SEMARANG (SUARABARU.ID) – Mengapa minyak goreng masih mahal dan langka? Anda pasti tidak kaget dengan berita yang sedang trending ini.
Bagaimana tidak, tanpa melihat beritapun, kita langsung bisa merasakannya, dan sadar karena kita membutuhkan bahan tersebut. Tanpa bahan ini kita tidak bisa menggoreng (memasak) untuk kebutuhan sehari hari.
Diketahui, kenaikan harga minyak goreng terjadi mulai akhir 2021, sampai saat ini belum terselesaikan. Harga minyak goreng kemasan bermerek sempat naik hingga Rp 24.000 per liter. Tentu ini sangat mahal bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah pada umumnya.
Pemerintah telah menetapkan kebijakan larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan bahan baku minyak goreng sudah hampir tiga pekan yang lalu, atau tepatnya pada 28 April 2022. Bersamaan dengan kebijakan tersebut, realitas yang ada membuktikan bahwa harga minya goreng di pasar masih mahal, dan stoknya pun tergolong masih langka. Sehingga memunculkan pertanyaan, mengapa kebijakan yang dilakukan belum ada efeknya dilapangan.
Ada banyak sekali faktor yang bisa dijadikan alasan mengapa hal itu terjadi.
Berdasarkan data yang ada, dari 74 perusahaan pembuat minyak goreng, baru 10 perusahaan yang terintegrasi mempunyai perkebunan kelapa sawit sendiri. Sehingga masih banyak perusahaan yang membeli bahan baku untuk diproduksi sebagai minyak goreng.
Sedangkan harga dari bahan baku sebelum kebijakan ini diterapkan masih tergolong tinggi, sehingga dimungkinkan karena perusahaan tidak mau rugi, maka harga minyak masih dijual dengan harga mahal.
Selain faktor tersebut, CPO dan bahan baku minyak goreng sawit yang ada dipasaran harganya masih mengikuti harga dunia.
Nampaknya mimpi pemerintah untuk mewujudkan harga minyak sebesar 14 ribu per liter masih jauh dari harapan.
Untuk kelangkaan yang terjadi, ada yang mengasumsikan bahwa adanya cuti lebaran panjang juga menyebabkan berkurangnya jumlah minyak yang diproduksi, karena pabrik terlalu lama libur.
Sedangkan jumlah kebutuhan minyak goreng masyarakat tergolong masih tinggi karena berbarengan dengan bulan Ramadan dan Syawal.
Oleh: Rafi Ihyaulhaq, Prodi Manajemen
Fakultas Ekonomi Unwahas Semarang.