Oleh: Amir Machmud NS
// kaukira hanya ada gurun pasir dan unta?/ di sini tersaji kisah penuh dinamika / tentang hak asasi yang dimasalahkan/ tentang patriotisme Asia/ tentang Messi yang tetap bercahaya/ tentang betapa eksotik sepak bola…/
(Sajak “Qatar 2022”, 2022)
ANDA boleh “menyayangkan” keterhentian Jepang dan Korea Selatan di babak 16 besar Piala Dunia 2022, tetapi Anda tak patut mengabaikan betapa dua negara itu telah memberi kontribusi makna.
Samurai Biru akhirnya takluk 2-4 dari Kroasia lewat drama adu penalti, sementara Kesatria Taeguk menyerah 1-4 dari Brazil, favorit turnamen.
Terlepas dari hasil, kiprah impresif kedua tim mewarnai romantika Coppa del Mundo tahun ini. Dunia akan terus mencatat momen 2022 ini, sama seperti ketika mengenang Korea Utara 1966 dan Kamerun 1999.
Kampanye Asia
Kiprah impresif tim-tim Asia itu mampu menindih kampanye masif Dunia Barat yang memperjuangkan LGBTQ di seputar panggung Piala Dunia.
Simbol bendera pelangi, yang antara lain dijadikan ban kapten sejumlah tim di Qatar 2022, berperang dengan opini yang berseberangan. Tak sedikit yang mempersoalkan standar ganda Barat tentang hak asasi manusia, dan keyakinan ideologi.
Dinamika sepak bola di ajang Piala Dunia 2022 ini pun mirip “rumah makan Padang” yang menyajikan rupa-rupa selera.
Yang sungguh-sungguh mau menikmati sepak bola dan perkembangannya, ada.
Yang menunggu Lionel Messi mengetengahkan jurus-jurus ajaibnya, tak sedikit juga.
Yang datang ke Doha dengan niat mengampanyekan kebebasan berekspresi, ada.
Yang lantang meneriakkan perjuangan kemanusiaan, ada.
Yang setiap saat menyinyiri pendirian FIFA dan Qatar sebagai tuan rumah penyelenggara, tak kurang pula.
Yang berkunjung ke Qatar untuk menghayati eksotika pariwisata di Timur Tengah, ada juga.
Tetapi “arus peradaban” sepak bola dengan up-trend tim-tim Asia-Afrika, dan realitas makin meratanya distribusi kekuatan sepak bola dunia, betul-betul mengemuka dalam perhelatan di negeri keemiratan itu.
Suka atau tidak suka, Qatar 2022 menyuguhkan warisan album sejarah yang akan terus dikenang dalam perjalanan sepak bola dunia.
Impresivitas Asia
Maka, kenang dan kenanglah kelak impresivitas Asia, seperti kita memprasastikan sepak terjang Korea Utara di Piala Dunia 1966, Kamerun di Italia 1990, dan laju luar biasa Korea Selatan pada 2002.
Jepang dan Korea Selatan mewakili kutub atraktivitas sepak bola Asia Timur yang agresif, berspirit kuat, dan fisik prima. Kelolosan Samurai Biru dan Kesatria Taeguk merupakan fakta kemajuan, bukan sekadar kejutan instan.
Kemenangan Arab Saudi atas Argentina dan Iran atas Wales tak pula bisa dianggap sebagai kebetulan. Dua wakil Asia Barat itu mengetengahkan kemajuan, apalagi The Green Falcons dan Tim Melli punya cukup jam terbang tampil di putaran final Piala Dunia. Sayang, dengan segala impresivitasnya, kedua tim terhenti di babak grup.
Andai keduanya lolos, bakal lengkaplah Asia diwakili lima tim — termasuk Australia — di 16 besar. Australia, salah satu wakil Asia, terhenti di perdelapan final dari Argentina.
Sepak Bola Patriotik
Sepak bola patriotik ala Jepang ketika menjungkalkan Jerman 2-1 dan Spanyol 2-1 menjadi warna kegagahan Asia di Qatar 2022. Sama seperti penampilan Korea Selatan yang menahan Uruguay 0-0 dan menundukkan Portugal 2-1.
Yang menarik, Jepang dan Korea memperlihatkan mentalitas pembalikan yang luar biasa, menang setelah terlebih dahulu tertinggal gol.
Raihan Jepang kali ini persis dengan 2010 di Afrika Selatan, ketika Keisuke Honda dkk hanya terhenti karena kalah adu penalti 3-5 dari Paraguay di 16 besar. Di babak grup Jepang mengalahkan Kamerun 1-0, kalah 0-1 dari Belanda, dan menundukkan Denmark 1-0.
Lompatan Jepang nyata tersaji di Qatar 2022 sebagai produk kompetisi mereka. Performa konstan Ritsu Doan dkk adalah hasil wajar yang diraih.
J-League dan K-League yang rapi menghasilkan talenta-talenta hebat, yang menjadi makin matang setelah direkrut klub-klub Eropa. Atmosfer kompetisi liga-liga dunia membentuk pemain-pemain yang menjadi siap bersaing di level atas.
Inilah era Piala Dunia ketika Asia memberi daya hidup. Justru ketika perhelatan terakbar sepak bola ini diintervensi oleh aneka intrik politik, yang di dalamnya diam-diam menyelip kekeruhan “perang opini” dari peradaban yang saling berapriori.
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —