Oleh: Amir Machmud NS
PAGI (2 Oktober 2022), saya me-review berita-berita tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, dengan mem-browsing sejumlah catatan dan menemukan dua artikel penting.
Pertama, tulisan networker kebudayaan yang tinggal di Solo, Halim HD. Kedua, artikel saya sendiri saat masih bekerja di Suara Merdeka, yang diunggah di portal persijap.or.id, 1 Februari 2010.
Angka kematian 127 jiwa (bahkan mungkin lebih dari 150 orang) dalam rekor dunia kerusuhan sepak bola, menempati peringkat kedua setelah Bencana Stadion Nasional, Lima, Peru pada 1964 yang menewaskan 328 orang.
Sedemikian ringankah nyawa manusia terkorbankan untuk sepak bola?
Terjustifikasikah pernyataan tokoh legendaris Liverpool, Bill Shankly (1956-1974) bahwa sepak bola lebih serius dari persoalan hidup dan mati?
Menjadi tepatkah satire Eduargo Galeano, wartawan dan novelis Uruguay (1940-2015) bahwa seorang pria dapat mengubah istri, partai politik atau agama, tetapi dia tidak dapat mengubah tim sepak bola favoritnya?
Kejadian di Malang seolah-olah paradoks dengan “sesanti” filsuf dan peraih Nobel Sastra 1975 Albert Camus, “Segala sesuatu tentang moralitas dan kewajiban sebagai manusia, saya dapatkan dari sepak bola”.
Cukup lama saya merenungi narasi Halim HD dalam artikel pendeknya. Frekuensinya sama dengan Camus, “Teknologi menjadikan manusia menjadi umat, manusia ada dalam bersama menciptakan kebudayaan dan peradaban. Itulah bedanya sepak bola dengan pilkada yang sama-sama berebut angka, tetapi yang satu dengan landasan etika, lainnya dengan nafsu angkara murka dorongan berkuasa” (ngopibareng.id, 7 Juli 2018).
“Jagat Kecil”
Evaluasi dan kajian apa pun terhadap Tragedi Kanjuruhan, secara awal menunjukkan kecerobohan manajemen penyelenggaraan pertandingan Arema vs Persebaya. Apalagi dengan label liga yang sebenarnya sudah punya banyak indikator risiko yang seharusnya dijadikan pertimbangan.
Dari temuan sementara, misalnya, sudah ada usulan/permintaan kepolisian agar laga digelar sore hari dari jadwal malam. Stadion diisi penonton melebihi kapasitas. Temuan lainnya, penggunaan gas air mata untuk meredam mobilitas massa sebenarnya melanggar regulasi FIFA. Plus realitas sejarah, dua kelompok suporter Arema dan Persebaya punya riwayat relasi rentan.
Kekecewaan lantaran kekalahan tim yang didukung merupakan risiko respons yang biasa terjadi dakam banyak pertandingan, sehingga pada titik ini, antisipasi pengamanan ke kemungkinan tersebut menjadi fokus utama.
Secara psikososial, apa yang terjadi di sepak bola, termasuk dunia suporternya, hakikatnya merupakan “jagat kecil”, merefleksikan apa yang terjadi di “jagat besar” kehidupan sosial-politik-ekonomi pada umumnya. Maka terkadang muncul analisis, jangan sekadar menyalahkan letupan-letupan suporter, karena akar masalahnya bukan hanya di sepak bola (Politik Suporter Jepara – Semarang, 2010).
Saya mengutip tesis Richard Giulianotti, para sosiolog cenderung telah mengecilkan arti kenikmatan psikososial kekerasan sepak bola. Hooligan, menurutnya secara teratur mengacu pada “dengung” (buzz) emosional yang menyergap saat mereka “bergairah” melawan pesaing. Dijelaskan pula soal sensasi hooligan menurut konsep “aliran”. Istilah terapan lainnya adalah “kegiatan berbahaya”, juga diajukan konsep lain dengan mengategorikan hooliganisme sebagai perburuan atau kegiatan waktu luang yang menyerempet bahaya atau berisiko (Sepak Bola, Pesona Sihir Permainan Global, 2006).
Tema-tema dalam analisis Giulianotti itu, yang secara komprehensif direfleksikan dari runutan historis kondisi global di negara-negara Eropa dan Amerika Latin, boleh jadi juga mempunyai muara yang sama jika dianalogikan dengan beragam ekspresi yang menumpangi sepak bola, seperti yang banyak kita rasakan di Indonesia.
Jauh melompat ke luar pagar itu, energi politik juga bisa menggerakkan kelompok-kelompok suporter itu untuk keuntungan-keuntungan politik tertentu. Tesis Giulianotti menjelaskan keterkaitan politis itu dalam studinya terhadap klub-klub di Argentina, yang pemimpinnya berakses ke kelompok suporter sebagai kekuatan pendukung.
Dari telaah reflektif “Jagat Kecil”, apakah Tragedi Kanjuruhan merefleksikan letupan persoalan di “Jagat Besar”? Atau ini gambaran reguler akibat ketidakmampuan sistem manajemen penyelenggaraan pertandingan untuk mengantisipasi semua indikator kemungkinan?
Eksotika Vs Energi Setan
Simaklah “rasa” Diego Maradona terhadap sepak bola. Melihat bola, mengejarnya, kata El Pibe del Oro itu, membuat dia menjadi pria paling bahagia di dunia.
Ya, sepak bola adalah energi kegembiraan, aura yang mengekspresikan kebahagiaan manusia untuk bermain-main. Namun pada saat yang sama, dari sepak bola juga bisa mengalir “hawa panas”, ritus kekerasan yang bisa bervariasi: antara suporter dua kesebelasan yang bertanding, dan antarelemen yang berelasi dalam sebuah penyelenggaraan laga.
Pada 6 Mei 2013 saya menulis, berbasis pada tesis-tesis Desmond Morris (1981), Richard Giulianotti (2006), dan Franklin Foer (2006), saya selalu menemukan persambungan “rasa”dan “ekspresi” sepak bola sebagai katarsis; karena di dalamnya ada “kegilaan”, “kesukuan”, dan daya tarik yang bagai “sihir”. Juga terdapat persambungan kultural yang membedakan bagaimana suatu kelompok, suku, komunitas, dan bangsa menyikapi sepak bola (“Setanisme” Sepak Bola Kita, 2013).
Kerusuhan maut di Kanjuruhan bisa terpicu dan tersuburkan oleh faktor apa saja, merupakan bagian dari energi yang berlawanan dengan spirit eksotika permainan. Letupan yang membelakangi “temuan” Albert Camus, landasan etika dalam pandangan Halim HD yang terbenam dalam spirit “kesukuan suporter”, dan melumerkan impian menjadikannya kebudayaan dan peradaban.
Ketika tim nasional, di bawah asuhan pelatih Korea, Shin Tae-yong mulai bergerak mobile dalam dinamisasi pasang naik, landasan pembinaan justru meletupkan “wajah menyedihkan”. Nyawa manusia kehilangan harga oleh tata manajemen penyelenggaraan dan penikmatan sepak bola.
Kita sedih dan berduka, tetapi jangan hapus cinta kami terhadap sepak bola dengan pendekatan yang tanpa rasa…
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —