blank
Santi Andriyani, M.Pd., Kepala Pusat Studi Gender dan Anak Unisnu Jepara.

JEPARA (SUARABARU.ID) – Tingginya angka perceraian yang terjadi disejumlah daerah termasuk di Jepara, sebagaimana diungkapkan kepala Kepala Pusat Studi Gender dan Anak Unisnu Jepara, Santi Andriyani M.Pd. kepada SUARABARU.ID, sebenarnya seperti fenomena gunung es (iceberg).

Puncak gunung es adalah angka yang dirilis oleh Ketua Pengadilan Agama Jepara, 2.072 kasus perceraian yang telah diputus hingga tanggal 23 Desember 2021. Sementara angka dispensasi kawin sejumlah 509 perkara.  Namun, di punggung dan dasar gunung, angka tersebut jauh lebih besar. Persoalan yang melatarbelakangi perceraian dan perkawinan usia muda lebih kompleks.

Santi Andriyani menanggapi hal ini saat diminta tanggapannya seputar tingginya kasus perceraian gugat yang diajukan oleh pihak istri di Jepara dengan angka  mencapai  76,06% atau 1.576 kasus. Sementara cerai talak sebesar 496 kasus atau 23,93%.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Ketua Pengadilan Agama Jepara melalui SUARABARU.ID Jumat (24/12-2021) bahwa penyebab terbesar perceraian di Jepara adalah faktor ekonomi. “Pertengkaran terus menerus hingga meninggalkan salah satu pihak paling dominan disebabkan persoalan ekonomi atau penghasilan,” ujar Santi Andriyani.

Ia lantas mengungkapkan, banyaknya penggangguran dan terbatasnya lapangan pekerjaan bagi laki-laki bisa saja menjadi pemicu penyebab perceraian. “Tingginya angka kawin usia muda di Jepara juga diduga memberikan kontribusi signifikan pada angka perceraian,” tambah Santi Andriyani.

Disamping itu, rendahnya faktor pendidikan dan implementasi nilai keagamaan yang kurang kuat bisa menimbulkan percekcokan yang  berujung perceraian disebabkan rapuhnya daya tahan keluarga.

Santi Andriyani juga mengungkapkan, dari sisi mubadalah (keseimbangan/kesetaraan), perceraian ini tidak hanya merugikan satu pihak, akan tetapi semuanya dirugikan. Apalagi jika keluarga yang bercerai telah memiliki anak.

Konstruksi hukum patriarkis.

Menurut Santi Andriyani, konstruksi hukum yang mengatur tentang perkawinan memang sangat patriarkis. Undang –Undang  tentang  Perkawinan pasal 34 ayat 1 menyatakan suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga. “Ini berarti suami berkewajiban  memberikan nafkah bagi keluarganya, istri dan anaknya,” ujarnya.

Mindset suami memberi nafkah dan istri mengurus di rumah ini bisa menjadi penyebab tingginya  angka perceraian. “Sebab jika fungsi ini tidak bisa terpenuhi, maka terjadi percekcokan dan berujung perceraian.  Padahal sebenarnya peran itu bukan menjadi peran yang mati. Justru keduanya bisa bersinergi bekerja sama. Siapa pun yang bekerja dikarenakan memang kondisi mengharuskan dia bekerja, maka seharusnya saling support,” ungkap Santi Andriyani.

Kondisi ini menurut Santi Andriyani harus menjadi perhatian para pemangku kepentingan, termasuk KUA yang memberikan  bimbingan perkawinan. “Bimbingan perkawinan harus bersifat mudalah dan saling mendukung antara suami dan istri,” paparnya.

Konsepnya menurut Santi Andriyani laki-laki dan perempuan sama perannya di publik dan domestik. Ini disebut kesetaraan. “Edukasi ini harus intensif. Kontennya adalah kesetaraan untuk mendukung terbangunnya keluarga sakinah, mawadah warahmah,” tegasnya.

Menurut Santi Andriyani, perjanjian perkawinan walau saat ini masih dianggap tabu namun penting untuk mulai dipikirkan. “Inilah solusinya. Bukan hanya soal harta gono gini atau harta bersama, tapi juga persoalan yang disepakati bersama sejak awal pernikahan. Tujuannya untuk  meminimalisir konflik di tengah keluarga yang berujung perceraian,” pungkas  Kepala Pusat Studi Gender dan Anak Unisnu Jepara, Santi Andriyani M.Pd.

Alvaros – Hadepe