Ilustrasi (Foto: Istimewa)

Oleh: Dr. Muh Khamdan

Korupsi merupakan salah satu permasalahan mendasar yang menghambat pembangunan di Indonesia. Seiring meningkatnya alokasi Dana Desa, praktik korupsi di tingkat desa pun mengalami eskalasi. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Fitroh Rohcahyanto, dalam pertemuan di Pendopo Jepara pada 7 Februari 2025 menegaskan komitmennya bahwa pemberantasan korupsi dimulai dari kampungnya sendiri, Jepara. Dalam forum yang dihadiri oleh Forkopimda Kabupaten Jepara, seluruh camat, petinggi desa, dan pimpinan BUMD tersebut, Fitroh menyoroti pentingnya pembudayaan antikorupsi.

Sebagai daerah dengan sejarah panjang dalam pemerintahan desa yang otonom, Jepara menghadapi tantangan besar dalam membangun budaya antikoruptif. Salah satunya adalah praktik politik uang dalam pemilihan kepala desa (pilkades) dan jual beli jabatan dalam pengisian aparat desa.

Jika dibiarkan, korupsi di tingkat desa dapat terus merusak sistem pemerintahan hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Oleh karena itu, strategi pemberantasan korupsi di Jepara harus dimulai dengan membangun mekanisme politik yang bersih dan transparan di desa.

BACA JUGA: Dana Desa Tahun 2025 di Kabupaten Jepara Sebesar Rp 213 Miliar, Ini Peruntukannya

Dalam beberapa tahun terakhir, korupsi Dana Desa menjadi salah satu isu utama yang ditangani oleh aparat penegak hukum. Berbagai modus operandi, seperti mark-up proyek pembangunan, fiktifnya program bantuan sosial, hingga penyalahgunaan anggaran desa, menunjukkan bahwa sistem pengawasan masih sangat lemah.

BPD sebagai lembaga pengawasan seolah ada dan ketiadaannya adalah sama karena tidak punya kewenangan yang berdampak. Tak heran, muncul aksi pembubaran BPD sebagaimana terjadi di Desa Mayong Lor pada awal 2025 kemarin.

Tradisi politik uang dalam Pilkades menjadi akar budaya korupsi yang sulit diberantas. Kandidat yang menggelontorkan dana besar untuk memenangkan pemilihan akan cenderung mencari cara untuk mengembalikan modalnya ketika terpilih. Akibatnya, kepala desa yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat justru terjebak dalam praktik koruptif, menjadikan jabatan sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri.

Dampak dari budaya korupsi ini sangat luas. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa menurun, pembangunan desa menjadi tidak efektif, dan ketimpangan sosial semakin memburuk. Jika tidak ada intervensi serius, korupsi di desa akan terus menjadi “sekolah awal” bagi pejabat yang kelak terlibat dalam praktik korupsi di tingkat yang lebih tinggi.

Membangun Pilkades Tanpa Politik Uang

Salah satu langkah strategis dalam membangun budaya antikoruptif di Jepara adalah reformasi mekanisme pemilihan kepala desa. Beberapa langkah yang dapat dilakukan di antaranya adalah peningkatan transparansi dan akuntabilitas. Setiap calon kepala desa wajib melaporkan sumber dana kampanye mereka secara terbuka. Penggunaan dana kampanye harus diaudit oleh lembaga independen yang diawasi oleh masyarakat.

Penerapan sanksi tegas terhadap politik uang, baik untuk pilkades maupun jual beli jabatan. Peraturan daerah harus memberikan sanksi tegas, termasuk diskualifikasi bagi calon kepala desa yang terbukti melakukan politik uang. Masyarakat perlu diberikan ruang untuk melaporkan praktik politik uang dengan jaminan perlindungan saksi.

Beberapa desa di Indonesia telah sukses menerapkan sistem pemilihan kepala desa berbasis musyawarah mufakat sebagai alternatif untuk menghindari politik uang. Model ini bisa diadaptasi di Jepara dengan tetap menjunjung nilai-nilai demokrasi yang berkeadilan. Meski sangat bisa dilakukan, namun penolakannya tentu akan lebih besar daripada pendukungnya.

Pemberdayaan Masyarakat sebagai Garda Terdepan

Selain reformasi Pilkades, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan pemerintahan desa menjadi kunci utama dalam membangun budaya antikoruptif. Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan antikorupsi di tingkat desa. Penyuluhan dan pelatihan antikorupsi perlu dilakukan secara berkala bagi perangkat desa dan masyarakat. Kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah desa juga dapat memasukkan nilai-nilai antikorupsi sejak dini.

Partisipasi publik dalam pengawasan anggaran desa mesti menjadi mainstreaming politik desa. Dana desa harus dikelola secara transparan dengan membuka akses bagi masyarakat untuk mengawasi penggunaan anggaran. Pemanfaatan teknologi digital dapat meningkatkan transparansi, seperti melalui website desa atau aplikasi pelaporan keuangan desa yang dapat diakses oleh warga.

Pembentukan forum masyarakat antikorupsi desa menjadi terobosan pembudayaan antikorupsi berbasis komunitas. Forum ini dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk berdiskusi dan bertindak dalam mencegah serta melaporkan potensi korupsi di desa. Kolaborasi antara masyarakat, akademisi, dan lembaga antikorupsi akan memperkuat efektivitas forum ini.

BACA JUGA: Ini Cara Paguyuban BPD Se- Kecamatan Tahunan dalam Mengawasi Penggunaan Dana Desa

Perubahan budaya tidak bisa terjadi dalam semalam. Membangun budaya antikoruptif di Jepara memerlukan sinergi antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Reformasi dalam mekanisme Pilkades menjadi langkah awal yang penting untuk mencegah politik uang yang selama ini menjadi akar korupsi di desa.

Jika desa mampu menjadi benteng pertama dalam melawan korupsi, maka perbaikan sistem pemerintahan secara menyeluruh bukan lagi sekadar wacana. Jepara memiliki peluang besar untuk menjadi contoh nasional dalam membangun desa yang bersih, transparan, dan berintegritas. Kini, tinggal bagaimana seluruh elemen masyarakat berkomitmen untuk mewujudkannya.

Mencegah korupsi dari desa bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama demi masa depan Indonesia yang lebih baik. Yakinkah Pilkades dan pengisian jabatan perangkat desa bisa tanpa politik uang atau mahar jual beli jabatan?

Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Jakarta; dan LTN NU MWCNU Nalumsari Jepara