Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Ucapkan bares sebagaimana layaknya Anda mengatakan kates, atau pamer(an), atau juga kena gaet; sedangkan untuk kata beres mengucapkannya seperti “Ia terseret ombak,” atau “Jalan setapak itu becek karena semalam gerimis.”
Ketahuilah, ungkapan lamun bares, mesthi beres; sejauh bersih hati(mu), sejauh itu pula semuanya baik-baik adanya, adalah ungkapan sangat menentukan kualitas relasi sosial kita di tataran mana pun terutama justru di saat orang masih ribut (terus) terkait kendi Nusantara, pawang hujan GPmotor Mandalika, dan isu reshufle kabinet.
Permasalahan yang amat mengganggu relasi sosial umumnya terletak pada sombong atau rendah hati(ku/mu) dalam melihat, menghadapi, atau pun berpendapat tentang suatu hal. Jikalau hati ini dilandasi kesombongan, apa pun akan dilihat, dihadapi, ataupun direspons secara pongah, secara sombong; dan itu terungkap/kelihatan pada pilihan kata maupun sikapnya.
Kesombongan
Bicara tentang kesombongan (seseorang), terbuktilah betapa ada tiga gradasi sombong. Gradasi sombong pertama, ialah (sangat sering terjadi pada diri hampir setiap orang) rasa-diri lebih dari orang lain: entah merasa lebih terkait kepinteran, kekayaan, kebaikan hati atau apa pun lainnya.
Dalam gradasi ini mari kita lihat wajar-wajar sajalah, karena setiap orang ada keinginan untuk “lebih” dari orang lainnya. Persoalan akan muncul ketika orang memasuki kesombongan gradasi kedua, yakni karena merasa lebih (pinter dll) dari orang lain, ia lalu pongah merendahkan orang lain. “Apa itu kendi Nusantara, apa itu pawang hujan; itu semua jelek!”
Baca Juga: Diblithuk Kowe: Muda Kaya Raya, Tua Foya-foya, Mati Masuk Mana?
Nah … jika sejumlah orang memandang apa yang dilakukan orang lain dengan ungkapan “jelek, sirik, amburadul, klenik, dsb” pastilah orang itu sudah berada dalam gradasi kesombongan kedua tadi, yakni merendahkan orang lain (karena dianggap bodoh, miskin, kampungan, dan ungkapan senada lainnya).
Bisa-bisa orang yang gradasi sombongnya ada di level dua seperti ini, akan mudah sekali tergelincir ke gradasi ketiga, yakni “Aku adalah segalanya, aku yang paling tahu, aku yang paling hebat/pinter,” lalu tanpa sadar ia “menyamakan” dirinya seperti “Tuhan.” Pribadi-pribadi semacam ini pastilah jauh dari ungkapan “lamun bares, mesthi beres” di atas.
Bares
Bares mengandung dua makna amat bernas; satu, bares berarti lugu, ora duwe sedya ala yakni seseorang yang tulus hatinya, bersih hatinya karena tidak ada niat jelek sedikit pun dari apa yang dikatakan maupun dilakukannya.
Terkait pawang hujan GPmotor Mandalika, misalnya, secara kasat mata kita melihat sangat jelas betapa mBak Rara ini bares, bersih hatinya tanpa memiliki niat jelek apa pun, kecuali semata-mata ingin menyukseskan GPmotor dengan mencurahkan segala kemampuan yang dimilikinya. Setulus itu kok masih dinyinyirin? Apakah yang nyinyir itu mampu berbuat (bahkan melebihi) se-bares mbak Rara?
Baca Juga: Persepsi Kendi Nusantara: Ada yang Luput, Mrucut, dan Ketrucut
Makna kedua bares, ialah prasaja, tanpa rerenggan yaitu orang itu bersahaja, sederhana, tidak ada ini-itunya, juga tidak bertopeng apalagi bermain sulapan, tipu-tipu penuh pencitraan. Dalam konteks kendi Nusantara dan pawang hujan GPmotor Mandalika, adakah pihak-pihak yang ini-itu, tipu-tipu, main sulapan, bermain topeng penuh pencitraan? Tidak ada. Nah ………berarti siapa sing ora bares, jal?
Lamun bares, mesthilah dikau akan beres; barang siapa tulus hatinya, tidak punya agenda “jelek” terselubung, tidak pula penuh ini-itu bermain topeng sulap-sulapan; dia sebagai pribadi maupun karya-karyanya akan membuktikan kondisi yang beres.
Ungkapan beres menunjukkan bahwa segala sesuatu tertata dengan baik, bahkan kalaupun berkata-kata, ia akan berkata-kata secara tertata dengan baik, sopan, apa adanya, tidak melebih-lebihkan seperti yang sering dilakukan oleh orang sing ora bares.
Mari introspeksi diri, bareskah aku? Jangan berkata beres kalau diri(ku/mu) belum bares. Isu reshufle kabinet pun amat sangat bergantung pada sejauh mana saya (Anda) bares berpikirnya, usulannya, ataupun menggemakannya.
(Tukiman Tarunasayoga, Pengajar Pascasarjana di UNIKA Soegijapranata, Semarang dan UNS)