Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Dari 130 lebih pembaca tulisan saya “Wadhas Gempal dan Jurang Grawah” minggu lalu, ada dua penanggap sangat serius. Penanggap pertama seseorang dari Parakan Temanggung menulis singkat: “Tiwas kula entosi terkait analisa yang akan terjadi di Wadas Bener Purworejo, kok tidak maknyus, jebule,” dan dia pasang emoji orang tertawa.
Penanggap kedua, sangat panjang lebar refleksi iman dan budayanya, sangat filosofis, menggambarkan kedalaman penghayatan religinya sebagai tokoh muda NU. Dalam kesehariannya, pria energik berumur kurang dari 50 tahun itu sering “menggoda” saya dengan panggilan khasnya “prof”, he…he…he… bukan karena saya seorang professor, melainkan karena naluri budayanya mengungkapkan rasa hormatnya kepada yang lebih senior.
Ditulisnya demikian: “Waaaaaah, menu sarapan pagiku asyiiiiikkkk, pagi ini. Terimakasih Prof. Tapi ini kan bukan persoalan wayang saja. Ini juga tidak hanya antara Wadhas Gempal (WG) dan Jurang Grawah (JG) yang senantiasa perang saling menakutkan yang kemudian hadir Pandawa. Ini juga persoalan WG atau batuan cadas (andesit) yang sedang ramai dibahas; atau JG yang sudah tidak lagi mampu menyimpan dan mengalirkan air (di musim kering) yang kemudian terinterpretasikan kehadiran Pandawa dengan wajah bendungan Loh Bener di Wadas dan Bener Purworejo.
Mungkin justru kita bertanya saja: (1) Kenapa dunia wayang yang telah mampu mengedukasi penalaran secara cerdas selama ini, ada wacana untuk diharamkan? (2) Mungkin juga (adanya) peperangan WG dan JG hari-hari ini, karena kita sudah tidak mampu lagi menyimpan air dan batuan keras (andesit), juga tidak mampu menahan lajunya air sehingga untuk menyimpan air dan menahan banjir dibutuhkan “pandowo” yang bernama bendungan; (3) dll. Terimakasih Prof, telah memberi sarapan pagi penuh makna.”
Ana Rembuk, Dirembuk
Penanggap dari Parakan inginnya segera ada analisis solutif, sedangkan kajian filosofis seorang legislator muda di atas menyiratkan betapa permasalahan terkait Wadas (yang sedang gempal??) harus benar-benar dikaji secara Bener.
Intinya, ana rembuk dirembuk, ada permasalahan dikaji secara holistik dan jangan hanya satu sisi ke satu sisi yang lain. Ada peribahasa sangat bermakna berbunyi “Sesat di jalan, balik ke pangkal,” yang sangat sarat anjurannya untuk berhenti dulu (karena ada masalah) dan jangan sekali-kali berjalan terus; bahkan kalau perlu harus balik ke pangkal.
Baca Juga: Wadhas Gempal dan Jurang Grawah
Beruntung sekali segala permasalahan di sana saat ini tidak menjadikan semua pihak sesat, hanya sedang ada masalah komunikasi saja; karena itu tidak harus balik ke pangkal, cukup berhenti sejenak untuk melakukan “ana rembuk, dirembuk,” kabeh sedulur dhewe, kita semua bersaudara.
Dalam semangat ana rembuk, dirembuk itulah nafas dan filosofi Pandawa harus diutamakan, jangan mengedepankan pendekatan “Kurawa.” Inilah kuncinya, dan menurut kajian filosofis teman muda tadi, ia mengatakan: “Tengah itu kunci.” Rupanya mau dikatakannya, pentingnya pendekatan moderatif di sini dan di sana.