Oleh: Amir Machmud NS
// datanglah, dan nyalakan api/ tebarkan cahaya/ agar tak lagi buram/ jadikan kembali Teater Impian/ sepanas bara/ neraka bagi siapa pun yang datang/
(Sajak “Ralf Rangnick”, 2021)
THEATER of Dream, Setan Merah, dan Fergie Time.
Tiga “institusi” itu pernah melekat sebagai identitas Manchester United. Percampuran karakter yang menguatkan realitas betapa klub bergelimang tradisi kebesaran itu memang “berbeda” dan “punya apa-apa”.
Karakter-karakter itu seperti saling bergantung, ber-chemistry, menjadi kekuatan yang menyimbolisasikan filosofi, identitas, atau yang dalam ekspresi persaingan membahasakan kalimat “membuat rontok nyali lawan”.
Teater Impian, Stadion Old Trafford adalah “tempat bersenang-senang” para pemain MU. Artinya, inilah “neraka” bagi klub mana pun yang bertandang.
Setan Merah? Penggemar sepak bola sejagat tahu, itu gambaran aura yang lebih dari kelaziman kolektivitas tim sepak bola.
Lalu, “Fergie Time”. Inilah etos kerja tentang setiap menit yang bermakna. Tak ada kata kalah sebelum laga betul-betul tuntas. Kebiasaan Alex Ferguson, sang patron menengok arloji ketika anak-anak MU tertinggal skor atau belum mampu mencetak gol, sering disusul oleh hasil yang ditunggu.
Nyatanya, Old Trafford bukan arena yang menakutkan lagi. Lawan-lawan tidak diliputi atmosfer “kalah sebelum berlaga”. Stadion itu mencatat sejumlah kekalahan yang menghukum MU. Kata “stadion keramat”, “altar suci”, “lapangan angker”, atau “tempat mengunci poin” perlahan-lahan menguap.
Predikat Red Devils, ke mana pula? Rasanya, pengaruh jejuluk “sangar” itu tak berbeda dari label The Gunners, The Villans, The Foxes, Lily Whites, The Blues, Citizens, atau The Hammers.
Etos Fergie Time juga tak lagi mengalir dalam transformasi tuah para manajer pasca-Alex Ferguson. Tidak David Moyes, tidak Louis van Gaal, tidak Jose Mourinho, bukan pula Ole Gunnar Solskjaer. Pun Ryan Giggs atau Michael Carrick yang sempat merasakan menjadi pelatih sementara.
Dan, kini Manchester Merah menyambut Ralf Rangnick!
Spirit kerja seperti apa, karakter dan identitas bagaimana yang terproyeksikan untuk membawa perubahan bagi MU?
Mampukah taktikus asal Jerman itu membawa aura perubahan, menerbitkan angin kebangkitan?
Menemukan Identitas
Semua tahu, itulah yang saat ini dibutuhkan MU: menemukan kembali identitasnya sebagai Setan Merah, menegaskan kembali Old Trafford sebagai Teater Impian. Juga menghadirkan “Rangnick Moment” yang menyala sebagai kekuatan cahaya di Liga Primer.
Para pesaing, Liverpool makin kental dengan gegenpressing Juergen Klopp. Manchester City lekat dengan ideologi passsing rancak ala Pep Guardiola. Chelsea menikmati sentuhan kolektivitas Thomas Tuchel. Leicester City stabil dengan kepemimpinan Brendan Rodgers. Tottenham Hotspur yang tidak konsisten sepeninggal Mauricio Pocchettino kini dibesut oleh Antonio Conte. Arsenal juga sedang pasang naik di bawah kendali Mikael Arteta.
Ketika “empu” yang sekaliber Van Gaal dan Mourinho pun tidak berhasil “merogoh sukma” identitas Sir Alex, siapa pula yang punya “nyali” memulihkan tradisi Setan Merah?
Realitas yang sejak 2013 tak lagi dirasakan: di bawah Alex Ferguson, MU adalah pasukan dengan kepribadian kolektif sekaligus keunggulan personalitas.
Sementara itu, sebutan “profesor” untuk Ralf Rangnick menggambarkan dia punya kelebihan filosofis dalam karakter permainan yang diskemakan. Padahal semula panggilan profesor itu berkonotasi ejekan karena dia dianggap sebagai pelatih yang suka berteori.
Rangnick memang belum berjejak sebagai pelatih sukses, tetapi dia diakui sebagai “guru tidak langsung” para pelatih top: dari Klopp, Tuchel, hingga Julian Nagelsmann. Namun dia mampu mengangkat performa RB Leipzig
Ketiga pelatih itu mengadopsi “ilmu” Rangnick, mengusung karakter gegenpressing, permainan menekan yang menuntut semua pemain bergerak mobil menyongsong bola dari pemain lawan terdekat. Garis pertahanan tinggi seperti gaya Klopp sekarang adalah salah satu produk Rangnick, yang menemukan pemikiran itu karena terinspirasi oleh taktik pelatih legendaris Uni Soviet, Valery Lobanovsky.
Penerapan skema taktik dengan penguatan filosofi tentu membutuhkan waktu, padahal dia dikontrak sebagai pelatih interim selama enam bulan, hingga usai kompetisi. Hanya menilai karyanya dari beberapa pekan pertandingan tentulah tidak fair. Dia harus mengubah kebiasaan, meracik adonan secara cermat, dan melakukan pendekatan yang tepat untuk para pemain dengan kualifikasi bintang.
Apakah dengan demikian akan ada pemain yang menjadi korban?
Cristiano Ronaldo sempat disebut-sebut tidak akan cocok dengan taktik Rangnick. Paul Pogba juga diperkirakan terlempar. Harry Maguire kemungkinan akan kehilangan ban kapten. Aneka spekulasi boleh saja muncul, namun “Bapak Gegenpressing” itu tentu sudah punya rencananya sendiri.
Nyatanya, Ronaldo dan Bruno Fernandes menyatakan siap menyambut sang pelatih. Sejumlah pemain juga bersiap memainkan perubahan apa pun yang dibutuhkan untuk menemukan kembali karakter MU. Rangnick bahkan menyatakan punya rencana taktis untuk Ronaldo, yang dikaguminya sebagai pemain usia 36 yang mampu merawat kebugaran.
Penggantian pelatih di sebuah klub adalah keniscayaan dalam dinamika industri kompetisi. Yang membedakan dari atmosfer rutinitas itu adalah klub mana, berkarakter seperti apa, dan bertradisi sekuat apa yang melakukannya.
“Masyarakat MU” menyambut pergantian itu sebagai momen untuk menemukan kembali identitas klub. Agar MU kembali “merah”, agar MU kembali “men-setan merah”, agar Terater Impian kembali berlapis keramat…
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —