blank
ilustrasi. Foto: SBcreat
blank
JC Tukiman Tarunasayoga

JC Tukiman Tarunasayoga

MASIH tentang gajah lagi ya? Ihhh bosen. Ini bagian penutup dari beberapa kali membicarakan  gajah; dan dijamin Anda tidak bosen karena penutup ini berupa parikan dan bukan paribasan lagi.

Parikan adalah istilah dalam Bahasa Jawa yang dalam Bahasa Indonesia disebut pantun atau puisi yang dengan struktur sampiran dan isi.

Gajah diblangkoni, ini sebuah parikan, sebuah seloka, pantun jenaka mini karena hanya terdiri dari dua baris saja; sementara umumnya sebuah pantun itu terdiri dari empat baris.

Ada contoh pantun (ditulis oleh seorang sahabat di Kabupaten Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat) seperti berikut ini:

Baca juga Semut Ngadu Gajah

(1)  Air santan putih dan bersih/simpan di kulkas supaya bertahan/Setiap perbuatan amal dan kasih/akan mendatangkan berkat Tuhan;

(2) Seorang teman mudah disuruh/tiada pelit dan ringan tangan./Untuk mendamaikan batin yang rusuh/berserahlah penuh kepada Tuhan.

Nah parikan, sebutlah semacam seloka, adalah tetembangan utawa sesindhenan mung rong ukara, nganggo purwakanthi swara; yaitu bersenandung atau bernyanyi hanya dalam dua kalimat pendek seraya mengutamakan kesamaan suara (entah konsonannya atau mungkin vokalnya).

Contohnya: gajah diblangkoni pinter kotbah, ora pinter nglakoni; betapa banyak orang pinter sekali ngomong, tetapi miskin tindakan nyatanya. Parikan juga bermakna ukara nganggo tetembungan wangsalan; sebuah kalimat pendek namun maknanya atau maksudnya bersifat tersembunyi di balik kata-kata.

Model seperti  ini sangat khas Jawa, karena corak sindirannya pun (kalau itu berupa sindiran) juga sangat khas. Contohnya: Kowe kok ora ngapem Landa, to? (Dirimu kok hari ini tidak seperti apem Belanda, maksudnya roti).  Itu sebuah pertanyaan atau sindiran karena “dirimu” tidak mengerti entah apa yang sedang dibicarakan, entah pula pendapatnya. Dari kata roti, hanya diambil ti saja: Ora ngapem Landa, ora ngerti.

Atas makna di atas ini berkembanglah model bicara parikena, lengkapnya sambrana parikena; yakni mengatakan keinginan atau maksud hati bukan dengan cara yang wajar dan sopan sebagaimana umumnya, namun dengan kalimat bernada bergurau bahkan sangat mungkin sembrana/nakal, nampak tidak serius padahal ingin sekali.

Baca juga Setan Nunggang Gajah

Contohnya, tadi aku lewat depan rumahmu, hampir saja melempari mangga yang ranum-ranum itu. Apa maksudnya? Orang ini kepingin Anda kirimi mangga.

Gajah diblangkoni

Kembali ke gajah diblangkoni, pinter kotbah, ora pinter nglakoni. Sebuah reaksi spontan manakala mendengar seseorang (banyak ya?) yang terbukti memang hanya pinter omong doang (omdo), namun pelaksanaan hidup sehari-harinya nol besar.

Maka ungkapannya: “Ahhhhhh, gajah diblangkoni,” dan satu penggal kalimat itu saja sudah cukup.  Apabila ada yang bertanya: “Apa naksudmu?” Bolehlah Anda terangkan maksudnya.

Namun, sebagai sebuah parikan, kalimat pendek gajah diblangkoni tetap terbuka dimaknai lain, artinya tidak bermakna tunggal saja “pinter kotbah, ora pinter nglakoni” tadi.

Dalam percakapan sehari-hari, gajah diblangkoni dapat juga dilengkapi menjadi sindiran  bagi para suami yang takut istri: “Ahhhh, pak Dadap tuh gajah diblangkoni,  kalau di rumah tukang pegang panci,” padahal kalau di lapangan tenis, wahhhhh teriak-teriakannya cetar membahana plus lari pontang sana, panting sini.

Konon ada cerita dari mulut ke mulut bahwa di zaman penjajahan Jepang, ada sebuah parikan yang sangat mudah namun terkenal sekali, yaitu pagupon omahe dara; maksudnya Melu Nippon tambah sara. Rumah merpati itu  namanya pagupon, dan dimaknai ikut (dijajah) Jepang hidup semakin sengsara. Parikan ini berkembang sebagai “lagu perjuangan” sebagai seruan untuk melawan Jepang.

Bagi yang mengenal sejarah dan makna parikan pagupon omahe dara, tentu kalimat kelanjutannya tidak usah diteruskan lagi karena sudahlah sangat jelas.

Dan karena dewasa ini tidak ada lagi penjajahan dari siapa pun; parikan pagupon omahe dara sangat terbuka untuk makna atau maksud-maksud lain; misalnya bagi pengantin muda, sering-seringlah bersenandung pagupon omahe dara ……… ayo ndang kelon mumpung wis sela; mumpung sudah longgar, ayo tidur.

Boleh juga bagi para ASN yang di saat menjelang akhir tahun ini bernyanyi: Pagupon omahe dara ………. aja takon suk kapan gaweyane sela; jangan tanya kapan longgar dari pekerjaan. Malahan bisa lebih lengkap lagi dapat didendangkan oleh siapa pun:

Gajah diblangkoni …. mama(h) papa(h) satu hati

              Pagupon omahe dara ……. tansah guyon agawe mulya

Artinya mari ibu bapak sepakat betapa selalu bersenda-gurau itu akan semakin mendorong hidup kita ini terus merasa bahagia mulia. Jangan lupa Bahagia!

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang