Ilustrasi: serangan Rusia ke Ukraina/Sindonews

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

JC Tukiman Tarunasayoga

Kejadian ini sudah lebih dari setengah tahun lalu, tetapi masih menarik untuk contoh seperti apa kiprah orang yang jajal-jajal  itu. Ungkapan kerennya sih test the water atau ada juga yang menyebutnya testing the wave.

Rukun tetangga (RT) sebelah saya, yaitu RT 04/RW XII (saya warga RT 06), -waktu itu- , kurang dua bulan pemilihan calon ketua RT-nya, diwarnai oleh trik-trik jajal-jajal. Seorang ibu (kepingin sekali dipanggil “Bu RT”) menawarkan dan mengajak beberapa ibu tetangganya untuk senam pagi, seminggu dua kali.

Ia bersedia mengundang instruktur senam (jebul kancane dhewe, teman sendiri), setiap habis senam teh hangat disediakan; dan ternyata jumlah ibu-ibu yang ikut senam pagi terus bertambah. Senanglah dia karena jajal-jajal itu berhasil; dan pada gilirannya, suaminya memang terpilih sebagai ketua RT dalam agenda pemilihan warga.

Lain jajal-jajal yang dilakukan “Ibu RT” tadi, lain pula yang sering terjadi (sengaja dilakukan??) pada pejabat dengan segala motivasi atau tujuan yang mau dicapainya. Contoh, dalam upaya pencerdasan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks implementasi Pancasila, ada saja yang tiba-tiba melontarkan ungkapan-ungkapan gelitik atau bahkan kontroversial.

Ia melakukannya semata-mata jajal-jajal, test the water, siapa saja (atau berapa) orang atau tokoh yang menanggapinya, menyemooh atau memujinya. Semakin banyak respons, ia merasa “berhasil” jajal-jajal itu dilakukan.

Dan memang dalam kenyataan hidup sehari-hari, warga masyarakat kita sangat mudah tergerak hatinya manakala dihadapkan pada pernyataan-pernyataan “kontroversial.” Hanya dengan pernyataan: “Ah, suaramu serak dan parau, gak enak didengarnya,”  si pemilik suara mungkin mencak-mencak karena merasa selama ini suaranya nyaring, no problem so far, selama ini baik-baik saja dan tidak ada yang protes, dsb.

Orang jajal-jajal selalu digerakkan oleh kata hatinya untuk “mengukur diri,” seraya ingin tahu siapa saja (dan berapa) yang senang, mendukung, atau pro terhadap diriku, dan sertamerta mau tahu siapa saja (dan berapa) yang menolakku atau tidak senang terhadap diriku.

Jajal-jajal menjadi semakin menarik dan bervariasi manakala ranahnya berada di kancah politik dan kemasyarakatan; bahkan sangat boleh jadi dia yang sedang jajal-jajal itu merasa sangat berhasil kalau situasinya memanas, banyak pertentangan, meruncing pertengkarannya; dan lalu ia akan tampil sebagai penyelesai atas semua hiruk-pikuk politik dan kemasyarakatan. Bila berhasil, pastilah ia merasa “Aku naik pangkat.”

Baca Juga: Wadhas Gempal – Part 2

Jajal-jajal, sebuah ungkapan Jawa, mengandung arti coba-coba atau berkonotasi juga dicoba. Sepeda motor baru perlu dijajal, dicoba; maka kalau ada tetangga nggeber knalpot keras-keras, maklumilah barangkali ia sedang jajal-jajal sepeda motor barunya, suara knalpotnya seperti apa kalau gas dimainkan pol, lalu dicoba juga seberapa pegas remnya, dsb. Memangku jabatan (baru) pun juga perlu melakukan jajal-jajal, agar akhirnya tahu posisi dirinya dalam jabatan itu seperti apa/di mana.

Di tengah jajal-jajal, kita diingatkan, awas lho ada yang disebut jajal laknat, yaitu setan. Apa maksudnya? Barang siapa (suka?) jajal-jajal, harus tahu batasnya kapan berhenti; sebab kalau tidak, ia bisa masuk dalam perangkap “hobi” dan terus menerus jajal-jajal.

Di situlah “setan” bisa masuk dan menguasaimu sehingga tanpa kontrol lagi, keterusan, tak mau berhenti karena bisa jadi keenakan, lalu di mana-mana ngomong: “Lho, semuanya kan oke-oke saja, gak ada masalah, gak ada yang protes.”

Jika merujuk tulisan karibku yang wartawan senior dan ulasan-ulasannya spesial luar negri, presiden Rusia, Putin pun harus hati-hati jangan keasyikan test the water/wave melulu, sebab ada bahaya digoda jajal laknat (Ehhh, dia percaya ada setan gak, sih?)

(JC Tukiman Tarunasayoga Pengajar Community Development Planning)