blank
Prof Gunarto (REktor Unissula). Foto: tangkapan layar

Oleh: Amir Machmud NS

SAYA merasakan nuansa “khusus” ketika menghadiri pelantikan Prof Dr Gunarto sebagai Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang masa khidmat 2022-2027. Serasa mengalir suasana batin yang berbeda dari pengalaman-pengalaman mengikuti seremoni serupa, di kampus mana pun.

Ada perasaan “terlibat” dalam ungkapan bangga, senang, dan bertabur harapan. “Proksimitas” itu sejatinya tidak paralel dengan profesi saya sebagai wartawan dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah; namun salahkah saya ketika merasakannya sebagai realitas yang benar-benar muncul?

Senin pagi, 31 Januari tadi saya datang ke Unissula bukan untuk meliput, akan tetapi sebagai respek memenuhi undangan pelantikan rektor atas nama pertemanan dan relasi yang sudah terjalin sejak sekitar 20 tahun terakhir.

Dua bulan sebelumnya, ketika mendapat info bahwa Gunarto terpilih menjadi Rektor, jujur saya terharu dan lega. Adik angkatan di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (saya angkatan 1980, dia angkatan 1982) itu sudah berjuang cukup lama dalam kontestasi pencalonan rektor, dan pada periode ini akhirnya Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung memberi kepercayaan menggantikan Bedjo Santoso PhD yang selesai masa bakti.

Dari dua kali kebelumberhasilannya ketika mengikuti pencalonan sebelumnya, saya berusaha membesarkan hati Gunarto, “Sampeyan masih muda, masih banyak kesempatan di depan…”

Dan, akhirnya, Gunarto terpilih justru ketika dia berkontestasi dengan nothing to loose, berbeda dari atmosfer periode-periode sebelumnya.

Dinamika Pilrek
Dinamika Pilrek di perguruan tinggi swasta yang berpayung yayasan, di mana pun memang memiliki dinamikanya sendiri. Tarik-ulur “politik internal”, realitas faksionasi, dan konsiderans track record calon adalah bagian dari pernak-pernik yang selalu ada. Dan, pada periode ini, Prof Gunarto bisa melewati barrier itu.

Tentulah niatan mencalonkan itu diri bukan tanpa idealisme visi. Gunarto yang selama ini saya kenal adalah sosok yang punya mimpi berupa ghirrah menjadikan Unissula sebagai perguruan tinggi dengan “faktor pembeda”.

Dia banyak belajar dari progresivitas pemikiran Prof Dr Laode M Kamaluddin, Rektor Unissula periode 2009-2013 yang meletakkan dasar-dasar untuk memacu branding kampus dengan digitalisasi sistem perkuliahan.

Di antara penghayatannya tentang visi Unissula, “Bismillah Membangun Generasi Khaira Ummah”, pria kelahiran Tegal 5 Maret 1982 ini mengembarakan pemikiran akademiknya lewat karya-karya tulis dengan puncak produktivitas pada 2011-2012-an.

Selain pidato pengukuhan guru besar pada Februari 2012 yang bertajuk aktual “Kriminalisasi Kepala Daerah melalui Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, dia juga rajin menulis artikel ilmiah populer di media massa.

Sedangkan dokumentasi pemikiran dalam bentuk buku tertuang dalam judul Metologi Penelitian Hukum Normatif dan Sosiologis (2008), Relasi Politik Demokrasi dan Penegakan Hukum (2010), Rekonstruksi Konsep Kebebasan Berserikat melalui Serikat Pekerja Berbasis Nilai Keadilan (2011), dan Rekonstruksi Paradigma Penegakan Hukum (2012).

Bench Marking
Dalam dinamika manajemen pembelajaran untuk mahasiswa, pada 2016 Gunarto mencoba memberi “vitamin” tambahan dengan mem-follow up-i program Diploma Suplemen seperti yang dia gagas bersama rekannya, Dr Jawade Hafidz yang ketika itu menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum.

Kini, di era Merdeka Belajar Kampus Merdeka dia mengangankan Bench Marking Kompetensi Mahasiswa dengan visi pilot project Prodi Ilmu Komunikasi. Visi ini akan diimplementasikan lewat kerja sama dengan PWI Jawa Tengah.

Gagasannya yang orisinal bersama Dr Jawade adalah membangun “kemampuan plus” mahasiswa Fakultas Hukum dalam mendokumentasikan gagasan lewat artikel. Mahasiswa yang akan wisuda, dijadwalkan mengikuti Sekolah Jurnalistik bersama Sekolah Jurnalistik PWI Jawa Tengah.

Fokus kompetensi yang dijadikan target adalah dasar-dasar keterampilan menulis artikel dan penyajian legal opinion. Kerja sama itu sudah berlangsung dalam 12 angkatan sejak 2016.

Sejumlah kampus yang tertarik pada gagasan tersebut melakukan langkah serupa, namun sejauh ini baru Fakultas Hukum Unissula yang betul-betul konsisten.

Realitas Tantangan
Saya belum sempat berdiskusi dengan Gunarto perihal gagasan-gagasan anyarnya untuk membawa kesegaran akademik di Kampus Jalan Raya Kaligawe Km 4 ini. Yang jelas, dari kacamata “orang luar” seperti saya, saat ini Unissula dihadapkan pada sejumlah realitas tantangan baik internal maupun eksternal yang tentu membutuhkan jawaban dari visi dan strategi seorang rektor.

Pertama, salah satu pertimbangan bagi calon mahasiswa untuk mendaftar ke perguruan tinggi adalah reputasi kampus. Reputasi ini terkait dengan representasi kenyamanan infrastruktur perkuliahan, fasilitas, reputasi sumberdaya manusia dosen, dan fakta persebaran alumni.

Kedua, kekhasan lingkungan budaya akademik. Apakah brand Unissula sebagai kampus Islami sudah paralel dengan proses dan output? Tentu membutuhkan kajian mendalam, apakah personifikasi budaya akademik cukup hanya dengan sifat seremonik, atau ada ide-ide yang secara riil menjawab kebutuhan transformasi sikap dan kultur?

Ketiga, bagaimana kesiapan perpustakaan — dengan lompatan digital — yang secara infrastruktur fisik sudah memadai memayungi kebutuhannya sebagai “jantung universitas”?

Keempat, tantangan adaptasi sistem dalam budaya kehidupan digital. Bukan hanya mengenai teknis belajar-mengajar, dinamika silabi, dan praktiknya; melainkan lebih ke visi digital yang terkait perilaku, sikap, dan budaya. Realitasnya, secara universal, di era duopoly media (media arus utama dan media sosial) sekarang ini, ruang digital kita sangatlah keruh dan nyaris hampa etika. Output alumni yang memahami, menghayati, dan mengekspresikan ini tentu menjadi dambaan yng memberi kontribusi bagi kehidupan bangsa.

Kelima, keterlibatan Unissula dalam road map literasi digital bakal menjadi alternatif gagasan yang menarik. Prodi Ilmu Komunikasi bisa dikolaborasikan dengan Fakultas Hukum yang juga menawarkan Mata Kuliah Hukum Media Massa, bekerja sama dengan organisasi profesi kewartawanan dan media dalam memberi warna literasi yang (idealnya) tidak kenal henti. Setidak-tidaknya bisa menjadi bagian dari elemen kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat.

Keenam, Unissula harus berani menjadi kampus yang terbuka terhadap gagasan perubahan, ide-ide untuk mendiskursus fenomena-fenomena zaman. Dengan menjadi pusat gravitasi para pemikir dan ahli untuk datang dalam perhelatan-perhelatan progresif akademik, juga aktif merespons isu-isu nasional dan regional, kampus ini dengan sendirinya bakal membangun dan menguatkan branding-nya.

Ketujuh, kesadaran kolaboratif dengan para mitra kerja, lembaga-lembaga dan para tokoh perseorangan akan memperkuat positioning Unissula sebagai perguruan tinggi yang mampu merespons secara progresif tantangan dan kebutuhan umat, serta menjadi salah satu pilar andal kebangsaan.

Ikhtiar Transformasi
Saya percaya, pengalaman panjang Prof Gunarto terlibat dalam organisasi kemahasiswaan semasa kuliah, organisasi kemasyarakatan, serta aktivitas-aktivitas lainnya, akan banyak membantu dalam kebutuhan adaptasi.

Sedangkan keluwesan pergaulan lintas lembaga ke samping, ke bawah, dan ke atas bakal membimbingnya dalam ikhtiar-ikhtiar transformasi.

Apabila dia didukung oleh kiri – kanan potensi Unissula dan mendapat support secara total dari para senior Yayasan Badan Wakaf, percayalah: pergerakan ke arah perubahan akan dirasakan oleh civitas akademika kampus tercinta ini, dan berujung kemaslahatan bagi masyarakat luas.

Tahniah, Prof Gun. Anda adalah noktah. Anda pula asa bagi Unissula.

Tahniah, noktah, dan inilah amanah.

Sebagai salah satu di antara ribuan murid Guru Besar Sosiologi Hukum Undip, Satjipto Rahardjo, Anda pastilah mencatat dalam hati sesanti sang legenda yang kerap disampaikan semasa hidupnya, “Amal ilmiah, ilmu amaliah”…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, penulis buku-buku jurnalistik, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —