SEMARANG (SUARABARU.ID) – Suranto Abdul Ghoni, terpidana kasus Bom Bali I, yang ditangkap Densus 88 sembilan belas tahun silam harus menghabiskan sisa hidupnya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Semarang.
Diketahui, Suranto Abdul Ghoni divonis seumur hidup oleh Mahkamah Agung (MA).
Sebelum pindah ke Lapas Semarang tahun 2008, dia ditahan di Lapas Krobokan Bali sejak tahun 2003. Namun, Abdul Ghoni tidak mendapatkan hak remisi atau potongan hukuman maupun pembebasan bersyarat karena vonisnya seumur hidup di penjara. Sehingga, ia lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan membuat karya seni kaligrafi timbul pada media kuningan.
Abdul Ghoni tidak lagi jihad dengan kekerasan, kini dia menerapkan ilmu agamanya kedalam bentuk karya seni.
Tak main-main, ia sangat serius belajar berkarya dan mencari bentuk-bentuk kaligrafi terbaru. Ia sangat paham ayat mana saja dalam Alqur’an yang jika dijadikan kaligrafi akan menjadi karya yang indah.
Berkat ketekunannya itu, hasil karyanya mencuri perhatian Staf Khusus Menteri Hukum dan HAM Bidang Transformasi Digital, Fajar B.S Lase saat berkunjung ke Lapas Semarang.
Fajar B.S Lase datang berkunjung meninjau pembuatan kaligrafi dan memberikan apresiasi atas pembuatan kaligrafi tersebut.
Menurut Fajar, karya dari Abdul Ghoni sangat bagus dan luar biasa, narapidana di Lapas Semarang diberi kegiatan yang positif, khususnya napi teroris.
Tiap tahunnya, Abdul Ghoni sudah mengusulkan permohonan perubahan pidana seumur hidup menjadi pidana sementara kepada Presiden RI, namun belum juga mendapatkan persetujuan.
“Saya berharap Bapak Jokowi segera mengabulkan perubahan pidana ini, karena sudah lebih dari 10 kali saya berikhtiar untuk mengajukan permohonan kepada Bapak Presiden,” kata Abdul Ghoni, Kamis (23/6/2022).
Sementara, Kalapas Semarang Tri Saptono Sambudji ikut membanggakan karya anak didiknya tersebut. Apalagi, karya tersebut merupakan salah satu wujud implementasi program deradikalisasi napi terorisme di Lapas.
“Abdul Ghoni sangat kooperatif dengan petugas serta aktif dalam kegiatan pembinaan kepribadian maupun kemandirian, termasuk keterampilan membuat kaligrafi tersebut,” jelas Tri Saptono.
“Selain itu, Abdul Ghoni juga pandai mengolah makanan, berupa pia-pia (bakwan) yang diproduksi untuk dijual di koperasi Lapas,” lanjut Kalapas.
Menurutnya, ini merupakan wujud keberhasilan Lapas dalam upaya membina narapidana, khususnya pembinaan narapidana teroris.
Ning Suparningsih