blank
Muhammad Ali dan Pele. Foto: facebook

blankOleh: Amir Machmud NS

// sebutlah dia The Greatest/ katakan pula dia alien/ ketika batas lazim dilewati/ ketika dia tak seperti umumnya manusia/ pahamilah, di titik realitas/ bukankah Yang Akbar yang memberi kebesaran?/ : kepada sejumput manusia dengan faktor pembeda//
(Sajak “The Greatest”, 2022)

SEBERAPA jauhkah seorang anak manusia dianggap menyentuh wilayah kapasitas yang melewati “kewajaran” batas-batas teknis?

Kata “alien”-kah yang mewakili gambaran itu, seperti yang biasa dipujikan kepada Lionel Andres Messi, peraih tujuh kali Ballon d’Or??

Tentu Anda pernah pula mencatat predikat “The Greatest”, yang dulu sering diteriakkan oleh Muhammad Ali, sang legenda tinju dunia.

Atau ungkapan Greatest of All Times (GOAT) yang sekarang banyak merujuk kehebatan sejumlah pemain bola, terutama untuk Leo Messi dan Cristiano Ronaldo.

Gambaran psiko-faktualkah ukurannya, atau kalkulasi matematis yang menetapkan klaim ke-GOAT-an seorang atlet?

GOAT, alien, atau jejuluk apa pun sejatinya adalah permainan mediatika, yang lahir sebagai produk kreatif budaya pop. Adapun klaim The Greatest, pada masanya merupakan ekspresi visioner Muhammad Ali. Pada masanya, “Si Mulut Besar” rupanya sudah paham, dunia profesional bertaut dengan peran media untuk menciptakan pasar.

Aneka “ulah” Ali dari 1960-an hingga 1980-an merupakan ungkapan visi untuk membuat dirinya sebagai pusat perhatian media. Ali, yang bernama asli Cassius Clay, memahami betul olahraga profesional membutuhkan “faktor pembeda” sebagai indikator bla-bla-bla magnet pasar.

Dunia tinju mengapungkannya sebagai perdebatan: siapa yang sebenarnya layak disebut “terbesar”? Apakah Rocky Marciano yang tak terkalahkan? Apakah Floyd Patterson, atau mungkin Floyd Mayweather Junior? Nyatanya, Ali memenangi “opini dunia” dengan menjadikannya sebagai “manusia tinju” yang komplet.

Kini, kata GOAT sebagai bentuk lain penyebutan “Yang Terbesar” dipakai oleh Paris St Germain, menyematkannya secara khusus di jersey nomor 30 Leo Messi.

Tentu orang boleh berdebat, siapa yang sejatinya paling pantas dilabeli GOAT. Pele-kah, Diego Maradona, Johan Cruyff, Zinedine Zidane, Messi, atau Cristiano Ronaldo dengan indikator kehebatan masing-masing? Atau sah-sah saja penilaian subjektif dan objektif kita memberi pengakuan itu untuk Messi, yang dalam beberapa segi memang berbeda dari yang lain.

Matematika Crawford
Dalam catatan USA Today, istilah GOAT diapungkan pada September 1992 oleh istri Muhammad Ali — Lonnie Ali – yang mendirikan perusahaan Greatest of All Time (G.O.A.T Inc). Dia mengonsolidasikan dan melisensikan kekayaan intelektual Muhammad Ali sebagai brand untuk tujuan komersial.

Sebelumnya kata GOAT punya konotasi buruk, kerap dipakai wartawan Amerika Serikat untuk memberi label ke atlet yang gagal.

Dalam perkembangannya, menurut kompas.com yang mengutip The Scotsman, GOAT menjadi sebutan untuk atlet yang dianggap terbaik, tidak hanya dari jumlah gelar atau trofi, tetapi juga kehebatan yang mewakili suatu era.

Pada 2021, matematikawan dari Universitas Oxford, Dr Tom Crawford melakukan penghitungan untuk menentukan pesepak bola yang paling layak disebut GOAT. Menurut Daily Mail, Crawford menggunakan algoritma unik yang menghitung pencapaian di klub dan tim nasional untuk membandingkan para pesepak bola di semua era.

Sejumlah syarat harus dipenuhi, setidak-tidaknya memenangi dua trofi Ballon d’Or, atau yang diakui terhebat di era sebelum 1956.

Kriteria Crawford itu, pertama, penghargaan (domestik dan Eropa) yang dimenangi di level klub yang ditimbang oleh koefisien UEFA untuk kekuatan relatif kompetisi. Kedua, penghargaan di level internasional (150 poin untuk Piala Dunia, 100 poin untuk Piala Eropa/Copa America, plus Sepatu Emas).

Ketiga, gol yang dicetak di level klub. Keempat, gol di level internasional (tim nasional). Kelima, suara yang diterima dalam penghargaan Ballon d’Or. Jumlah suara yang diberikan kepada pemenang Ballon d’Or dibagi dengan jumlah total suara yang diberikan kepada tiga pemain teratas. Hasilnya dikalikan 100 untuk memberikan persentase.

Keenam, rekor individu, misalnya pencetak gol terbanyak untuk klub atau negara, atau pencetak gol terbanyak di sebuah kompetisi. Ketujuh, “Z-Factor” atau “kampanye yang secara matematis luar biasa” pada suatu musim, yakni gol-gol pemain tersebut membantu timnya meraih kejayaan.

Perhitungan Dr Tom Crawford itu menghasilkan daftar Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Pele, Diego Maradona, Marco van Basten, Johan Cruyff, Ferenc Puskas, Alfredo Di Stefano, Ronaldo Nazario, dan Michael Platini.

Penilaian Van Basten
Nyatanya, perdebatan tentang siapa yang terbaik — tentu saja juga siapa “the real GOAT” terus berlangsung: Messi-kah, atau Ronaldo; sama dengan pembandingan yang tak pernah selesai: Pele, atau Maradona yang terbesar sepanjang masa?

Kriteria Dr Crawford boleh jadi menghasilkan parameter kuantitatif yang memosisikan Ronaldo di peringkat pertama. Apakah analisis ilmiah (matematika) menjadi ukuran sahih tentang yang terbesar sepanjang masa?

Komentar Marco van Basten rasanya patut kita simak. Kata legenda Belanda ini, “Cristiano merupakan pemain hebat, tetapi mereka yang mengatakan dia lebih baik dari Messi tidak tahu apa-apa tentang sepak bola, atau mereka yang mengatakannya dengan iktikad buruk”.

Kepada media sepak bola top Italia, Corriere dello Sport yang dikutip m.bola.net, Van Basten menegaskan, Messi itu spesial, tidak mungkin ditiru dan tidak mungkin diulang. “Seorang pemain seperti dia datang setiap 50 atau 100 tahun. Sebagai seorang anak, dia jatuh ke dalam pot jenius sepak bola,” ungkap peraih tiga kali Ballon d’Or itu.

Ironisnya, Van Basten justru tidak memasukkan nama Messi dalam daftar tiga pesepakbola terhebat sepanjang masa versi dirinya. Dia memilih Pele, Maradona, dan Cruyff.

“Sebagai seorang anak saya ingin menjadi seperti Cruyff. Pele dan Maradona juga luar biasa. Messi juga pemain hebat, tetapi Maradona selalu memikiki kepribadian yang lebih dalam sebuah tim. Messi bukan orang yang menempatkan dirinya di depan untuk beperang,” tutur Van Basten yang mengaku tidak melupakan Cristiano Ronaldo, Platini, atau Zidane.

Artinya, bukankah predikat GOAT sebenarnya lebih tepat kita nikmati sebagai permainan mediatika? Makin diperdebatkan, bakal makin terkunyah, dan dalam budaya pop, ini menjadi pembentukan viralitas yang terus menerus di-setting dan takkan pernah selesai.

Makin dikerucutkan nama, makin penasaran kita. Ada satu di antara sekian tokoh, dan semuanya pantas untuk menjadi si nomor satu.

Bukankah jawaban seorang Pele pun selalu berubah? Ada saat dia menilai Ronaldo lebih hebat, ada saat pula dia menyebut Messi lebih dahsyat…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah