blank
Ilustrasi/Kompasiana.com

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Seperti apa sih kondisi zaman (baca Negara) saat ini? Sejumlah orang memang senang menggunakan kosakata “sedang tidak baik-baik saja,” seolah-olah hendak menegaskan bahwa kondisinya sedang tidak enak badan (sakit). Benarkah sedang sakit? Saya memberanikan diri menjawab, tidak! Kondisi zaman tidak sedang sakit, melainkan tetap dalam kondisi sehat, cuma memang harus tetap hati-hati dan waspada.

Justru karena dalam kondisi baik-baik saja inilah seruan dan ajakan “hati-hati dan waspadalah” menjadi sangat relevan, mengingat ajakan dan seruan itu menjadi nyata betapa orang sehat memang harus hati-hati dan waspada agar jangan sakit.  Seruan dan ajakan hati-hati dan waspada jelas tidak relevan bagi orang yang sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Logis kan?

Tega lan Tegel

Bagaimana halnya dengan kondisi para pejabat kita, apakah saat ini para pejabat kita dalam kondisi “sedang tidak baik-baik saja,” ataukah “dalam kondisi baik-baik saja?” Saya memilih jawaban terakhir, yakni “sedang dalam kondisi baik-baik saja,” namun mereka justru saat-saat inilah harus benar-benar tampil sebagai pejabat yang tega, tegel, teges, lan tuntas.

Mengapa? Kondisi “baik-baik saja” seperti ini justru layak kalau dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menunjukkan kualitas prima pengabdiannya kepada masyarakat, bangsa, dan Negara lewat sikap dan kebijakannya yang  ‘TEGAK LURUS’  dan karena itu harus tega, tegel, teges, lan tuntas dalam hal apa saja dan kepada siapa saja.

Baca Juga: Berjaga-jaga dan Waspadalah: Banyak Sambang, Sambu, lan Sambodana

Tega, kalau dalam bahasa Jawa dibaca seperti Anda mengatakan lima, singa, kaca; sedang dalam bahasa Indonesia tidak seorang pun mengalami kesulitan membaca tega, lima, singa, dan kaca. Arti tega ada lima, yakni (a) wis ninggal kadonyan, yaitu orang yang sudah selesai dengan dirinya dan meninggalkan hal-hal duniawi;

(b) Pandhita tapa, seorang pertapa karena memang sudah meninggalkan urusan duniawi tadi; (c) ora duwe owel, tidak pelit, tidak ada rasa eman-eman; (d) tanpa uwas sumelang, tidak ada rasa khawatir sedikit pun; dan (e) tanpa welas, yakni tidak ada rasa kasihan, ora gampang mesakake. Dalam konteks para pejabat, jadilah dan berjiwalah tega terutama ketika harus memutuskan masalah pelik yang terjadi.

Ada tega, ada tegel (bacalah seperti Anda mengatakan pecel) yang mirip-mirip artinya terutama dengan (e). Namun tegel ini lebih menyangkut perasaan hati, yaitu (i) ora wigih-wigih, tidak ada perasaan ini itu jika harus memutuskan “pecat” meski pun dia itu teman seangkatan, (ii) ora jijik, tidak merasa jijik; dan (ii) mentala, tidak terganggu oleh belas kasihan dalam arti mesakake. Di zaman serba canggih ini, tuntutan pejabat untuk mengambil kebijakan secara tega dan tegel justru menjadi sangat penting.

Teges lan Tuntas

Pejabat di tingkat mana pun akan mampu bersikap dan mengambil kebijakan secara teges dan tuntas manakala ia telah mampu melampaui tega lan tegel. Yakinlah tentang hal ini! Teges, bacalah seperti Anda mengucapkan tegel tadi, mengandung arti apa yang ia ucapkan itu bermakna, bernas/berisi, mantap, dan menunjukkan wibawa.

Maka makna teges juga terungkap dalam ucapan, kebijakan, atau pun keputusannya itu terang, cetha, gampang dingerteni; jelas dan mudah dipahami oleh siapa pun.  Supaya bisa teges, tidak jarang orang berusaha neges dahulu, yakni melakukan refleksi diri, doa khusuk secara khusus agar mendapatkan penerangan/pencerahan.

Baca Juga: Mereka Sangat Menjengkelkan Publik, karena: Dora, Dorasembada lan Doracara

Apabila pejabat dalam berkeputusannya (lebih-lebih ketika menghadapi masalah sangat pelik) telah mampu melewati tega, tegel, lan teges; maka tuntaslah sudah keputusannya nanti. Tuntas bermakna bermacam-macam, tetapi yang utama ialah (x) rampung, katekan kabeh, nganti rampung, artinya selesai secara mendasar, bukan hanya di permukaan saja; dan (xx) cetha sarta ganep anggone guneman, kabeh gagasan wis dilairake. Ini berarti semuanya sudah dijelaskan secara gamblang dan menyeluruh, tidak ada lagi yang tersisa atau ditutup-tutupi atau disembunyikan (lagi).

Jelaslah sudah wahai para pejabat, Anda didukung masyarakat dimana pun untuk membuat kebijakan dan keputusan (lebih-lebih di saat ada masalah-masalah pelik) kanthi tega, tegel, teges; dan itulah jalan terbaik untuk TUNTAS.

(JC Tukiman Taruna, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang)