Shin Tae-yong saat menerima kalungan bunga, Foto: pssi

Oleh: Amir Machmud NS

PASTILAH pahit terasa, menyaksikan tim nasional Garuda tak mampu mengalahkan Vietnam dalam dua laga di Stadion Utama  Gelora Bung Karno (6/1), dan di Stadion My Dinh (9/1). Di Jakarta imbang 0-0, dan di Hanoi kita kalah 0-2.

Tak ada alasan apa pun yang bisa dijustifikasi atas hasil buruk di dua leg semifinal Piala AFF itu. Untuk kali kesekian terhampar realitas: Indonesia belum mampu berjajar di level elite Asia Tenggara untuk memutus dominasi Thailand dan Vietnam.

Skor 0-0 melawan Thailand di babak grup juga menunjukkan, itulah hasil maksimal yang belum memberikan keyakinan bahwa sepak bola kita sudah bangkit di bawah pelatih yang telah bekerja sejak 2019, Shin Tae-yong.

Awalnya saya berharap, tahap demi tahap program coach STY akan memuncak di salah satu target, medali emas SEA Games atau Piala AFF. Level itulah yang secara mendasar menjadi ukuran logis capaian timnas. Event lain, seperti lolos ke putaran final Piala Asia untuk tim senior dan U23 adalah “bonus”, sedangkan pencapaian minimalis tetaplah SEA Games dan Piala AFF.

Hasil di Piala AFF 2022-2023 ini, bagaimanapun merupakan kemunduran. Pada turnamen yang sama, 2020-2021 kita meraih runner up, kalah 0-4 dan seri 2-2 melawan Thailand di partai puncak. Dan, itu adalah predikat runner up untuk kali yang keenam setelah 2000, 2002, 2004, 2010, dan 2016.

Gambaran Determinasi
Di bawah STY, kiprah timnas kelompok usia di ajang-ajang yang diikuti, meninggalkan jejak kemajuan dari sisi determinasi. Tiga hal yang menonjol adalah peningkatan fisik pemain, (kemauan) daya juang, dan konfidensi.

Apa yang dipertontonkan di Piala AFF 2020/2021, dan performa dalam Pra-Piala Asia di Kuwait City menjadi gambaran “kemajuan” Egy Maulana Vikri dkk. STY mampu memadukan potensi materi yang bermain untuk klub-klub asing (Asnawi Mangkualam, Pratama Arhan, Egy, Witan Sulaeman, Saddil Ramdhani), dengan pemain-pemain produk Liga.

Maka harapan makin membuncah di Piala AFF tahun ini, setelah Tim Garuda mendapat suntikan pemain produk naturalisasi. Yang menonjol adalah Jordi Amat, melengkapi “puzzle pengindonesiaan” yang cukup baik diperlihatkan oleh Marc Klok. Di Piala AFF sebelumnya kita memainkan bek keturunan Inggris, Elkan William Tio Baggot.

Masih ada beberapa pemain naturalisasi lainnya yang belum dipanggil memperkuat timnas. Shin Tae-yong menerima berkah seperti Alfred Riedle di Piala AFF 2010. Ketika itu kita menaturalisasi pemain Uruguay, Cristian Gonzales dan memastikan Irfan Bachdin memilih kewarganegaraan Indonesia.

Nyatanya, suntikan materi itu belum juga mampu memberi prestasi nyata. Lalu mengapa STY belum bisa seperti Park Hang-seo, kompatriotnya yang sejak 2017 menukangi timnas Vietnam? Atau Alexandre “Mano” Polking yang mengarsiteki Thailand?

Tagar STY
Tagar yang menghendaki Shin Tae-yong “out” adalah gambaran kegemasan pecinta sepak bola kita terhadap timnas yang belum beranjak dari kemuraman. Bahkan mulai banyak yang menyoal gaji coach Shin yang Rp 1 miliar per bulan, namun belum memberi hasil sebanding.

Harus dipahami, prestasi timnas memang tidak bisa dicapai secara instan, oleh pelatih dengan reputasi sehebat apa pun. Sebelum era STY, ada Luis Milla, yang karena “ketidakcocokan harga” kemudian dilepas. Masalahnya, mengapa sekarang pelatih asal Spanyol itu barsedia menangani Persib Bandung? Apakah berarti Persib lebih mampu menggajinya, yang tidak bisa diberikan oleh PSSI?

Dulu Milla mencatat hasil terbaik lolos ke babak kedua Asian Games 2018. Yang menonjol adalah bentuk permainan Evan Dimas dkk. Pemaksimalan umpan-umpan pendek dan kick and run yang posesif ala tiki-taka Spanyol menjadi formulasi yang enak ditonton. Milla mampu mengubah permainan, namun belum bisa memberi gelar juara.

Dari deretan pelatih asing yang pernah menangani timnas, tercatat baru Anatoly Polosin yang mempersembahkan gelar. Dia memberi medali emas untuk Indonesia di SEA Games Manila, 1991. Sebelumnya pelatih lokal Bertje Matulapelwa mengantar Ribut Waidi dkk meraih emas SEA Games Jakarta 1987 dan juara Piala Kemerdekaan pada tahun yang sama. Sebelum itu, tim Bertje juga mampu masuk semifinal Asian Games 1986.

Polosin, pelatih asal Rusia itu dikenang berkat latihan fisiknya yang berat. Program spartan latihan fisik menyebabkan sejumlah pemain “lari” dari Pelatnas, namun terbukti resep penggemblengan daya tahan itu cocok untuk menuju prestasi.

Menurun
Penampilan tim asuhan Shin Tae-yong di Piala AFF tahun ini memperlihatkan realitas penurunan dibandingkan dengan turnamen sebelumnya, juga di Pra-Piala Asia. Kira-kira, problem apa yang dihadapi?

Moratorium kompetisi liga boleh dijadikan justifikasi, karena setelah Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, liga “diistirahatkan”, dan baru mulai digelar lagi pada akhir November.

Tensu STY-lah yang bisa menjawab dari evaluasinya nanti. Kalaupun kita tetap menghargai daya juang pemain dalam enam laga Piala AFF, mengapa terjadi penurunan performa secara drastis terutama di barisan penyerang?

Kita melihat Malaysia bermain lebih baik, apalagi Thailand dan Vietnam. Timnas kita bermain kurang determinatif ketika mengalahkan Kamboja, dan Filipina. Walaupun menang besar atas Brunei Darussalam, permainan Fachruddin Ariyanto dkk juga kurang impesif.

Apakah diagnosis, racikan resep taktik, dan strategi STY tidak sepenuhnya bisa dijalankan, justru ketika dari sisi “amunisi pemain” dia mendapat asupan lebih menjanjikan dari produk naturalisasi?

Apakah kita akhirnya melihat, masalah yang dihadapi pelatih asal Korea itu adalah realitas “bahan” yang belum sesuai standar kebutuhan taktiknya?

Tim dalam deret usia 16, 18, 20, dan 22 telah disiapkan secara sistematis, yang dalam peta persaingan Asia Tenggara juga cukup berprestasi, meraih gelar Piala AFF. Apa yang salah ketika talenta-talenta itu tidak memuncak di level senior?

Lalu, kapankah sepak bola kita mampu berjajar dalam level persaingan Asia Tenggara, sebagai level paling minimalis secara internasional?

Saya tidak sependapat apabila PSSI terburu-buru mengakhiri ikatan kerja STY. Masih dibutuhkan evaluasi yang jernih dan objektif.

Dan, kalau Shin Tae-yong pun menghadapi kerumitan menjadi koki, kepada siapa lagikah timnas kita bergantung?

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah