Oleh JC Tukiman Tarunasayoga
KATA, meski hanya sepatah, dapat sangat menyihir. Siapa tidak tersihir oleh sebuah kata slingkuh akhir-akhir ini? Saking kuat daya sihirnya, kata slingkuh bergeser dari makna semula dan pergeserannya lalu terfokus pada makna tunggal, yakni sedheng, laku ngiwa (tumrap wong wadon).
Bacalah sedheng seperti Anda mengucapkan kata “benteng” atau pun “cewek” atau “cengeng”.
Dan maaf seribu maaf, Bausastra Jawi memberi batasan sedheng seperti yang tertulis di atas: berlaku untuk perempuan. Konteks sedheng itulah yang akhir-akhir sedang diperdebatkan utamanya di internal kepolisian berkaitan dengan kasus Sambo.
Benarkah telah terjadi laku sedheng, ataukah justru sebaliknya, yakni pelecehan? Biarlah proses hukum itu berjalan.
Mengapa makna sedheng diartisamakan dengan slingkuh? Itulah daya sihir terfokus tadi, maksudnya kata slingkuh (Jawa) atau selingkuh (Indonesia) yang sejatinya artinya cukup banyak, lalu terfokus menjadi tunggal dan terkait dengan aktivitas seks semata.
Perhatikan arti selingkuh sesuai KUBI, yaitu curang, tidak jujur, tidak berterang-terang, dan korup. Bukankah itu semua ada kaitannya dengan perilaku penyelewengan orang terhadap penggunaan uang yang dipercayakan kepadanya? Mengapa penyelewengan penggunaan uang bergeser total ke penyelewengan seks?
Baca juga Koruptor Itu Orangnya, Korupsi Itu Tindakannya, Pola Pikirnya: Glathak, Granyah, Gragas, lan Srakah
Hal yang lebih khas ada dalam Bausastra Jawi, slingkuh berarti (a) ora bares, artinya seseorang tidak jujur, tidak berterus terang tentang urusan maupun kata-katanya; (b) nganggo dhuwit utawa barang liyane sing dadi tetanggunane, yaitu menggunakan uang atau barang untuk kepentingan pribadinya padahal uang/ barang itu bukan milik sendiri; dan (c) plingkuran, rikuh, yaitu salah tingkah.