SEMARANG (SUARABARU.ID) – Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Jateng & DIY, Chandra Budiwan. menilai, kurang maksimalnya kesadaran ODOL tidak melulu disebabkan oleh pengusaha truk.
Menurutnya, jika ditarik dari akar masalahnya, dia menganggap ada dua subjek (pelaku perjanjian) dalam perjanjian angkutan yang dilakukan. Ia menilai permasalahan tersebut bukan dari penyedia jasa saja, dalam hal ini perusahaan angkutan barang, dimana telah diatur dalam Permenhub No.60 Tahun 2019 Pasal 80-81 yang menurutnya masih terkesan tebang pilih dalam penerapannya.
“Dalam hukum perjanjian angkutan subjeknya itu ada dua, pengangkut dengan pemilik barang atau pengguna jasa,” kata Chandra dalam kegiatan vaksinasi, di Panti Mandala Gereja Admodirono, Kota Semarang, Jumat (25/2/2022).
Disampaikan, dalam hukum dagang terdapat perjanjian hukum privat yang dimungkinkan terjadinya transaksi. Dalam hal ini, kesepakatan antara penyedia jasa (perusahaan angkutan) dengan pemilik barang untuk melakukan perjanjian pengangkutan barang.
“Dalam hukum perjanjian ini tentu sebagai pemilik barang atau pengguna jasa akan mencari harga yang paling minim. Disitu terdapat persaingan usaha tidak sehat. Ketika mencari harga terendah, pengangkut yang menerima harga itu, harus menutup biaya dan laba mereka untuk menaikkan daya angkutnya, sehingga menjadi overload,” ungkapnya.
Ia mengakui jika pemerintah memang sudah sedikit menghambat persaingan yang tidak sehat, dengan Permenhub No. 60 tahun 2019. Dimana, jika melanggar maka penyedia jasa (perusahaan angkutan barang) akan dikenai sanksi administrasi. Namun, ia masih menyayangkan jika penerapan atau sanksinya hanya dilakukan pada pengusaha angkutan barang saja.
“Dalam Permenhub Nomor 60 tahun 2019 di Pasal 80 dan 81, disebutkan bahwa pengangkut akan dikenakan sanksi administrasi negara, tetapi kita melihat bahwa pelaku ODOL ini ada dua subjek. Penyedia jasa atau perusahaan angkutan dan pemilik barang. Dalam hal ini pemilik barang atau penyewa jasa tidak dikenakan sanksi administrasi. Saya melihat pemerintah masih tebang pilih. Jadi PP tersebut tidak mencerminkan keadilan, apabila berkeadilan, harusnya menjerat dua pelaku ODOL tersebut, itu pendapat saya,” terangnya.
Menurut Chandra, zero ODOL bisa terwujud jika kedua subyek (pelaku dalam perjanjian) diikat dengan regulasi. “Tetapi zero ODOL yang di inginkan seperti apa, itu sudah dalam ranah pemerintah. Karena penerapan jumlah muatan angkutan penentunya ada di pemerintah sebagai regulator,” terangnya.
Terkait dengan regulasi muatan, Chandra berasumsi jika pemerintah belum berani menentukannya. Karena akan berdampak pada kenaikan harga barang dipasaran.
“Jika pemerintah berani menerapkan jumlah muatan (tonase), solusi saya jika dia mau menerapkan itu, barang-barang atau komoditi termasuk sembako bisa dikecualikan, itu pendapat saya,” ujarnya.
Disinggung soal penetapan harga, menurut Chandra itu tidak bisa dilakukan. Karena, regulasi tersebut sudah ada di KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), selain itu penetapan tarif angkutan barang juga diatur dalam PP No 74 tahun 2014 Pasal 106 yang menyatakan jika penarifan angkutan barang berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan barang.
“Penetapan tidak boleh, tapi jika pedoman itu boleh sifatnya adalah volunteer, bukan suatu mandatory atau kewajiban,” tandasnya.
Ning