Oleh: Amir Machmud NS
// mengapa dia kosongkan rasa lapar/ tak pula memelihara dahaga/ menepikan libido kemenangan/ bukankah Anfield Gang tetap bara merah/ ayo tetaplah gagah/ bertarung seperti apa adanya//
(Sajak “Liverpool dan Rasa Lapar”, 2022)
RASANYA, luap emosi ikut terhentak ketika tendangan datar Mohamed Salah merobek gawang Ederson Moraes.
Momen penentu pada pengujung laga Liverpool vs Manchester City di Stadion Anfield, awal pekan ini seakan-akan menegaskan “kehadiran kembali” The Reds yang sesungguhnya. Liverpool yang “lapar-pol”.
Gurat ekspresional dan gestur sang taktisi, Juergen Klopp pun saya dapatkan kembali. Bandingkanlah dengan wajah muramnya saat Liverpool dikalahkan Arsenal 2-3 pada salah satu segmen liga, yang mengilustrasikan kegalauan serius performa Anfield Gang.
Gambaran di ruang rasa itu tak sulit dimengerti. Ya, itulah cermin wajah resah Liverpool, pun kegelisahan Klopp terhadap kondisi pasukannya pada awal musim 2022-2023 ini.
Akankah momen kemenangan atas rival terberat, Manchester City kemarin mengubah kepercayaan diri Liverpool yang sempat compang-camping?
Dapat pula dimaknai, ini bentuk kemenangan mind game Klopp atas Pep Guardiola. Beberapa hari menjelang super big match itu, Klopp memuji-muji City dan Pep sebagai entitas terbaik dunia. Bahkan dia “meminta” agar Pep tidak mengarsiteki The Citizens selama empat musim untuk mengembalikan kenormalan Liga Primer.
“Psiko-diplomasi” itu rupanya efektif menjadi titik balik. Duel terbaik dengan tensi tinggi itu dimenangi Klopp lewat gol striker yang juga sedang bangkit: Mohamed Salah.
Tak Baik-baik Saja
Liverpool menemukan kembali kedahsyatan gegenpressing yang pada awal musim ini seolah-olah “mejan” dan mengalami tren penurunan.
Performa The Reds cenderung anjlok di tengah kemonceran Arsenal dan Manchester City. Pun, sebagai tim yang mendominasi klasemen elite sejak 2018, Jordan Henderson dkk jelas sedang dalam kondisi yang “tidak baik-baik saja”.
Daya ofensif dalam filosofi gegenpressing serasa meluntur. Tak terlihat sikap bermain yang penuh “rasa lapar”. Liverpool kehilangan aura “lapar-pol”.
Liverpool menunggu 30 tahun untuk kembali berjaya di Liga Primer pada 2019-2020. Dari rentang lama itu, terasa betapa pendek ketika The Anfield Gang kembali ke pusaran tren menurun saat ini. Tiba-tiba, anak-anak Juergen Klopp kembali masuk ke lingkaran permainan yang biasa-biasa saja, “kehilangan sentuhan keliverpoolannya”.
Pekan lalu, urutan ke-10 dalam klasemen sementara jelas bukan “maqam”-nya. Kemelejitan Arsenal di bawah Mikael Arteta dan stabilitas Manchester City adalah realitas yang sangat menggoyang Pasukan Anfield.
Curhat Klopp tentang kemewahan yang dinikmati Pep Giardiola di Manchester City pun, terasa sebagai guratan sejuta rasa. Pelatih asal Jerman itu “cemburu”, rival utamanya mendapat anggaran besar dari manajemen The Citizens untuk membeli pemain mana pun yang dimaui. Bagi Klopp, Pep sebagai pelatih terbaik telah membawa City menjadi tim paling top dunia saat ini.
Siklus Hidup
Kondisi compang-camping, yang tampak menguapkan konfidensi Liverpool, sejatinya menandai kenyataan tentang tesis – antitesis – sintesis dalam dunia konsep dan pemikiran, termasuk sepak bola.
Apakah gegenpressing yang sedemikian menakutkan sejak 2018 hingga 2021, mulai terdekonstruksi di hadapan para pelatih pemikir Liga Primer?
Atau ini gambaran siklus manajemen yang lazim berlaku, tentang Cakramanggilingan, sunnatullah roda kehidupan: ada kalanya di atas, ada kalanya pula di pusaran bawah perguliran roda?
Bahkan muncul pula analisis, Klopp menghadapi mitos kutukan performa setelah tujuh musim menangani sebuah klub, di mana pun dia melatih. Hanya, argumentasi manajemen bisa mematahkan mitos ini, yang terkadang menjadi sesuatu yang menyekap psikologi para pemikir klub.
Titik kemejanan dari sektor belakang hingga depan, Virgil van Dijk, Tren Alexander-Arnold, dan Mohamed Salah menjadi bagian dari elemen kekacauan dekonstruktif Liverpool. Sementara itu, Darwin Nunez dan Luis Diaz belum menutup celah pasca-Sadio Mane hijrah ke Bayern Muenchen. Lalu muncullah tren turun performa The Reds.
Ketika pilar-pilar kunci pun mengalami kekeruhan performa, artinya sedang terjadi pusaran kekacauan dalam keseluruhan determinasi tampilan Liverpool; yang bisa terkait teknis, fisik, dan psikologis. Terasa pula anak-anak Merseyside kehilangan “kegembiraan bermain”.
Kita tinggal menanti, apa yang akan terjadi di sisa kompetisi ini. Apakah faktor-faktor internal Liverpool makin mendominasi kekeruhan performa ini, atau faktor eksternal yang lebih kuat memberi tekanan. Atau semua sisi telah mereduksi rasa lapar dan “kemerahan” Liverpool?
Kemenangan atas City itukah momen pemulihan konfidensi, termasuk kembalinya performa Mo Salah sebagai salah satu elemen terpenting?
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —