blank
Ilustrasi penyandang autis. Foto: Ist

blankOleh: Nila Ubaidah, M.Pd.

AUTIS berasal dari bahasa Yunani auto yang berarti sendiri. Artinya, penyandang autisme seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Autisma merupakan gangguan perkembangan pervasif.

Gangguan ini terjadi sangat jelas pada masa bayi, anak-anak, dan masa remaja. Dengan ciri utama yaitu gangguan kualitatif pada perkembangan komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal.

Secara verbal yaitu misalnya gangguan pada saat berbicara atau menulis sedangkan secara nonverbal yaitu misalnya anak kurang bisa mengekspresikan perasaan dan terkadang menunjukkan ekspresi yang kurang tepat.

Umumnya anak penyandang autisma suka mengabaikan terhadap suara, penglihatan, dan kejadian-kejadian yang dialami oleh diri mereka sendiri.

Biasanya anak penyandang autisma tidak merespon atau acuh terhadap apa yang disampaikan kepada mereka, pandangan mata mereka kosong atau tidak fokus, belum/tidak memiliki perasaan atau rasa kasih sayang terhadap teman-temannya atau orang di sekitarnya.

Istilah autis pada tahun 1938-1943, Leo Kanner di Universitas John Hopkins (Amerika Serikat) memperhatikan ciri autisma terhadap 11 anak penyandang autisma terdapat banyak persamaan gejala.

Gejala yang sangat menonjol yaitu gejala kesulitan berkomunikasi dengan orang lain, mengisolasi diri, anak sangat sibuk dengan diri sendiri dan dunianya sendiri.

Gangguan ini mungkin masih asing bagi beberapa masyarakat yang belum mengerti dan mengenali seperti apa ciri-ciri anak autis. Kemudian Adanya metode diagnosa yang semakin berkembang dipastikan jumlah anak yang terkena autisma akan semakin meningkat diberbagai belahan dunia karena sampai saat ini penyebab autisma masih misterius dan masih menjadi bahan perdebatan oleh para ahli dan dokter di dunia.

Menurut diagnosa dalam bidang neurobiologis dan genetika menemukan adanya kerusakan pada sistem limbik, yaitu pada bagian otak yang disebut hipokampus dan amigdala. Kelainan neuro anatomis ini terletak di tiga lokasi pada otak.

Penyebab autis disebabkan oleh multifaktorial diantaranya penyebabnya adalah genetika, infeksi virus dan jamur, psikiatri atau jiwa, mengonsumsi makanan yang salah (tidak sehat) lingkungan yang terkontaminasi zat beracun yang bisa menyebabkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah autis.

Gangguan tersebut biasanya terjadi pada fase pembentukan organ-organ yaitu pada usia kehamilan antara 0-4 bulan. Penyandang autisma terkadang masih dianggap menjadi aib keluarga yang selalu ditutupi agar terhindar dari rasa malu, bahan cemohan di sekitar lingkungan keluarga dan masyarakat sekelilingnya.

Autis sendiri dapat terjadi atau dialami pada siapa pun entah dia dari orang kaya atau miskin, di desa atau di kota, berpendidikan atau tidak berpendidikan, serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Sehingga seharusnya kita sebagai pendidik, orang tua, masyarakat, tetangga atau terapis memberikan dukungan, memperlakukan secara baik agar mereka nyaman dan membantu perkembangan mereka.

Pada dasarnya anak autis memiliki kesulitan dalam memahami apa yang mereka lihat, dengar, dan mereka rasakan. Sehingga dalam proses pembelajaran anak autis mengalami kesulitan dan hambatan dalam menerima dan memahami materi dari guru.

Karena anak autis memiliki kekurangan dalam segi berkomunikasi dan bersosialisasi dengan sekitarnya maka seorang guru dituntun untuk bisa memberikan pemahaman yang mudah terhadap mereka agar mereka mudah memahami dalam proses pembelajaran berlangsung.

Dalam melakukan interaksi dengan seseorang dan sekitar hal yang harus dipahami pertama yaitu  dari bahasa  mereka, karena  bahasa  merupakan komunikasi  manusia  dalam  mengadakan hubungan dengan sesama.

Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003, penyelenggaraan pendidikan wajib memegang beberapa prinsip, yakni pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif ,menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai kultural, dan kemajemukan bangsa dengan satu kesatuan yang sistematik dan sistem yang terbuka dan multikmakna.

Pendidikan yang layak berhak didapatkan oleh setiap anak tanpa memandang latar belakang, agama, suku bangsa, ekonomi dan status sosialnya. Kemudian pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa: Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi.

Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus termasuk autis, berupa penyelenggaraan pendidikan khusus dengan pendekatan yang tepat agar pembelajaran untuk anak autis berjalan dengan efektif.

Pendekatan Floor Time

The Developmental Individual Difference Relationship-Based (DIR) atau lebih dikenal dengan pendekatan floor time adalah salah satu pendekatan yang efektif untuk anak  autis dalam berkomunikasi. Pendekatan ini  dimulai  dengan  suasana yang menyenangkan dari segi apapun dalam  menciptakan  interaksi dan komunikasi yang berkesinambungan, sehingga  anak  autis dapat berkomunikasi dengan baik.

Landasan Pendekatan DIR memiliki enam tahap perkembangan yang telah anak capai terutama relasi interaktif yang paling mendukung perkembangan. Floor time merupakan salah satu komponen yang ada pada pendekatan DIR. Floor time berfokus dalam menciptakan interaksi pembelajaran yang memiliki makna secara emosional sehingga anak dapat belajar menguasai kemampuan penting dalam perkembangannya.

Pendekatan floor time dapat membantu anak berkomunikasi dan berbahasa dengan baik, sehingga mereka bisa berinteraksi dengan lingkungannya.

Penguasaan kemampuan bahasa baik, bahasa ekspresif dan bahasa reseptif penting sekali bagi anak autis agar dapat berkomunikasi kemudian berinteraksi dan menyampaikan ide atau pikirannya sehingga anak dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Dengan memiliki komunikasi dan interaksi yang baik, diharapkan anak dapat mengikuti pembelajaran di kelas dengan baik pula. Namun salah satu kekurangan anak autis yaitu dalam hal berbahasa dan berkomunikasi ini menjadikan anak autis mengalami kesulitan dalam memahami arti kata-kata serta penggunaan bahasa yang sesuai konteksnya.

Floor time bekerja secara sistematis dengan peserta didik untuk membantunya melalui tahapan perkembangan, agar dapat membentuk emosi yang sehat, sosial dan intelektual. Floor time seperti interaksi biasa pada umumnya dan bermain secara spontan dan menyenangkan. Pendidik, orang tua atau terapis hanya mengikuti keinginan peserta didik dan bermain apapun yang menjadi minat bakat mereka, tetapi juga harus mendorong anak untuk mau berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

Floor time dalam dunia pendidikan anak biasa disebut dengan Cara Belajar Siswa Aktif (active learning) yaitu mengutamakan interaksi aktif dan mengembangkan inisiatif, daya pikir sendiri dan kemandirian dalam mempelajari sesuatu.

Secara harfiah floor time berarti get down on the floor and play with your child (turun ke lantai dan bermain dengan anak Anda) dengan artian bukan eksplisit sebatas bermain di lantai dengan anak. Melainkan mengikuti petunjuk anak atau biasa disebut Follows Child Lead. Sehingga kita sebagai pendidik, orangtua atau terapis dapat memahami tindakan dan pikirannya agar kita bisa menuntunnya ke tahap perkembangan anak yang semestinya.

Floor Time Math Islami

Pendekatan floor time memberikan perhatian khusus dan mendalam, serta mendukung efektivitas pembelajaran bagi guru dan anak autis. Kemudian floor time juga membantu komunikasi dua arah antara guru dan anak autis agar efektif dalam melaksanakan pembelajaran. Floor time juga memberikan dorongan untuk mengungkapkan dan menggunakan perasaan dan ide-ide mereka.

Hal ini mampu menjadikan anak autis lebih percaya diri serta sangat membantu anak autis untuk berpikir secara logis. Penerapan floor time math Islami, misalnya bemain bersama anak autis dengan menggunakan matras angka dengan diawali pembacaan kalimat toyibah basmallah, diiringi solawat nabi, dan diakhiri dengan membaca hamdalah.

Floor Time Math Islami bisa berupa pengenalan matras angka sehingga anak autis bisa menggunakan kemampuan merasa, meraba, warna, dan bisa membedakan angka; menggunakan mainan angka yang berwarna-warni juga mendorong anak autis untuk bisa fokus dan mengeksplorasi kemampuan verbal dan motoriknya serta kemampuan berkomunikasi dengan melafalkan bacaan kalimat toyibah dan salawat nabi.

Hal yang terpenting bagi orang tua adalah selalu berusaha untuk meluangkan waktu menemani dalam setiap tahapan perkembangan anak autis. Semoga bermanfaat.

Nila Ubaidah, M.Pd. dosen pada Prodi Pendidikan Matematika Unissula