Oleh: Khanif Hidayatullah
JEPARA (SUARABARU.ID)- Menyambut bulan suci Ramadan, masyarakat Jepara bagian selatan khususnya di Kecamatan Kalinyamatan menggelar Festival Baratan. Kegiatan berlangsung pada tanggal 15 Nisfu Sya’ban. Masyarakat Jawa menyebut bulan tersebut sebagai sasi ruwah. Festival Baratan diselenggarakan dengan berbagai penampilan seni kebudayaan inovatif dan kreatif yang dimeriahkan oleh masyarakat.
Kata Baratan berasal dari bahasa arab yang dimaknai sebagai terbebas dari dosa, keselamatan, dan barakah (keberkahan). Kata tersebut berasimilasi dengan cara berbahasa logat Jawa menjadi ‘Baratan’. Festival Baratan ditandai dengan dilah (lampu) Uplik, dilah Impes (lampion), dan atau obor yang dinyalakan warga di depan rumah masing-masing. Malam Nisfu Sya’ban dalam ajaran Islam merupakan malam yang memiliki keistimewaan. Kegiatan tersebut berlangsung di Desa Kriyan, Robayan, Margoyoso, Purwogondo, dan desa-desa lain disekitarnya.
Tradisi Baratan berpusat di Masjid Jami’ Al-Makmur Kriyan. Setelah sholat maghrib berjamaah, masyarakat membaca Quran Surat Yasin tiga kali dan memanjatkan doa bersama-sama. Selesai berdoa masyarakat bancaan makan bersama menikmati makanan tradisional Puli yang menjadi ciri khas sasi ruwah tersebut. Puli merupakan makanan yang terbuat dari beras ketan yang ditumbuk halus, untuk melengkapi rasa, masyarakat biasa menambahkan dengan parutan kelapa. Puli berasal dari bahasa arab afwu lii yang bermakna memohon ampunan kepada Tuhan.
Kegiatan selanjutnya dilakukan perjalanan iring-iringan pada malam hari. Kemeriahan iring-iringan dalam Festival Baratan terlihat dari berbagai seni budaya yang ditampilkan. Pemeran Ratu Kalinyamat menjadi tokoh utama dalam teatrikal. Ratu Kalinyamat tersebut diiringi oleh Barisan Sapu Jagad, pengawal, prajurit, dayang-dayang, santri-santri, abdi keraton, dan sebagainya. Warga masyarakat setempat turut serta dalam pawai tersebut. Dan banyak warga dari berbagai daerah yang memeriahkan dengan datang menyaksikan Festival Baratan. Pementasan seni peran tentang Ratu Kalinyamat menjadi tema utama dalam rangkaian acara.
Asal mula dari Tradisi Baratan mempunyai beberapa versi. Pertama, Baratan adalah tradisi menyambut bulan suci Ramadan. Kegiatan dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur menjemput bulan yang penuh berkah. Pada masa lampau ditandai dengan menyalakan obor, dilah Impes, dilah Uplik di depan rumah. Bagi anak-anak dan pemuda memeriahkan dengan berkeliling desa membawa obor dan impes.
Kedua, Baratan berasal dari kisah konflik perpolitkan pada masa akhir Kerajaan Demak. Sultan Hadlirin terbunuh dalam perebutan kekuasaan oleh Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat membawanya pulang dengan diiringi prajurit dan dayang-dayang. Ketika dalam perjalanan, rombongan mencium bau harum semerbak dari jasad Sultan Hadlirin. Daerah tersebut kini bernama Purwogondo. Istilah gondo (bahasa Jawa) berasal dari peristiwa bau harum semerbak tersebut.
Ketiga, Baratan berasal dari kisah Ratu Kalinyamat yang membawa pulang suaminya (Sultan Hadlirin) yang wafat pada peristiwa perebutan kekuasaan. Rombongan Ratu Kalinyamat melakukan perjalanan pada malam hari. Masyarakat yang berada di sekitar perjalanan pulang tersebut menyaksikan dan menyambut rombongan Ratu Kalinyamat dengan menggunakan alat penerangan tradisional obor.
Pada tahun 2004, Festival Baratan tercatat dalam Museum Rekor Muri Indonesia sebagai pawai lampu lampion dengan peserta terbanyak. Seiring perkembangan waktu, tradisi Baratan berkembang dengan semakin meriah. Kalinyamatan sebagai wilayah yang memiliki historis tentang Kesultanan Islam Kalinyamat, semakin dilestarikan dalam memori kolektif masyarakat dalam Festival Baratan. Tokoh Ratu Kalinyamat direpresentasikan melalui berbagai kegitan seni dan budaya yaitu iring-iringan, sendratari, dan pentas seni Ratu Kalinyamat.
Festival Baratan merupakan tradisi kebudayaan Islam Nusantara yang mempunyai nilai agama dan sejarah yang tinggi. Doa-doa yang dilantunkan oleh masyarakat pada hari dimana amal ditutup dan juga Baratan sebagai ungkapan rasa syukur akan hadirnya bulan suci ramadan merupakan karakteristik dari masyarakat yang religius. Kegiatan seni budaya yang menampilkan unsur-unsur historis Ratu Kalinyamat, yang digelar dalam Fetival Baratan sebagai cerminan, kekuatan identitas masyarakat Jepara terhadap sejarah yang dimilikinya.
(Khanif Hidyatullah, Anggota Yayasan Pelestari Budaya dan Sejarah Jepara, tinggal di Jepara)