batik Keloen
Batik ‘Keloen” dari Dusun Wanasri, Desa Tirtosari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang menembus pasar internasional. Yakni, ke sejumlah negara di Benua Eropa seperti Belanda, Jerman dan negara-negara di Eropa Timur serta Kanada, Amerika. Foto; W. Cahyono

KOTA MUNGKID (SUARABARU.ID)-Produksi batik  dari Dusun Wanasri ,Desa Tirtosari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang berhasil menembus pasar internasional.

Adapun pangsa pasar ekspor ‘’Batik Keloen” tersebut yakni ke sejumlah negara di Benua Eropa dan Amerika, yakni Belanda, Jerman dan sejumlah negara di Eropa Timur . Selain itu juga Kanada. Dan, terbanyak ke Belanda dan Jerman,” kata pemilik usaha Batik “Keloen”, Andre Yudho.

Andre mengatakan, peminat Batik ‘Keloen’ dari tanah air palingbanyak berasal dari Jakarta, Bandung, Medan, dan Manado.

Batik Keloen
Pemilik usaha Batik “Keloen”, Andre Yudho. Foto; W. Cahyono

Menurutnya, para pemesan dari Jakarta setiap bulannya memesan batik karyanya tersebut berkisar 80-100 potong.

Ia menambahkan, para pemesan batik dari luar negeri tertarik membeli karyanya bukan berdasarkan motif batik yang ada. Melainkan dari segi warnanya.

“Kalau orang Indonesia cenderung lebih suka dengan  warna-warna yang ngejreng ( tajam). Sedangkan, peminat dari luar negeri  sukanya warna alam,” ujarnya.

Produksi Batik “Keloen” tersebut didirikan sejak 2011 silam dengan  empat motif. Yakni, Pacar Prenthil, Sapto Renggo, Untu Butha, dan Sawut Kelapa.

Dari empat motif batik  tersebut, dua diantaranya  telah terdaftar secara nasional, yaitu Pacar Prenthil dan  Sapto Renggo.Sementara dua motif lainnya, Unthu Butha dan Sawut Klapa hingga saat ini belum terdaftar.

“Motif batik Pacar Prenthil diambil dari salah satu nama  tanaman langka yang dulunya hanya ditanam oleh orang-orang priyayi ( bangsawan,red. Sedangkan  Batik Sapto Renggo mempunyai  makna fisolofi  tujuh sifat kebaikan manusia,” ungkapnya

Ia menjelaskan, setiap harinya usaha yang digelutinya tersebut hanya mampu membuat  batik kombinasi atau cap sebanyak 15-20 potong.

Sedangkan, untuk batik tulis, produksinya hanya mencapai 10 potong saja dengan motif sederhana.

Minimnya produksi harian batik tulis tersebut, karena dalam proses pembuatannya, perlu ketelitian yang tinggi sehingga butuh waktu lama agar benar-benar selesai.

Untuk proses pewarnaan batik tersebut, pihakny menggunakan  dua jenis pewarna, yakni pewarna  sintetis dan alam.

”Untuk proses pewarnaan dengan pewarna alami, kami menggunakan  kayu Secang, ekstrak kayu Julawe, daun Indigofera dan lainnya, yang didapat  di sekitar lokasi,” imbuhnya.

Untuk satu lembar/ potong kain batik kombinasi dengan panjang 2,5 meter dan lebar 1,15 meter, dirinya mematok harga mulai Rp 350.000. Sedangkan, untuk batik tulis dijual mulai harga Rp 1,5 juta per potongnya.

Untuk memenuhi pesanannya tersebut, Andre dibantu oleh 30 tenaga kerja. Mereka sebagian besar merupakan tenaga kerja perempuan dari sekitar tempat tinggalnya.

“Ada sekitar 30 orang pekerja  yang sebagian merupakan ibu-ibu rumah tangga . Mereka itu, rata-rata petani jadi kami ingin memberdayakan warga setempat juga,” katanya.  W. Cahyono