blank
Timnas Indonesia U16 saat merayakan keberhasilannya tampil di final Piala AFF U16. Foto: pssi

Oleh: Amir Machmud NS

blankMALAM menegangkan, malam membanggakan, dan pasti inilah malam yang sangat membahagiakan.

Tiga ungkapan itu layak disampaikan kepada Muhammad Iqbal Gwijangge dan kawan-kawan yang secara patriotik memenangi trofi Piala AFF U16 di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Jumat (12 Agustus 2022) kemarin.

Kemenangan 1-0 atas Vietnam ibarat puisi cinta yang “melelehkan” hati bangsa ini, yang dianggit lewat drama-drama mendebarkan. Gol Kafiatur Rizky pada menit ke-45+2 membuncahkan kebahagiaan bukan hanya untuk tim, PSSI, dan sekitar 30 ribu suporter yang memadati stadion; lebih dari itu menjadi kado indah HUT Ke-77 Kemerdekaan RI, 17 Agustus nanti.

Luap tangis pelatih Bima Sakti dan ekspresi gusar pelatih Vietnam Nguyen Quoc Tuan menandai, betapa berat dan ketat pertandingan final itu. Drama-drama sepanjang laga, dan sejumlah momen keras memperkuat indikator makin memanasnya tensi rivalitas sepak bola Indonesia dan Vietnam.

Beberapa pertemuan di level senior, tim U23, dan U19 kini selalu diwarnai mind game menjelang, pada saat, dan setelah pertandingan. Dulu, tim nasional Garuda bersaing sengit dengan “Gajah Perang” Thailand sebagai kekuatan utama Asia Tenggara, juga dengan “Harimau Malaya” Malaysia dalam nuansa psikopolitis dan sosial yang menciptakan “rivalitas khusus”.

Hasil-hasil pertemuan di Piala AFF 2021, SEA Games, dan Piala AFF U19 makin memperkuat ketegangan setiap kali “Garuda Muda” dan “The Young Golden Star” berkonfrontasi.

Level Sepak Bola Gembira
Sejumlah pengamat mengingatkan, tensi persaingan tim senior dan U23 antara Indonesia dan Vietnam janganlah dibawa-bawa untuk “memprovokasi” tim U16. Sepak bola, untuk anak-anak seusia Nabil Asyura cs, harus “dilokalisasi” sebagai ungkapan kegembiraan bermain. Harus dihindarkan beban target dan tekanan-tekanan.

Ketika laga melawan Myanmar di semifinal harus diakhiri dengan adu penalti, tentulah Anda bisa membayangkan seperti apa tekanan yang dihadapi anak-anak seusia itu. Bisa saja ada yang berpendapat, mereka memperoleh pelajaran kekuatan mental dan fighting spirit, namun bagaimana psikologi mereka apabila tergelayuti beban yang bahkan bisa menciptakan trauma-trauma tertentu?

Semua sudah dilewati, dan anak-anak asuhan Bima Sakti mampu mengulang capaian tim anggitan Fahri Husaini pada 2018.

BACA JUGA: “Siapa Kita? Indonesia…!”

Bagi bangsa ini, sukses di Piala AFF U16 menjadi penawar dahaga gelar yang sulit dicapai di ajang-ajang serupa untuk level usia di atasnya. Itulah mengapa, bisa dipahami kemenangan atas Vietnam kemarin disambut layaknya “juara dunia”. Kebahagiaan suporter di Stadion Maguwoharjo menggambarkan eforia, lantaran kerinduan terhadap trofi yang akhirnya terlampiaskan.

Gelar juara itu seperti tetes kesejukan. Benar, kita tidak boleh membebani dengan target, akan tetapi realitas yang terbangun dalam persaingan dengan Vietnam telah menciptakan “tuntutan” dan ketegangan khusus. Apalagi, Nuyen Cong Phuong dkk memberi perlawanan luar biasa di babak grup yang dimenangi Indonesia 2-1.

Dan, bukankah media juga berkontribusi besar dalam membentuk atmosfer semacam itu? Ceruk budaya pop dieksplorasi sedemikian rupa dari semua sisi, yang tanpa terasa menggerakkan publik larut dalam framing mediatika.

Ekosistem Pemain
Setiap kali merayakan sukses tim kelompok umur seperti kali ini, yang mengemuka adalah harapan, bahwa lima-enam tahun lagi Iqbal Dwijangge cs akan menjadi pilar tim nasional senior.

Dinamika dalam perjalanan usia mereka nanti, pada level U19, U23, dan senior bisa bermacam-macam. Akan ada pemain yang sukses menapak perjalanan waktu, ada yang berkutat di level mediokritas, bahkan tak sedikit yang hilang dibenamkan zaman.

Faktor-faktor ekosistem bisa memberi pengaruh: klub, pendidikan, keluarga, dan pergaulan. Tidak sedikit contoh persoalan yang memberi warna, dan inilah yang pada akhirnya akan menentukan “merah-hijau” karier pemain di maa depan.

Kita ingat, pada 2014 tim U19 (Evan Dimas dkk) dengan performa prima mampu menundukkan Korea Selatan 3-2 dalam kualifikasi Pra-Piala Asia. Lalu pada 2018 timnas U16 (Bagus Kahfi cs) dalam Grup C Piala Asia secara heroik menghumbalangkan salah satu kekuatan utama Asia lainnya, Iran dengan 2-0.

Potensi itu ada. Masalahnya menjadi klasik ketika kita belum berhasil menjawab pertanyaan, “Mengapa performa pada level usia tersebut tidak berlanjut dan konsisten hingga usia senior?”

Ya, untuk sementara biarlah kebahagiaan di Piala AFF U16 2022 ini dirayakan oleh para pemain, para ofisial, keluarga, dan masyarakat.

Malam yang sungguh “puitis” di Maguwoharjo itu takkan pernah terlupakan. Anak-anak Indonesia akan mengenang di sepanjang hidup mereka, seperti anak-anak Vietnam yang pasti juga merasakan kekecewaan mendalam atas kekalahan di partai pamungkas itu…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.,id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah