang dipimpin oleh Singseh berhasil dipukul mundur oleh pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Natanael Steinmetz. Untuk itu Sunan Pakubuwono II memerintahkan Patih Notokusumo untuk mengirimkan pasukan. Juga memerintahkan Bupati Banyumas Tumenggung Yudanegara untuk menyerang kepentingan VOC di Priangan Timur.
Kapten Sepanjang dan Martapura segera tiba di Semarang. Sunan Pakubuwono II juga segera memerintahkan para Bupati untuk menyerang markas VOCyang ada diwilayahnya. Sementara Belanda mengirim pasukan dari Ambon, Bugis dan Makasar untuk memperkuat kedudukannya di Semarang.
Sedang di Jawa Timur, pasukan Cakraningrat IV dari Madura berhasil dipukul pasukan Jawa – Tionghoa. Namun tidak lama kemudian datang pasukan VOC dibawah pimpinan Kapten Gerrit Mom membantu prajurit Madura hingga berhasil kembali menguasai Lamongan.
Kemudian dengan dukungan 2.400 prajurit Kapten Gerrit Mom menuju Semarang untuk membantu pasukan Belanda yang terkepung pasukan Jawa – Tionghoa dari semua penjuru. Pasukan koalisi ini tersebar di 3 titik dan dipimpin oleh Bupati Grobogan Martapura berada di Terboyo dengan 5.000 prajurit, Kapitan Sepanjang di Bergota dan Rijaniti berada di Peterongan. Sedangkan pasukan Kartasura dipimpin Patih Notokusumo.
Peperangan besar segera terjadi di Semarang. Kaligawe yang dijadikan basis pertahanan Bupati Grobogan digempur Belanda untuk merebut Sungai Terboyo. Sementara 1.800 pasukan Belanda menyerbu Kampung Melayu yang dikuasai Tionghoa. Di Pati, Bupati Mangunoneng masih dengan gigih melawan Belanda.
Namun peperangan yang terjadi di banyak tempat ini membuat pasukan Jawa-Tionghoa mulai terdesak hinggga membuat Raden Mas Said meninggalkan keraton dan bergabung dengan pasukan Jawa – Tionghoa. Pasukan gabungan yang terdesak dari Semarang ini kemudian mundur ke daerah Pati, Lasem, Rembang, Jepara, Grobogan dan Kudus.
Dalam kondisi yang semakin terdesak ini, Belanda berhasil mempengharuhi Sunan Pakubuwono II. Dengan melihat peta konflik didalam keraton Mataram, Belanda akhirnya berhasil mempengaruhi Sunan Pakubuwono II berbalik arah bergabung dengan Belanda pada awal Desember 1741.
Namun Patih Notokusumo yang juga cucu Sunan Pakubuwono I dan sejumlah bangsawan Mataram dan Bupati tetap bergabung dalam koalisi Jawa – Tionghoa. Diantaranya adalah Raden Mas Garendi dari Kasunanan Kertasura atau yang juga dikenal dengan Sunan Kuning, Raden Mas Said, Bupati Martapura dan Bupati Mangunoneng,
Sikap Sunan Pakubuwono II ini menimbulkan kemarahan besar koalisi Tionghoa – Jawa. Mereka kemudian melakukan konsolidasi untuk menyerang Kartasura. Di Grobogan Raden Mas Garendi dan Kapitan Sepanjang bersama 6 Brigade Jawa – Tionghoa tengah mempersiapkan penyerangan itu.
Namun sebelum berangkat mereka diserang 2.500 prajurit dipimpin oleh Pringgalaya dan Mangunnegara. Namun pasukan Mataram ini dengan mudah berhasil dipukul mundur sebab tiba – tiba mereka diserang dari samping oleh pasukan dari Bugis yang mendukung koalisi Jawa – Tionghoa..
Walaupun perjalanan pasukan koalisi ini mengalami banyak serangan di jalan, namun akhirnya mereka berhasil menguasai Keraton Pakubuwono II di Kartasura. Dengan bantuan Kapten Van Hohendorf, Pakubuwono II berhasil melarikan diri ke Madiun untuk menyusun kembali kekuatannya.
Welahan Pusat Perlawanan
Kemudian pada tanggal 1 Juli 1742 Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning diangkat sebagai raja dengan gelar Sri Susuhunan Amangkurat V. Namun Sunan Pakubowono II yang tersingkir ingin kembali merebut tahtanya dengan bekerjasama dengan Belanda. Peperangan kemudian terjadi di banyak tempat.
Perkembangan ini membuat Amangkurat V khawatir. Sebab persekutuan Belanda – Sunan Pakubuwono II semakin kuat. Karena itu harus diserang terlebih dahulu. Ia kemudian menugaskan Raden Mas Said atau Pangeran Suryokusumo bersama 1.200 pasukan Kartasura untuk menuju Welahan.
Pasukan ini diperkuat dengan pasukan pimpinan Singseh yang bergabung di Demak. Mereka ingin melakukan konsolidasi ditempat ini. Sebab di Welahan merupakan basis pergerakan dan terdapat 600 lebih pasukan Tionghoa.
Namun belum sempat melakukan konsolidasi dengan pasukan Raden Mas Said, pada tanggal 24 Agustus 1742 , pasukan yang berada di Welahan digempur pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Gerrit Mom dibantu oleh pasukan dari Kraeng Ternate. Mereka menyerang Welahan dengan menggunakan perahu penyeberangan. Serangan tiba – tiba ini membuat mereka kalang kabut hingga pasukan Tionghoa mundur hingga Tanjung yang terletak di sebelah timur Welahan.
Kapten Gerrit Mom yang melihat Welahan dalam kondisi kosong, kemudian memerintahkan membakar seluruh rumah. Sementara pasukan Belanda dalam jumlah besar tetap siaga di seberang sungai.
Mendapatkan kabar ini, Raden Mas Said dan Singseh kemudiaan bergabung dengan pasukan Welahan di Tanjung hingga jumlahnya mencapai 4.000 orang dengan menggunakan panji-panji Raden Mas Garendi atau Amangkurat V.
Peperangan di Welahan ini merupakan peperangan terbesar yang menempatkan Raden Mas Said atau Pangheran Suryokusumo sebagai panglima perang. Karena sepak terjangnya dalam peperangan, maka Raden Mas Said kemudian disebut juga sebagai Pangeran Sambernyawa.
Belanda tidak menyangka bahwa ada pasukan sebesar itu. Hingga Kapten Gerrit Mom hanya memerintahkan pasukan Kraeng Ternate untuk menyerang Welahan yang kembali diduduki kembali oleh pasukan Tionghoa.
Kendati pasukan Kraeng Ternete bisa dipukul mundur, pasukan Raden Mas Said kemudian dihujani dengan tembakan meriam dari berbagai arah. Sementara pasukan Raden Mas Said memilih perang secara terbuka.
Terdesak di Welahan, pasukan Raden Mas Said kemudian mengundurkan diri ke arah Kudus. Mereka akan bergabung dengan pasukan dari Grobogan yang dipimpin oleh Sutokromo, adik Bupati Martapura. Belanda yang merasa unggul dalam perang di Welahan tidak mau melepaskan kesempatan.
Dengan didukung pasukan Ambon yang baru mendarat di Jepara dan pasukan Belanda yang ada di Demak kemudian menyerang Kudus hingga pada tanggal 28 Agustus telah dapat dikuasai. Namun Kapten Gerrit Mom tetap berada di Tanjung dan membuat markas disana.
Desa Welahan kini hanyalah sebuah desa yang masuk Wilayah Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara. Namun kota ini memiliki peradaban yang sangat lama.
Kota yang perbatasan dengan wilayah Kabupaten Demak ini memiliki dua buah kelenteng yaitu Kelenteng Dewa Bumi atau Hok Tek Bio dan Kelenteng Dewa Langit yang dikenal sebagai Kelenteng Hian Thien Shang Tee. Konon kedua kelenteng ini termasuk kelenteng tertua di Jawa..
Keberadaan dua klenteng ini, diduga terkait dengan dijadikannya Welahan sebagai basis perlawanan pasukan Jawa-Tionghoa melawan Belanda.
Karena itu sayang jika kisah patriotik ini kemudian dilupakan dan dibiarkan menjadi sebuah episode sejarah yang kemudian dilupakan dalam perjalanan bangsa ini.
Penulis adalah pegiat budaya Jepara dan Wartawan SuaraBaru.id
.