Oleh: Amir Machmud NS
// terbayangkankah ideologi sepak bola/ dengan aura seninya?/ tergambarkan pulakah doktrin skematika/ tiki-taka bertemu artistika samba/ diracik dalam adonan cinta/ imajinasi tentang sepak bola dan jiwa/ eksotika dalam angan penuh warna//
(Sajak “Andai Pep Mengulik Samba”, 2022)
BRAZIL? Sebagai “lembaga”, dia adalah imaji puncak setiap kali berbicara tentang seni sepak bola.
Pep Guardiola? Sebagai individu, dialah angan tentang eksotika dalam filosofi skematika.
Ada entitas yang terwakili. Brazil dengan Samba-nya, Pep dengan tiki-taka-nya. Samba dengan jogo bonito-nya, tiki-taka mengusung possession football dengan eksotikanya.
Ketika samba dan tiki-taka dipertemukan dalam “perkawinan filosofi”, semenggoda apa lagi angan yang bisa kita apungkan?
Tentu tak terbayangkan dalam sejarah sepak bola Brazil. Tak pula dalam perjalanan karier “ideologis” Pep Guardiola. Ooo, seorang pelatih Eropa mengulik sebuah tim dari negeri yang memperlakukan sepak bola sebagai “agama”? Ooo, tim nasional yang bagai “kuil pemujaan” membuka diri bagi arsitek yang pasti menerapkan standar-standar berbeda dalam disiplin organisasi taktik?
Sebagai ekspresi kultur dan daya hidup, butuhkan samba akan skema disiplin organisasi?
Mampukah skematika tiki-taka “menangani” arus transendensi “tarian” bersepak bola para aktor jogo bonito?
Angin Perubahan
Suara-suara ketertarikan sepak bola Brazil kepada kreativitas taktik Pep Guardiola tampaknya tak sekadar mengapung sebagai wacana. Ada gagasan yang rupanya meniupkan angin perubahan.
Benarkah sepak bola Brazil membuka diri bagi sebuah mimpi yang terbilang liar? Dari sisi Pep, beranikah pelatih asal Spanyol itu mempertaruhkan nama besar untuk sebuah “proyek filosofis” yang pasti menyita perhatian dunia?
Dia telah merajut sukses bersama Barcelona, Bayern Muenchen, dan Manchester City, namun belum untuk tim nasional. Beberapa kali dikaitkan dalam bursa pelatih timnas Spanyol, namun dia memilih tetap berkhidmat ke klub.
Untuk Brazil, beranikah dia? “Berani” menolak kesempatan itu, atau “berani” mencicipi petualangan penuh risiko? Bukankah pelatih Selecao adalah “sosok berani mati” yang hanya mengenal kewajiban meraih trofi, juara, dan menyajikan estetika?
Inilah diskursus tentang sebuah ekstremitas perubahan, dari sisi kedua entitas yang luar biasa.
Arsitek Keindahan
Sejarah sepak bola Brazil mencatat dua arsitek keindahan Tim Samba, Mario Zagallo di Piala Dunia 1970, serta Tele Santana di Piala Dunia 1982 dan 1986.
Skuad Zagallo memenangi trofi 1970, yang disebut-sebut sebagai tim paling indah sepanjang masa. Dia memiliki semua elemen eksotika lewat para aktor seperti Gerson, Jairzinho, Rivelino, Pele, dan Tostao. Inilah ekspresi jogo bonito paling sohor: menang dengan cara indah.
Santana tidak memenangi Piala Dunia. Di Spanyol 1982 gagal di perempatfinal karena takluk dari Italia. Aktor-aktor seperti Zico, Socrates, Cerezo, Falcao, dan Eder memainkan sepak bola yang sangat menghibur meskipun akhirnya dikalahkan Italia dengan gerendel catenaccio-nya.
Di Piala Dunia 1986 sama saja, kali ini dihentikan oleh tim yang sama-sama indah, Prancis lewat drama penalti. Santara meracik estetika lewat Zico, Socrates, Falcao, Josimar, Cerezo, Alemao, dan Careca.
Setelah dua kegagalan itu, Brazil didorong melupakan “rasa” untuk memilih “realitas”, yakni memaksimalkan keunggulan teknis para pemain dengan taktik yang pragmatis.
Untuk Piala Dunia 1990 muncul nama Sebastiano Lazaroni, yang akhirnya gagal total. Brazil dikiritik bermain tanpa “jiwa”. Di AS 1994, Carlos Alberto Parreira, suksesor Lazaroni, lalu memadukan “ideologi” dan “seni”. Dia mampu memberikan piala yang dirindukan sejak sukses 1970. Carlos juga membawa Selecao ke final Piala Dunia 1998, namun dikalahkan oleh tuan rumah Prancis di partai final.
Empat tahun kemudian di Korea-Jepang, di bawah Luiz Felipe Scolari, Brazil berjaya. “Big Phil” sempat menyulut kontroversi karena menyebut “jogo bonito telah mati”. Nyatanya, ekspresi seni Ronaldo, Ronaldinho, Cafu, Rivaldo, Roberto Carlos, dan Juninho Paulista tak bisa dibendung, tetap membawakan orkestrasi keindahan samba.
Di Piala Dunia 2006, 2010, 2014, dan 2018, Brazil beruntun mengalami kegagalan. Kini harapan terhadap ekspresi filosofi Adenor Leonardo Bacchi alias Tite — yang menukangi Selecao sejak Rusia 2018 — untuk memadukan “imajinasi” dan realitas organisasi taktik, ditunggu di Qatar.
Para pemuja sepak bola samba tak mau sekadar futebol-arte, yakni pembebasan yang menempuh cara apa saja, yang penting menang dan mendapat piala. Impiannya adalah jeitinho, kultur yang dalam tafsir bebas bisa diartikan sebagai “jalan lain” yang melekat dalam cara berpikir masyarakat Brazil.
Buku Sepotong Mimpi dari Rusia (2018) menarasikan, dalam kehidupan sehari-hari, ketika menghadapi kondisi tak terduga, sulit, atau pelik, mereka dituntut untuk kreatif, imajinatif, intuitif, dan fleksibel. Survivalitas diperjuangkan dengan antisipasi sikap naluriah yang apa adanya. Inilah latar sejarah pembebasan hidup dari dominasi proletar kulit putih.
Jeitinho terekspresikan, misalnya dari pernyataan Socrates, kapten tim 1982 dan 1986 yang adalah seorang dokter, “Kami tidak tahu apa yang akan kami lakukan 15 menit ke depan”. Ya, itulah ungkapan naluri, semacam pembebasan dari hukum, struktur, atau aturan, yang dalam sepak bola seolah-olah melawan “sikap modern”, keteraturan organisasi dan sistem yang dikembangkan sebagai tesis, antitesis, dan sintesis dalam sepak bola Eropa. (Amir Machmud NS, 2018)
Langkah Serius
Visi CBF (Federasi Sepak Bola Brazil) membidik Pep Guardiola rupanya bukan sekadar angan mengawinkan taste artistik dari dua benua. Langkah serius sudah ditempuh, karena apa pun hasil yang diraih Tite di Piala Dunia Qatar 21 November – 18 Desember mendatang, bakal berlangsung suksesi. Tite, yang sudah bersama Selecao sejak 2016, sudah menyatakan mundur selepas Coppa del Mundo 2022.
CBF merancang proposal ambisius untuk memboyong Pep, yang kini melatih Manchester City. Dapat dibayangkan, The Citizens akan mempertahankan pria Spanyol yang telah memberi “maqam” tinggi Manchester Biru dalam percaturan Liga Primer dan Eropa. Posisi finansial City sebagai salah satu klub kaya tentu juga sudah dipertimbangkan oleh CBF.
Menurut Marca, sebagaimana dikutip detik.com (7/4-2022), CBF sudah mengontak agen Pep yang juga saudaranya, Pere. Dalam proposal CBF, diajukan tawaran gaji 12 juta euro. Angka itu memang di bawah bayaran Pep di Etihad, 16,7 juta poundsterling atau sekitar 20 juta Euro, namun untuk pelatih tim nasional merupakan nominal besar. Para pelatih mendapatkan gengsi tersendiri ketika mengarsiteki timnas, apalagi yang sekelas Tim Samba.
Kontrak Pep di Manchester Biru baru berakhir hingga musim depan. Pastilah bakal berlangsung tarik menarik seru: Brazil ingin membawanya lebih cepat, atau menunggu kontrak Pep selesai.
Selama ini, siapa sosok yang menangani timnas Brazil, Argentina, Italia, Inggris, Jerman, atau Spanyol selalu memiliki tempat tersendiri di panggung publikasi media.
Makin menjadi menarik ketika negara-negara dengan citra sebagai kiblat sepak bola dunia itu memilih figur asing. Inggris sudah berani keluar dari pakem itu ketika menyerahkan kepemimpinan Tim Tiga Singa kepada pelatih asal Swedia Sven-Goran Eriksson pada 2001-2006, dan Fabio Capello dari Italia pada 2008-2012.
Baru sekadar kabar yang mengaitkan Brazil dan Pep Guardiola pun, rasanya sudah menjadi “permainan lezat”. Telah terbayang macam-macam tentang eksotika seperti apa dari perkawinan antara samba dan tiki-taka.
Tentu apabila pria 51 tahun itu mampu menjelajahi secara tepat pemaknaan futebol-arte dan kultur jeitinho sebagai nilai-nilai yang disatukan dengan konsep sepak bolanya.
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —