blank
Selebrasi para pemain setelah terjadinya gol. Foto: ilustrasi/pixa

blankOleh: Amir Machmud NS

ANDA temukan apakah di balik wajah para pujangga sepak bola?

Terpancar aura loyalitas, jalan hidup, konfidensi, dan pilihan “cara”. Wajah-wajah yang memijarkan percik cahaya ide, ilmu pengetahuan, sikap, dan perilaku.

Begitulah ketika menyimak ekspresi dan gestur seorang Eric Cantona pada era 1990-an, yang oleh Sir Alex Ferguson sering dipanggil dengan sebutan “geniusku”.

L’enfant terrrible”, dengan contoh perilaku tendangan kungfu ke suporter Crystal Palace yang legendaris itu, adalah orang yang mencintai sepak bola lebih dari apa pun. Dia mengekspresikannya dengan cara berbeda.

Katanya, “Saya mencoba menemukan cara berbeda untuk mengekspresikan diri. Tanpa itu, saya akan mati”.

Cantona menegaskan berhenti bermain sepak bola karena telah menemukan sebanyak yang dia bisa. Dia membutuhkan sesuatu yang mampu menggairahkannya, seperti halnya sepak bola membuatnya bersemangat.

Coba simaklah catatan Tony Robbins, dalam Awaken the Greatness Within tentang kompilasi pernyataan eksepsional para manusia sepak bola yang menginspirasi. Kadang kita menemukan narasi seperti quotation para filsuf, yang mengilustrasikan pandangan hidup yang mereka anut.

Sikap Cantona terasa sehaluan dengan pandangan Juergen Klopp. Pelatih Liverpool asal Jerman itu menyimpulkan, sepak bola terbaik selalu tentang ekspresi emosi.

Dia hadir sebagai “ideolog” gegenpressing, langgam bermain yang sukses didoktrinkan semasa menangani Bprussia Dortmund, dan belakangan menjadi brand Liverpool.

Daya hidup sepak bola dengan ekspresi rasa juga disampaikan oleh Lionel Andres Messi, pengoleksi tujuh trofi Ballon d’Or. “Anda bisa mengatasi berbagai masalah apa pun, Anda hanya cukup dengan mencintai sesuatu,” ucap La Pulga.

Dan, “sesuatu” itu, bagi Messi, apa lagi kalau bukan sepak bola?

Legenda Argentina yang digantikannya, Diego Armando Maradona punya pandangan serupa. Kata El Pibe de Oro, “Melihat bola, mengejarnya, menjadikanku orang paling bahagia di dunia…”

Cinta dan Ide
Cinta, dalam sepak bola terungkap dalam loyalitas tanpa batas. Hingga akhir hayat, Johan Cruyff tak pernah berpaling dari “ideologi” tentang sepak bola ofensif. Kecintaan itu sering dia ungkapkan lewat narasi, bahwa sepak bola adalah tentang memiliki permainan menyerang terbaik.

“Saya selalu suka bermain sepak bola ofensif, dan tidak ada yang akan meyakinkan saya sebaliknya,” kata maestro total football dan peletak filosofi Akademi La Masia Barcelona itu.

Nyatanya, betapa tak mudah berpaling dari cinta. Anda ingat Enzo Bearzot? Tokoh penyempurna catenaccio lewat kejayaan Aquadra Azzurra di Piala Dunia 1982 itu pernah sempat merasa terpukul dengan performa Italia di Meksiko 1986. Dia lalu mencoba menyepi dan menyatakan membenci sepak bola; namun jejak eksepsional yang dia torehkan tetap menjadikannya sebagai referensi konsep serangan balik yang perfeksionis.

Seperti Vittorio Pozzo yang membawa Azzurri meraih trofi Jules Rimet pada 1934 dan 1938, Bearzot mengejawantahkan sikap halus perlawanan ala Italia, furbizia, yakni menemukan cara untuk mengakali keadaan dan meraih keuntungan maksimal. Arti “kasar” furbizia adalah “seni untuk berbuat curang”.

Ideologi sejatinya tak terpisahkan dari cinta, atau sebaliknya: cinta mengkreasi ide. Dan, ini bisa kita simak pada Tele Santana da Silva, arsitek Brazil di Piala Dunia 1982 dan 1986. Media melabelinya sebagai “romantis terakhir dari sepak bola Brazil, manajer paling relevan yang pernah bekerja untuk negeri itu”.

Selain sentuhannya untuk tim nasional Selecao, Santana juga menanamkan sikap serupa dengan kesetiaannya kepada jogo bonito, ke dalam permainan indah klub Sa Paolo 1992 dan 1993.

Pecinta sepak bola indah bakal merindukan romantisme tim Samba di Spanyol 1982 yang menderetkan barisan gelandang imajinatif Socrates, Zico, Cerezo Toninho, dan Falcao, yang lalu berlanjut di Meksiko 1986 dengan tokoh-tokoh yang sama plus Alemao.

“Tak perlu kecewa kita gagal pada 1982, karena seluruh dunia terpesona dengan cara kita memainkan sepak bola,” katanya.

Bukankah justifikasi itu adalah cinta dan loyalitas kepada iedologinya?

Santana punya banyak pemuja. Sama dengan Luis Cesar Menotti, mastermind yang mengantarkan Argentina meraih trofi World Cup 1978. “Sepak bola sayap kanan”, demikian dia melabeli gaya permainan timnya. “Artinya, hidup adalah perjuangan, yang menuntut kita berkorban. Kita harus menjadi kuat dan menang dengan metode yang indah,” ujar El Flaco.

Perlawanan Sosial
Para penikmat sepak bola menyerang Belanda boleh jadi tak pernah menduga, betapa inovasi Rinus Michels yang dipertontonkan di Piala Dunia 1974 adalah bentuk “ijtihad” perlawanan sosial. Dengan ikon Johan Cruyff yang karismatis, cerdas, tampan, dan bervisi, total football-nya menjadi representasi sosial dan perlawanan politik lewat permainan indah.

Dengan menyerap ilmu Jack Reynolds dan Vic Buckingham, Rinus Michels meyakini ide bahwa menyerang adalah teknis bertahan terbaik, dengan bermain terbuka. Siap menyerang merupakan falsafah yang dianut The Spinx.

Sepak bola Inggris yang berkarakter kick and rush pernah menyebut tesis Vic Buckingham sebagai badut. Prinsip sepak bolanya memang mendekonstruksi “tendang dan serbu”. Dia mendoktrinkan keutamaan penguasaan bola sebagai segalanya, umpan-umpan pendek, dan terus bergerak dengan penetratif ke wilayah terbuka.

Cruyff menyempurnakan ide-ide Michels lewat sikapnya yang kukuh. Maestro yang dibesarkan oleh Ajax Amsterdam ini menyatakan, “Seperti segalanya dalam sepak bola dan kehidupan. Anda perlu melihat, Anda perlu berpikir, Anda perlu bergerak, Anda perlu menemukan ruang, Anda perlu membantu orang lain. Ini sangat sederhana pada akhirnya”.

“Sepak bola sekarang semuanya tentang uang. Ada masalah dengan nilai-nilai dalam permainan. Ini menyedihkan, karena sepak bola adalah permainan yang paling indah. Kita bisa memainkannya di jalan, bisa di mana saja…”

Begitu besar cinta Cuyff kepada permainan ini. Dia lalu menguatkannya ke dalam narasi ideologis, “Hasil tanpa kualitas itu membosankan. Kualitas tanpa hasil adalah omong kosong”.

Sir Alex Ferguson, legenda Manchester United dan pelatih paling sukses di Inggris juga menguatkan keyakinan ideologisnya, “Saya tidak pernah bermain untuk hasil imbang dalam hidup saya”.

Adapun pelatih yang dipandang paling genius saat ini, Pep Guardiola, menambahkan referensi ideologis tentang sepak bola pilihannya. Tiki-taka Barcelona, pada masanya adalah keyakinan hidup. “Saya memenangi 21 gelar dalam tujuh tahun. Tiga gelar per tahun. Dengan cara ini, maaf, saya tidak akan berubah”.

Sedangkan Jose Mourinho adalah contoh yang “menginspirasikan” ide-ide pragmatis betul-betul diterapkannya, seperti “menang walau dengan permainan membosankan”, “parkir bus” atau bahkan “parkir pesawat” untuk menghindari gol.

Dengan gaya bicara yang low context communication, dia tidak ragu untuk berisiko dengan segala macam reaksi terhadap pernyataan dan sikapnya.

Ya, sepak bola tidak mengubah keyakinan cinta para pelakunya, yang mentransformasi ke dalam gagasan yang tak jarang menjadi ideologi bermain.

Seperti kehidupan, seperti mata air yang mengalir. Dan, akankan kita mendapat sajian tentang cinta dan ideologi di Qatar 2022?

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah