blank
Zinedine Zidane (tengah), bersama Karim Benzema (kanan) dan Luka Modric, tiga legenda Real Madrid. Foto: instagram

Oleh: Amir Machmud NS

blankTAK cukupkah dedikasi seorang Zinedine Yazid Zidane mendapat tempat layak dalam peta olahraga dan peta peradaban di negerinya sendiri?

Kylian Mbappe, “anak emas” saat ini, tanpa ragu menyebut “Zidane adalah Prancis”. Penyerang Paris St Germain itu melawan dengan sengit Presiden Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) Noel Le Graet yang beropini sinis tentang Zidane.

Legenda yang membawa Le Bleus juara Euro 2000 dan Piala Dunia 1998 itu semula disebut-sebut sebagai calon suksesor Didier Deschamps di tim nasional.

FFF mempertahankan Deschamps, yang mengantar Prancis meraih trofi Piala Dunia 2018 dan runner up 2022. Masalahnya, patutkah Le Graet meletupkan komentar nyinyir tentang Zidane, yang bahkan dikabarkan diminati oleh Brazil untuk mengarsiteki Selecao?

“Apakah Zidane mencoba menghubungi saya? Tentu saja tidak. Kami tidak pernah mempertimbangkannya. Zidane ada di bawah radar,” cetus Le Graet seperti dikutip detik.com dari RMC Sport.

Dia mengatakan tak peduli Zidane mau pergi ke mana pun, bisa ke klub atau ke tim nasional lain. “Saya tidak mau tahu, saya tidak memercayainya,” katanya.

Komentar itu secara verbal berkonteks merendahkan, tanpa respek, hampa “perasaan”, dan a-historis. Wajar jika menyulut amarah mereka yang menghargai sejarah dan menghormati Zidane.

Pun, andai memang FFF tidak berniat menggunakan jasa Zidane, haruskah Le Graet menorehkan luka kepada sang legenda?

Bukankah Zidane adalah salah satu putra terbaik yang telah memberi kejayaan sepak bola kepada bangsa Prancis? Dia juga mengukir catatan personal sebagai pemain terbaik dunia pada masanya.

Lalu untuk apa Le Graet menyingkirkan pikiran positif tentang Zizou dengan merendahkannya sedemikian rupa?

Peta Rasisme
Peraih Ballon d’Or 1998 dan tiga trofi Pemain Terbaik FIFA 1998, 2000, 2003 itu memang pernah berada dalam kepungan wilayah sensitif ras, justru setelah berkontribusi besar sebagai pahlawan Piala Dunia 1998.

Politisi sayap kanan, Jean-Marie Le Pen menyerang Zidane dan para pemain keturunan imigran. Mereka dituding tidak menyanyikan lagu kebangsaan Prancis La Marseillaise menjelang laga-laga tim nasional. Intinya, nasionalisme pemain berdarah Aljazair itu dia persoalkan.

Ketika Zidane terprovokasi oleh Marco Materazzi dalam final Piala Dunia 2006, kontroversi urusan ras dan keyakinan juga terbawa-bawa. Zizou menanduk dada bek Italia itu, yang menyebabkannya dikartu merah.

“Noda” itu, nyatanya, tidak mempengaruhi penilaian komite pemilih yang tetap menobatkan Zidane sebagai Pemain Terbaik Turnamen.

Zidane adalah orang besar dalam bayangan kedengkian lingkungan politik. Namun, sepak bola akan tetap dan selalu menempatkannya sebagai bintang dengan kemampuan eksepsional.

Teknik screening ball, gaya roulette yang khas, pergerakan indah ala ballerina, presisi umpan, visi permainan, dan free kick-nya yang istimewa, adalah gambaran lengkap tentang pesepak bola terbaik Prancis setelah era Eric Cantona, Thierry Henry, Michael Platini, dan Just Fontaine.

Pengaruh internasional Zidane juga luar biasa. Keterampilannya membuat dia sejajar dengan para legenda. Dia pernah menjadi salah satu elemen Los Galacticos Real Madrid. Trofi lengkap telah dia bukukan: dari Piala Dunia, Euro, Liga Champions, Piala Dunia Antarklub, hingga liga-liga.

Tak heran, dalam peta sepak bola dunia, tak sedikit pemain berbakat yang oleh media dilabeli sebagai “titisan Zidane”. Ada Mesut Oziel, pemain Jerman berdarah Turki, atau bintang Der Panzer masa sekarang, Kai Havertz.

Juga, pemain Prancis Mourad Meghni yang sempat dilabeli harapan serupa, sama seperti Samir Nasri yang pernah bersinar bersama Arsenal. Lalu Bruno Cheyrou, Anthony Le Tallec, dan Yoan Gourcuff. Yang paling mendekati capaian Zidane dari sisi prestasi hanya Karim Benzema, peraih Ballon d’Or 2022.

Catatan impresif Zizou sebagai pelatih Real Madrid merupakan rekor. Dia pelatih pertama yang tiga kali berturut-turut membawa tim meraih Liga Champions (2016, 2017, dan 2018). Juga dua kali (2016, 2017) mempersembahkan Piala Dunia Antarklub untuk Los Blancos.

Lantaran kiprah dan dedikasinya untuk sepak bola, Zidane diakui sebagai “representasi kemanusiaan” dan “keberagaman”.

Seperti Mohamed Salah yang memberi andil dalam mendekonstruksi Islamofobia di Inggris, Zidane bahkan menebar percik keindahan itu ke seluruh penjuru dunia.

Keberterimaan komitmen, sumbangan, dan kiprahnya banyak membantu menepis kesalahpahaman terhadap Islam.

Saat ini dia memang tersisih dari bursa kursi pelatih nasional Prancis, namun percayalah, konstelasi perubahan politik sepak bola tak akan menutup hari depannya.

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah