Oleh: Wina Armada Sukardi
MANAKALA dipanggil oleh Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan, pada Selasa (11/10/2022), di Kantor Kemenko Polhukam, jajaran petinggi PSSI lagi-lagi menyatakan, PSSI tidak bertanggung jawab terhadap malapetaka atau tragedi Kanjuruhan.
PSSI kembali berlindung di balik Pasal 3 Ayat 1 d bab Tanggung Jawab Regulasi Keselamatan dan Keamanan (selanjutnya disingkat RKK) PSSI Tahun 2021. Dengan adanya ketentuan ini, PSSI menandaskan, mereka dilepaskan dari segala tuntutan hukum pihak manapun.
Benarkah demikian? Kita akan melakukan telaah terhadap makna rumusan Pasal 3 Ayat 1 d dan melakukan penelusuran sistematis, dengan menghubungkan pasal-pasal terkait di RKK PSSI Tahun 2021 sendiri.
Dari tinjauan itu dapat disimpulkan, ternyata PSSI tetap wajib memikul tanggung jawab hukum, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, PSSI tidak dapat berlindung sepenuhnya di Pasal 3 Ayat 1 d RKK PSSI Tahun 2021.
Supaya lebih jelas, disini dikutip bunyi Pasal 3 Ayat 1 d sebagai berikut:
“1. Panpel wajib, dengan biaya sendiri, bertanggung jawab secara penuh untuk: d. Panpel menjamin, membebaskan, dan melepaskan PSSI (beserta para petugasnya) dari segala tuntutan oleh pihak manapun, dan menyatakan bahwa Panpel bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kecelakaan, kerusakan dan kerugian lain yang mungkin timbul berkaitan dengan pelaksanaan peraturan ini”.
Dengan dalih PSSI punya aturan sendiri, mereka membela (diri), hanya dengan aturan itu saja. Hanya Panpel yang Membebaskan PSSI
Dari rumusan ini, ada dua hal yang jelas. Pertama, PSSI hanya dibebaskan oleh Panpel. Dalam RKK PSSI Tahun 2021, ternyata yang terlibat dalam pertandingan tidak hanya Panpel, tapi ada juga struktur lain, yaitu Penyelenggara Pertandingan.
Sesuai dengan RKK PSSI tahun 2021, yang dimaksud dengan Panpel adalah, “panitia pelaksana pertandingan yang dibentuk/ditetapkan oleh PENYELENGGARA PERTANDINGAN (huruf besar dari penulis) bertanggung jawab kepada PENYELENGGARA dan atau PSSI, dipimpin dan beranggota personil-personil sebagaimana dijelaskan dalam Surat Keputusan Terkait, untuk bertindak sebagai penyelenggara pertandingan dengan ketentuan sebagaimana diatur oleh Regulasi Kompetisi PSSI”.
Lalu apa yang dimaksud dengan PENYELENGGARA PERTANDINGAN? RKK PSSI tahun 2021 mendefinisikan penyelenggara pertandingan adalah, “orang/organisasi/klub atau entitas legal lainnya yang menyelenggarakan pertandingan sepak bola”.
Jika ditilik dari pengertian itu, dalam RKK PSSI tahun 2021 ada dua entitas yang berbeda. Pertama, Penyelenggara Pertandingan, yakni pihak yang menyelenggarakan pertandingan. Lalu untuk Pelaksanaan Pertandingan dibentuklah Panpel.
Nah, ternyata Pasal 3 Ayat 1 huruf d, yang membebaskan PSSI hanyalah Panpel, bukan semua organ yang ada. Dalam hal ini berdasarkan ketentuan yang ada pada RKK PSSI Tahun 2021 sendiri terang benderang, Penyelenggara Pertandingan sama sekali tidak membebaskan PSSI dari kewajiban hukum apapun, termasuk tidak terbatas pada tuntutan hukum pihak ketiga. Padahal jelas Penyelenggara Pertandingan kedudukanya lebih tinggi dari Panpel.
Dari konstruksi hukum ini saja sudah jelas, PSSI harus ikut bertanggung jawab terhadap semua yang tidak dibebaskan oleh Penyelenggara Pertandingan. Ini peraturan PSSI sendiri yang tentu harus dihormati, pertama-tama oleh PSSI sendiri.
Pada Pasal 26 RKK PSSI tahun 2021, Penyelenggara Pertandingan diberikan enam kewajiban dalam pemeriksaan dan penjagaan stadion. Dengan kata lain, Penyelenggara Pertandingan merupakan organ yang aktif, dan juga memiliki peran besar. Dan Penyelenggaran Pertandingan dalam RKK PSSI tahun 2021 sendiri, sama sekali tidak mengatur untuk menjamin, membebaskan dan melepaskan PSSI dari tanggung jawab hukum.
Maknanya, dalam tragedi di Kanjuruhan, PSSI tidak dapat mengelak dan berlindung di Pasal 3 Ayat 1 d. Hanya Panpel saja yang membebaskan PSSI, tetapi organ-organ lain sama sekali tidak memberikan pembebasan itu.
Tuntutan Perdata
Jika diperhatikan, rumusan Pasal 3 Ayat 1 d dapatlah ditafsirkan Panpel menjamin membebaskan PSSI dari tuntutan pihak manapun limitatif, pada aspek hukum perdata saja. Bukan hukum lainnya, terutama bukan hukum pidana.
Simak saja rumusan Pasal 3 Ayat 1 d, jelas mengacu pada aspek hukum perdata. Perhatikan kalimat, “Panpel wajib, dengan biaya sendiri, bertanggung jawab penuh untuk:”. Kata “dengan biaya sendiri” jelas maksudnya adalah aspek kebendaan atau finansial, dan itu artinya perdata.
Hal ini masih diperjelas lagi dengan rumusan limitatif atau terbatas, yakni “Panpel bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kecelakaan, kerusakan dan kerugian lain”. Pemakaian terminologi “kecelakaan, kerusakan dan kerugian lain”, jelas merujuk kepada hukum perdata. Dalam hal ini “kecelakaan dan kerusakan”, harus ditafsirkan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan sebagai kerugian perdata, lantaran dibuntut kalimat terdapat kata “dan kerugian lainnya”.
Dari sana kita memahami pula, karena ini persoalan perdata, rumusannya pun terang benderang rumusan dan tanggung jawab perdata. Bagian kalimat dalam Pasal 3 Ayat 1 d yang berbunyi, “Panpel menjamin, membebaskan, dan melepaskan PSSI (beserta para petugasnya) dari segala tuntutan oleh pihak manapun”, bermakna Panpel membebaskan PSSI dari segala tuntutan perdata pihak manapun.
Ini merupakan konstruksi hukum perdata, dan memang lazim dipakai dalam perjanjian perdata. Pemberiaan pelepasan tanggung jawab perdata diperbolehkan dalam hukum perdata.
Sebaliknya, berbeda dengan hukum pidana. Ketentuan peraturan pidana memiliki aturan tersendiri. Pertama, Panpel tidak memiliki otoritas atau kewenangan apa pun dalam hukum pidana, apalagi otoritas untuk membebaskan pihak ketiga dari kesalahan pidana. Ada atau tidaknya kesalahan atau pemenuhan unsur pidana, sepenuhnya menjadi kewenangan atau otoritas penyidik (polisi).
Jadi, dalam hal hukum pidana, Panpel tidak dapat membebaskan PSSI dari pertanggungjawaban pidana apa pun. Penjelasan ini membawa kita pada kesimpulan, PSSI sama sekali tidak memiliki kekebalan hukum pidana, di balik Pasal 3 Ayat 1 d.
Kedua, dalam hukum pidana berlaku asas penyertaan (deeleming), sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Intinya, setiap pihak yang terlibat dalam sebuah kasus pidana, harus bertanggung jawab sesuai peranannya masing-masing.
Dengan demikian, dari aspek pidana, karena PSSI memiliki peranan sentral dalam pengaturan pertandingan sepak bola di Indonesia, otomatis PSSI tidak dapat diberikan pengecualiaan untuk lepas dari tanggung jawab pidana.
Tegas, dari RKK PSSI Tahun 2021, telaah aspek pidana membuktikan, PSSI tetap harus ikut bertanggung jawab dalam kasus malapetakan Kanjuruhan.
Tak Ada Pelepasan Tanggung Jawab Pidana
Kejelasan Pasal 3 Ayat 1 d merupakan pelepasan tanggung jawab hukum perdata, dapat kita kaitkan dengan penelusuran kita terhadap seluruh pasal-pasal RKK PSSI tahun 2021. Ternyata tak ada satupun ketentuan dari 57 Pasal RKK PSSI tahun 2021 beserta lampirannya, yang menyatakan PSSI dilepaskan dari ketentuan hukum pidana yang berlaku.
Ini selaras dengan rumusan penegasan Pasal 1 Ayat 4 yang menegaskan, “Peraturan ini merupakan persyaratan minimum dan tidak mempengaruhi kewajiban-kewajiban hukum yang timbul dari peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Apa artinya? Di luar ketentuan aspek perdata, PSSI tidak dibebaskan dari beban apa pun. PSSI wajib menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk asas-asas hukum pidana. Dengan demikian, jelas PSSI dapat dijerat dengan berbagai hukum, tetapi tidak terbatas, terutama dengan hukum pidana.
Maka oleh karenanya, pembelaan PSSI yang berlindung di balik Pasal 3 Ayat 1 d RKK PSSI tahun 2021, sudah tidak relevan lagi. PSSI tidak memiliki kekebalan hukum lagi.
— Wina Armada Sukardi, Advokat dan Analis Sepak Bola —