blank
Markus Horison. Foto: facebook

blankOleh: Amir Machmud NS

// haruskah kebanggaan dipertentangkan?/ ketika kau coba meyakinkan diri/ ketika kau kobarkan spirit mandiri/ ketika keberanian dinyalakan/ agar menjadi diri sendiri…//
(Sajak “Eforia Kebanggaan”, 2022)

MARKUS Horison melepas sebuah “kata kunci” yang secepat itu menjadi viral, selepas sukses tim nasional U16 meraih Piala AFF di Stadion Maguwoharjo, Sleman, 12 Agustus lalu.

Di tengah selebrasi kemenangan 1-0 atas Vietnam, pelatih kiper itu meneriakkan kata “local pride”. Mungkin ada yang menganggap caranya provokatif, ketika dia mendekatkan bibirnya ke kamera televisi.

Setali tiga uang, Fakhri Husaini, pelatih yang pernah membawa tim U16 juara Piala AFF 2018 juga mengunggah diksi “pride” itu di akun media sosialnya. “Produk lokal, prestasi internasional. Top, membanggakan, menginspirasi,” tulisnya.

Luap kebanggaan itu menyulut kontroversi reaksi. Ada yang mengiyakan. Tak sedikit pula netizens yang menganggap Markus dan Fakhri tak seharusnya bersikap seperti itu.

Keduanya dinilai menyindir Shin Tae-yong, pelatih asal Korea Selatan yang dalam dua tahun menangani timnas senior, tim U23, dan U19, belum sekalipun memberi trofi juara.

Ada pula yang menafsirkan kata “lokal” itu sebagai tamparan kepada PSSI terkait tren naturalisasi pemain. Realitasnya, dengan murni pemain lokal, pelatih Bima Sakti mampu mempersembahkan kebanggaan bagi bangsa ini, menyamai prestasi tim Fakhri Husaini pada 2018.

Ingat Indra Syafri
Masalah serupa pernah menimbulkan “gesekan” ketika Shin Tae-yong memulai tugasnya pada 2020. Ketika itu, terjadi miskoordinasi antara STY dengan Direktur Teknik Indra Syafri, pelatih yang mampu mengantar timnas U19 juara Piala AFF 2013, dan tim U22 meraih Piala AFF 2018.

Satu babak “drama Korea” itu akhirnya bisa diredam, tetapi pada sisi lain menunjukkan kenyataan tentang dilematika potensi lokal: antara fakta prestasi dan kebutuhan “atmosfer pembeda” lewat kehadiran pelatih asing.

Untuk Piala Dunia U20 misalnya, yang semula dijadwalkan di Indonesia pada 2021 dan akhirnya digelar 2023, STY dibutuhkan. Dia dinilai punya jam terbang membawa Korea Selatan ke Piala Dunia 2018, antara lain dengan kejutan besar mengalahkan Jerman 2-0.

Capaian coach STY untuk Timnas Garuda belum sampai ke titel juara. Paling jauh membawa Asnawi Mangkualam dkk runner up Piala AFF 2021, medali perunggu SEA Games 2021, dan lolos dari Pra-Piala Asia 2023.

Di Piala AFF U19 Marcellino Ferdinand cs tak mampu lolos ke semifinal karena teradang Vietnam yang “bermain mata” dengan Thailand.

Memaknai “Local Pride”
Bagaimana seharusnya kita memaknai “kebanggaan lokal”, ketika terbukti ada titik prestasi yang diraih?

Sebuah capaian adalah keniscayaan. Dan, ungkapan respek wajib diberikan ketika individu atau tim menorehkan prestasi, tak peduli itu diraih dengan bentuk kekuatan yang seperti apa.

Basis kekuatan itu bisa sepenuhnya berkonten lokal, baik pemain maupun pelatih. Bisa pula di antara materi pemain itu terdapat produk naturalisasi.

Diniscayakan pula, tim itu berkonten pelatih asing dengan semua pemain lokal, atau tersisipi satu-dua materi naturalisasi.

Artinya, ukuran kebanggaan itu bisa dari aspek-aspek “produk sendiri”, atau ada kebutuhan untuk mengkolaborasikan unsur-unsur unggul dari berbagai sumber.

Indonesia mendatangkan coach Shin tentu dengan pertimbangan selain untuk percepatan pembinaan, juga menguatkan daya dorong, dan serapan pembelajaran dalam profesionalitas manajemen kepelatihan.

Sama dengan arsitek tim sebelumnya, pelatih asal Spanyol Luis Milla, yang walaupun gagal dalam target-target trofi, tetapi ketika itu mampu memformulasikan permainan timnas yang digali dari potensi kelebihan pemain Indonesia. Rancak, cepat, yang diracik dalam konsep ala tiki-taka Barcelona. Milla, semasa bermain, pernah memperkuat Barcelona dan Real Madrid.

Milla diterima karena membawa perubahan positif, namun di ujung kebersamaan dengan anak-anak Garuda, terdapat ketidakcocokan dengan PSSI dalam prospek kelanjutan kontraknya. Lalu hadirlah Shin Tae-yong.

STY membawa “gegar budaya” timnas. Dia mengontrol ketat pola makan, dan dia pacu kesiapan fisik pemain.

Salah satu serapan teknik yang menonjol adalah pola serangan dengan tusukan ke kotak penalti lawan, lalu pemain melakukan cutback. Bola diterima pemain lain yang mengeksekusi lewat gerakan coming from behind.

Witan Sulaiman fasih melakukan kombinasi ini bersama Egy Maulana Vikri, Irfan Jaya, Asnawi Mangkualam, atau Pratama Arhan.

Sedangkan dalam ajang Piala AFF U16, Bima Sakti mengetengahkan “tiki-taka ala Indonesia”, atau katakanlah ini “Bima-ball”. Bola mengalir dari pergerakan pemain yang mengisi ruang untuk menerima umpan dan segera mengirim ke rekan lain yang juga bergerak mengisi ruang serupa.

Kombinasi Arkhan Kaka, Nabil Asyura, Zidan Arrosyid, dan Figo Denis Saputra menyajikan tiktak indah dalam menyusun serangan.

“Indra-ball” dan “Fakhri-ball” memberi catatan tersendiri. Pada 2013, Indra Syafri mampu mengantar Evan Dimas dkk mengalahkan Korea Selatan 3-2 di Pra-Piala Asia U20. Sedangkan pada 2018, tim Fakhri Husaini dengan gemilang menghumbalangkan Iran 2-0 di babak grup Piala Asia U17.

Picu Tanggung Jawab
Potensi-potensi yang kemudian mengantar tim U16 ke tangga juara itulah yang rupanya menyulut ekspresi Markus dan Fakhri dengan eforia “produk lokal, prestasi internasional”.

Sebagai pendapat, ekspresi itu sebenarnya tak perlu dipersoalkan. Bahkan andaikata keduanya bermaksud menohok PSSI dan STY sekalipun.

“Sentilan” Markus dan Fakhri, bagaimanapun adalah realitas. Kalaupun ada yang merasa tersinggung, reaksi yang sehat justru berupa tanggung jawab untuk menyamai, atau melampaui raihan Muhammad Iqbal Gwijangge dkk.

Jadikan saja histeria “local pride” itu sebagai pelecut untuk tidak kalah dari capaian Fakhri Husaini dan Bima Sakti.

Kata Gus Dur, “Gitu saja kok repot…”

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —