blank
Celeng atau babi hutan sering digambarkan sebagai hewan yang suka makan yang tak semestinya dimakan, dan apa saja dimakan. Foto: TM

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

ATAS tulisan minggu lalu, Tega, Tegel, Teges, lan Tuntas, ada dua komentar (lebih tepatnya permintaan) yang perlu dijawab lewat tulisan ini.

Komentar pertama dari teman di gugus Nusa Tenggara yang menegaskan betapa tega, tegel, teges dan tuntas itu sangat pas kalau diterapkan untuk tindakan korupsi, bahkan untuk koruptornya.

Konon beliau ini pegiat antikorupsi (tetapi embuh apa dan bagaimana kegiatan konkret keantiannya), dan atas komentar itu saya jawab: “Matur nuwun diberi ide untuk tulisan minggu depan karena tega, tegel, teges lan tuntas itu bukan untuk dikaitkan masalah korupsi.”

Jawaban yang sama saya berikan kepada sahabat di lereng Gunung Sumbing yang menyatakan: “Wah ……tega, tegel, teges lan tuntas ini menjurus ke Te-Gas: Tegel Gragas.”

Pola pikir

Segalanya itu bermula dari pola pikir. Bukankah ada pepatah “Pikir itu pelita hati.”  Orang sengaja dan bertindak korupsi karena mindset (apa yang dalam otaknya) adalah memang berniat korupsi dengan berbagai alasannya. Tentu ada yang bertanya: Apa yang menggerakkan orang berpola pikir korupsi?

Pertanyaan itu dalam tulisan ini dijawab berdasarkan pengamatan sehari-hari atas naluri orang makan. Karena makan itu kebutuhan utama/pokok manusia, maka mau tidak mau harus terpenuhi.

Baca Juga: Saat Seperti Inilah, Pejabat Harus Berani Tega, Tegel, Teges, lan Tuntas

Dalam konteks pemenuhan hasrat dan naluri makan seperti ini, ada saja orang yang entah karena apa lalu bersikap glathak, granyah, gragas lan serakah.

Pola pikir glathak, granyah, lan gragas itu mirip-mirip, yakni seneng memangan sing ora patut dipangan, seneng mangan apa wae; yaitu selalu ada saja orang yang senang makan apa saja yang sepatutnya tidak harus dimakannya.

Dengan kata lain, orang berpola pikir glathak, granyah, lan gragas belum tentu mereka itu hidup serba kekurangan dalam/untuk memenuhi kebutuhan makannya; dan sangat boleh jadi orang itu sudah cukup kenyang, namun karena pikirannya dipenuhi dengan hasrat untuk mangan apa bae jadilah dia/mereka glathak dst. Muncullah tindakan korupsinya, “makan milik siapa pun, tidak peduli.”

Srakah

Segalanya bermula dari pola pikir, dan muaranya adalah tindakan. Pola pikirnya glathak, granyah, lan gragas, maka tidaklah mengherankan kalau muara tindakannya adalah srakah.

Dalam bahasa Jawa tersebutkan srakah, dan dalam bahasa Indonesia menjadi serakah, intinya kumudu-kudu oleh akeh; maksudnya, ada dorongan kuat dalam hati ini harus segera mendapatkan banyak syukur dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Karena itu tidak mengherankan jika seseorang  ternyata  memegang suatu jabatan baru dalam hitungan  satu tahun, lha kok wis kasil numpuk harta/uang berlimpah.

Baca Juga: Berjaga-jaga dan Waspadalah: Banyak Sambang, Sambu, lan Sambodana

Dorongan hati untuk srakah itu kuat sekali, ungkapannya kumudu-kudu, dan dorongan itulah yang terus bergema harus……. harus……..harus…… sehingga ketika dorongan srakah itu tidak terkendali lagi, kuranglah pangati-atine; dan saat seperti itulah mudah bagi KPK untuk mengendus.

Keberhasilan OTT oleh KPK itu memang kelihaian KPK, namun jangan lupa faktor lalai lengahnya orang serakah: Srakah kuwi gendhong lali, serakah itu pasti membuat orang lupa (lupa daratan, lupa anak, lupa bojo, lupa segalanya karena kumudu-kudu).

Jika KPK “mengurus” tindakan koruptor, siapa pula “mengurus” pola pikir koruptor?  Minta masukan pembaca nih ………..(siapa tahu menjadi bahan tulisan minggu depan, hehehehehe)

(JC Tukiman Taruna, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang)