blank
Shin Tae-yong. Foto: pssi

blankOleh: Amir Machmud NS

// tahukah kau/ saat hidup dibayangi ketakutan/ saat terkurung kerendahdirian/ di habitat separuh kekalahan/ diliputi ketidakyakinan/ menggeliatlah/ bangkitlah melawan…//
(Sajak “Inferioritas”, 2022)

ETOS kerja, konfidensi, dan kekuatan.

Tiga matra inilah yang sedikitnya telah kita dapatkan dari kehadiran Shin Tae-yong di tim nasional kita. Dia menjadi top of mind dalam dua tahun terakhir ini, setiap kali kita bicara tentang timnas Indonesia.

Walaupun belum memberi trofi juara untuk tim nasional, Shin telah menyuntikkan keyakinan dan keberanian untuk berjajar dengan kekuatan-kekuatan mapan Asia. Dan, performa ini tentu bukan sekadar produk minimalis.

Sedikitnya, seperti diungkapkan pelatih asal Korea Selatan itu, Tim Merah-Putih yang selama ini terkesan inferior melawan tim-tim Timur Tengah, telah “mendeklarasikan diri” untuk bersaing.

Bukankah sama-sama kita saksikan, Pra-Piala Asia 2023 menjadi ajang unjuk konfidensi? Di hadapan publiknya sendiri, Kuwait bisa kita kalahkan. Pun anak-anak Garuda mampu mengimbangi sengit Yordania yang berperingkat FIFA lebih tinggi, meskipun Fachruddin Ariyanto dkk kalah 0-1.

Coach STY melihat peta kemajuan performa itu pada sisi keberanjakan dari inferioritas. Dan, sebenarnya, tren itu mulai bisa kita lihat di ajang Piala AFF di Singapura, tahun lalu. Kita bermain berani, yakin, dan percaya diri.

“Saya mencoba untuk lebih banyak memperbaiki aspek mental pemain daripada aspek lain, dan itu berubah,” tutur STY seperti dikutip cnnindonesia.com dari cnnews, awal pekan ini.

Shin menilai tidak ada kekurangan dari sisi potensi. Yang dibutuhkan adalah pembenahan mental. Dia menekankan perlunya kerja keras agar pemain bisa mencapai level terbaik mereka.

Sejumlah pemain memang memperlihatkan performa mental yang kuat. Dan, itu rata-rata adalah mereka yang bermain di klub-klub luar negeri. Bahkan Pratama Alif Arhan, pemain asal Blora yang belum sekalipun masuk dalam line up Tokyo Verdy di Liga Jepang pun, bermain dengan konfidensi tinggi di Pra-Piala Asia 2023.

Asnawi Mangkualam yang banyak menjadi starting line up Ansan Greeners FC di Liga Korea selalu tampil dngan mental tempur prima. Saddil Ramdani, andalan FC Sabah di Liga Malaysia, Egy Maulana Vikri dan Witan Sulaeman di Eropa Timur juga unjuk kepercayaan diri; yang sedikit banyak tentu karena tertempa pengalaman bermain “bukan sebagai jago kandang”.

Gemblengan fisik ala STY, juga transformasi mental dan etos kerja dalam gaya disiplin Korea, jelas bukan sekadar “suplemen” yang mendorong keberlipatan vitalitas. Yang kemudian dihadirkan adalah nilai-nilai olahraga, sikap pantang menyerah, dan pada akhirnya — harapan kita — pengembangan kultur.

Shin telah menyuntikkan sikap tersebut ketika membawa timnas Korea mengalahkan juara bertahan Jerman 2-0 di babak grup Piala Dunia 2018 di Rusia. Ada analis yang menarasikan kekalahan memalukan Die Manschaft itu, bahwa “ilmu pengetahuan pun akan sulit menjelaskan”.

“Produk” STY
Transformasi mentalitas itulah yang tergambarkan sebagai “produk” sentuhan seorang pelatih. Dari STY kita serap nilai-nilai etos kerja. Dari Luis Milla kita pernah mendapatkan dasar-dasar yang memperkuat impian tentang sepak bola ala Indonesia.

Pun kita pernah “ditampar” oleh Anatoly Polosin, pelatih asal Mokswa yang menyadarkan betapa tanpa modal fisik prima tak akan dihasilkan tim yang mampu beradaptasi dengan tuntutan situasi di lapangan.

Dari Sinyo Aliandoe, timnas kita juga pernah mendapat pembelajaran, seorang pelatih harus berani melawan intervensi. Bahkan menolak pendapat publik ketika dia yakin dengan pilihan sikapnya.

Maka kita perlu bervisi jangka panjang dalam mengikat keberadaan STY. Kita serap transformasi nilai yang dia tanamkan.

Sebagian di antara persoalan akut timnas Indonesia selama ini, diakui atau tidak, bukankah dalam hal penjiwaan dan pemaujudan tiga matra — etos kerja, kepercayaan diri, dan kekuatan — itu?

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —