blank
DP3A Kota Semarang menggelar acara sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk LPMK dan ketua RW laki-laki se-Kota Semarang di Hotel Whiz pada 22-23 November 2021. (doc/ist)

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang menggelar sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk LPMK dan ketua RW laki-laki se-Kota Semarang.

Diselenggarakan di Hotel Whiz pada 22-23 November 2021, sebanyak 50 LPMK laki-laki dan 50 ketua RW laki-laki hadir dalam acara sosialisasi tersebut, mereka semua adalah perwakilan dari 16 Kecamatan se-Kota Semarang.

Turut hadir dalam pembukaan acara, Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Kota Semarang, Krisseptiana Hendrar Prihadi, yang memberikan apresiasi atas penyelenggaraan acara tersebut.

“Saya berharap ini akan menjadi gerakan yang masif untuk melibatkan laki-laki dalam perlindungan perempuan dan anak di Kota Semarang, sebenarnya cukup simple yang bisa kita lakukan yaitu dengan cara tidak menyelesaikan masalah dengan kekerasan baik sesama laki-laki atau ke perempuan dan anak sehingga kasus kekerasan akan dapat terminimalisir,” katanya.

Sementara itu, Kepala DP3A Kota Semarang, Mukhamad Khadik, menyampaikan bahwa DP3A Kota Semarang akan terus menggandeng para laki-laki untuk terlibat dan berperan di dalam keluarga dan menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi persoalan yang serius yang harus kita perhatikan. Baik kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran. Kekerasan itu terjadi mulai dari lingkungan keluarga, sekolah atau di tempat umum. Berbagai upaya pencegahan sudah dilakukan tetapi kasus kekerasan ini masih tergolong cukup tinggi,” katanya.

Tercatat dari data tahun 2020 yang di release DP3A Kota Semarang ada sebanyak 145 kasus kekerasan terhadap perempuan dari total 164 kasus yang ada, dan 107 kasus diantaranya adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jumlah ini relatif tinggi dan sangat jauh dibandingkan dengan korban laki-laki, artinya perempuan memiliki kerentanan lebih untuk menjadi korban.

Pandemi Covid 19 menjadikan semua orang dipaksa untuk beraktivitas dari rumah, anak-anak belajar di rumah begitu juga orang tua bekerja dari rumah, hal ini menjadikan intensitas bertemu yang cukup tinggi.

Sayangnya intensitas pertemuan ini juga dibebani oleh beban baru yaitu mendampingi anak belajar, mengatasi kebosanan anak-anak, menjaga imunitas anak untuk pencegahan Covid 19 dan tidak jarang merespon anak-anak ketika berperilaku negative. Hal ini berakibat anak-anak dalam kondisi rentan mendapatkan kekerasan.

Kasus KDRT ini seperti fenomena gunung Es yang mungkin masih banyak kasus-kasus lain yang belum terlaporkan. KDRT adalah wilayah domestik sehingga masih banyak korban yang enggan melapor karena beberapa hal mulai dari takut karena ancaman, takut kehilangan nafkah, dianggap sebagai aib Keluarga dan hal lain adalah karena korban tidak berdaya.

Salah satu narasumber dalam sosialisasi tersebut dari Yayasan Anantaka, Tsaniatus Sholihah, mengatakan, hingga kini sudah banyak program pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diluncurkan, mulai dari sosialisasi sampai pada kampanye publik yang diperingati setiap tahun yaitu 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

“Sayangnya selama ini program ini lebih banyak ditujukan untuk perempuan. Edukasi terhadap laki-laki masih sangat minim, padahal ketika kita berbicara kebanyakan korban adalah perempuan maka pelakunya adalah laki-laki.

Dirinya menjelaskan, dengan adanya kegiatan sosialisasi tersebut diharapkan bisa memberikan ruang kepada laki-laki untuk mendapatkan edukasi tentang perlindungan perempuan dan anak sehingga mereka diharapkan bisa berpartisipasi maksimal.

Hery Priyono