TAHUN 80-an ada sopir berhasil menghalau orang sakit jiwa dengan jurus tenaga dalam. Saat itu sopir dan kernet sedang menunggu penumpang di depan pasar, tiba-tiba ada gelandangan naik mobilnya.
Karena gelandangan atau lebih tepat disebut ODGJ itu kumuh dan bau tubuhnya menyengat, semua penumpang pada turun. Merasa dirugikan, sopir menarik paksa gelandangan itu agar turun.
Karena diperlakukan kasar, gelandangan itu marah lalu turun dan menyerang sopir. Serangan pertama mengenai bagian perut sopir yang membuatnya grogi. Dalam hati dia bertanya, kenapa tenaga dalamnya tidak bereaksi?
Padahal disaat latihan dengan teman seperguruan, semua pukulan dan tendangan meleset, bahkan dengan gerakan jurus ringan saja bisa membuat penyerang terdorong.
Dalam keraguan itu dia coba-coba menggunakan jurus tenaga dalamnya. Dia mengejangkan dada sebagai “tombol energi” disertai hembusan napas dan gerakan tangan mendorong, dan itu menyebabkan gelandangan terdorong.
Ketika serangan itu diulangi lagi, hasilnya sama, pukulan meleset hingga rasa percaya dirinya bangkit. Dia lalu menggunakan jurus untuk “mengunci” gerakan kaki lawan yang menyebabkan penyerang itu tidak mampu bergerak maju karena telapak kakinya seolah melekat pada aspal jalan raya. Akhirnya gelandangan itu kehabisan tenaga lalu terduduk di jalan raya.
Sikap Familiar
Satu tahun kemudian, karena efek pergaulan, sopir itu mulai meninggalkan amalan spiritualnya. Disaat dia ada masalah dengan sesama sopir (rebutan penumpang) saat dia harus beladiri, serangan lawan masuk telak.
Hal itu terjadi karena kekuatan yang bersifat metafisik, akan menipis sesuai kadar perawatan dan pengasahannya. Energi itu layaknya kucing atau hewan piaraan lain, jika tidak diberi “makan”, maka pergilah dia. Karena itu, hampir setiap aliran memiliki konsep dan rambu-rambu yang harus dipatuhi anggotanya.
Misalnya, berpantang Malima : Madat, Maling, Main, Minum dan Madon (Narkoba, mencuri, judi, mabuk-mabukan dan zina), mengamalkan doa-doa atau wirid, kemudian secara fisik melatih jurus, pernapasan sebagai lambaran sisi batinnya.
Keluar Pakem
Seiring dengan perkembangan waktu, sopir itu kembali dengan kebiasaan lamanya, berjudi, dsb. Dia mulai melanggar rambu-rambu keilmuan dan meninggalkan kerutinan doa atau amalan spiritualnya.
Lain waktu, saat dia harus harus beradu fisik di jalanan dengan sesama sopir, saat dia (memaksakan) memanfaatkan tenaga dalamnya, serangan lawan masuk telak. Dia pun langsung KO.
Apakah ini yang disebut ilmunyaluntur? Alurnya begini. Ketika seseorang sudah meninggalkan amalan spiritualnya, powernya pun menipis. Karena basic dari power adalah keyakinan yang dipupuk dan dijaga dari sejak awal proses.
baca juga Metafisika, Riil atau Hoaks? Tulisan Pertama dari Dua Seri
Energi atau istilah santri disebut “khadam” itu ibarat kucing piaraan. Jika sudah tidak dirawat, tidak diberi “makan”, tentu saja ia pergi. Dengan kata lain, dengan menjaga semua yang disarankan guru, berarti dia menjaga power dari keilmuannya.
Pernapasan & Wirid
Tenaga dalam berkembang pada lingkup sesuai corak masyarakatnya. Saya pernah gabung dengan perguruan tenaga dalam yang masih akrab dengan tradisi, yang saat “pengisian” awal dengan sarana jerohan ayam, bahkan pada tingkat lanjutan, harus makan ingkung utuh.
Selain dengan teknik pernapasan, ada juga tugas wirid (doa rutin) yang disertai dengan teknik napas dan konsentrasi. Menurut para ahli hikmah, kombinasi dari aktivitas fisik dan supranatural itu bagikan peluru dengan senapan pembidiknya.
Baca juga Metafisika, Riil atau Hoaks – Tulisan Kedua dari Dua Seri (Habis)
Menurut ahli hikmah, wirid itu mempunyai makna beragam, yaitu “air yang mengalir dari sumbernya” atau pada waktu lain sesuai petunjuk Guru. Tujuan dari wirid itu agar dapat perlindungan Allah dari apa yang tidak diinginkan.
Wirid atau doa rutin itu biasanya dilakukan setelah mendapat ijazah atau izin dari Guru. Dan berdasarkan pengalaman, kekuatan atau keberkahan wirid itu terletak pada istikamah atau kerutinan mengamalkannya.