Ikhsan menambahkan, keberhasilan reboisasi hutan oleh Perhutani bahkan diakui sendiri oleh Kementerian LHK, dalam rekalkulasi penutupan lahan di Indonesia tahun 2020 yang diterbitkan KLHK (https://geoportal/menlhk.co.id).

“Tutupan hutan Jawa (yang dikelola perhutani) hanya kalah dari Papua, sedangkan dibandingkan hutan di luar Jawa lainnya, tutupan hutan Jawa jauh lebih baik. Selain itu, konflik sosial dan konflik lahan juga mulai terjadi di berbagai daerah sebagai imbas dari kebijakan KHDPK,” kata Ikhsan.

Upaya Keberatan dan Banding

Sementara itu, Denny Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm yang ditunjuk sebagai Kuasa Hukum Aliansi Selamatkan Hutan Jawa, menjelaskan, sebelum mengajukan gugatan, pihaknya telah mengajukan upaya administratif berupa keberatan kepada Menteri LHK dan Banding kepada Presiden Joko Widodo.

“Tetapi keduanya mendapatkan respon negatif. Padahal, SK 287/KHDPK mengandung berbagai kecacatan serta ketidakabsahan dan seharusnya dibatalkan atau dinyatakan tidak sah,” kata Indrayana.

Kemudian pihaknya melakukan pengkajian. “Setelah kami kaji secara seksama, SK 287/KHDPK memang problematik dan multi cacat, yaitu cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat substansi. Ketiga syarat tersebut sangat mendasar dan karena itu dapat digunakan sebagai alasan pembatalan sebuah Keputusan Tata Usaha Negara,” ujar Denny Indrayana, kuasa hukum Aliansi Selamatkan Hutan Jawa di Jakarta, 10 Agustus 2022.

Denny menjelaskan, sebagai sebuah kebijakan, SK 287/KHDPK jelas-jelas menabrak putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja, yang salah satu amar putusannya menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Di samping itu, SK 287/KHDPK juga cacat prosedur karena diterbitkan tanpa sosialisasi, baik sebelum diterbitkan maupun pasca diterbitkan. Padahal, MK sendiri menegaskan, sosialisasi harus dilakukan secara baik dan proper, yang dikenal sebagai meaningful participation dan bukan formalitas semata.

“SK 287/KHDPK juga bertentangan dengan berbagai Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan. Lalu, jika dilihat dari sisi substansi juga bermasalah karena diterbitkan pada wilayah kerja BUMN Kehutanan sehingga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021. Selain itu, dari sisi prosedur juga bertentangan dengan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ujar Muhamad Raziv Barokah, Senior Lawyer Integrity Law Firm.