blank
Ilustrasi. SB.id

JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

MEMBACA judul ini sudah menunjukkan bahwa topik parikan minggu lalu diteruskan minggu ini.

Gajah diblangkoni, dilanjutkan abang-abang ora legi; pinter kotbah ora pinter nglakoni, diteruskan ke abang-abang ora legi, tiwas wis magang jebul ora dadi.

Sebuah fakta betapa tidak semua yang merah itu manis, dan tidak semua yang menjalankan magang, kelak akan diangkat (sebagai pegawai misalnya).

Sebuah peringatan awal bagi siapa saja yang sudah, sedang, dan akan menyalonkan diri:

Namanya saja menyalonkan diri, tidak ada jaminan kelak Anda semua akan jadi.

Magang = Nyalon?

Dalam dunia kerja memang sangat dikenal kosakata magang, belajar bekerja dalam kurun waktu tertentu. Kesempatan magang tentu merupakan penjajagan dari kedua belah pihak.

Perusahaan mengamati apakah si calon itu dapat memenuhi syarat-syarat yang ditentukan; sedang dari pihak yang magang, dia atau mereka menjajagi apakah cocok bekerja di situ.  Sebutlah, magang sebagai terminal terakhir sebelum ada keputusan final dari kedua belah pihak.

Pertanyaannya, apakah orang-orang yang saat ini sudah, sedang, dan akan menyalonkan diri entah sebagai capres atau pun cawapres, atau para calon legislatif kabupaten/kota, provinsi dan pusat, dapat juga disebut sedang magang? Mereka magang kepada siapa? Partai politik? Kalau betul magang kepada partai politik, wahhhh partai politiklah yang nantinya akan memekerjakan mereka, dong?

Nuansa magang dan menyalonkan diri mungkin berbeda, mungkin juga sama; namun satu hal pasti yang diingatkan lewat parikan abang-abang ora legi adalah sebuah keniscayaan, sebuah hal yang pasti: Ora kabeh dadi, tidak semuanya akan lulus, lolos, atau diterima.

Faktor utama penyebab ora dadi tentu saja suara pemilih; maksudnya Anda jadi atau tidak jadi amat ditentukan oleh jumlah suara orang yang kelak akan memilih Anda.

Nah …………. ternyata bagi mereka yang nyalon,  penentunya adalah suara rakyat, bukannya partai. Berbeda dengan mereka yang magang di sebuah perusahaan; penentu diterima atau tidak adalah pihak managemen perusahaan.

Abang-abang

Abang-abang ora legi, tiwas magang durung mesthi dadi mengajak semua pihak realistis, namun juga harus berjuang keras mengingat suara rakyatlah yang paling menentukan.

Memang dalam konteks pencalegan maupun dalam konteks nyapres atau nyawapres, posisi paertai politik amat sangat menentukan pada tahap awalnya. Parpol-lah penentu seseorang lolos atau tidak; dan baru setelah dinyatakan lolos oleh parpol, tahapan abang-abang ora legi menjadi semakin mengerucut konkret. Ribetkah? Ribetkah? Pasti, sangatlah berliku dan semakin berliku manakala nanti tiba saatnya berhadapan langsung dengan rakyat (calon) pemilih.

Seperti gajah diblangkoni tidak bermakna tunggal; parikan abang-abang ora legi juga tidak hanya bermakna tiwas magang durung mesthi dadi. Terbuka untuk “menerjemahkan” dalam kehidupan sehari-hari Anda. Akan dipergunakan untuk saling olok di pos kamling juga silahkan.

Misalnya: “Abang-abang ora legi, metune mung wedang, nyamikane endi?” nyindir tuan rumah yang hanya menyuguhkan teh tanpa disertai snack atau kudapannya.

Lagi-lagi bagi PUS, hehehe,  pasangan usia subur; boleh juga didendangkan “Abang-abang ora legi ………….ayoooo bang, babak baru lagi……….” Sedangkan untuk para manula, yahhh……….”Abang-abang ora legi ………….sudah berdendang tidak sempat menyanyi.”

Parikan memang bagaikan pantun, dapat juga dipakai sebagai sarana untuk saling berbalas parikan sebagaimana berbalas pantun. Hanya saja, sebagian besar anggota masyaraat kita tidak terlalu terbiasa berbalas parikan, sehingga tidak “mengalir lancar” seperti halnya mereka yang terbiasa berbalas pantun.

Bolehlah dipilih parikan-parikan ini: (a) Abang-abang ora legi, terlanjur sayang, bikin patah hati; (b) Abang-abang ora legi, lungguh jegang nyruput kopi; (c) Abang-abang ora legi …………tiwas terbayang-bayang, jebul gak terbawa mimpi. ***

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang