blank
Kang Ali Tuba Asy'arie, Pimpinan Majelis Panembahan Saung Cinta dan Gubug Mahabah sedang memanjatkan doa saat melakukan ritual penjamasan (kiri) dan "gaman" yang akan dijamas (kanan) Foto : Istw

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Ritual unik yang dilakukan di rentang waktu antara tanggal 1 hingga 10 Sura (tahun Jawa) atau Muharam (tahun Hijriah). Banyak kalangan pelaku dan pemerhati budaya, khususnya Jawa, melakukan ritual penjamasan atau penyucian senjata (pusaka) yang dianggap bertuah.

Ini semua tak lepas dari sejarah bangsa indonesia sendiri. Ritual itu sendiri saat ini menjadi sebuah peringatan budaya yang perlu dilestarikan.

Salah satu kegiatan penjamasan yang cukup unik dilakukan oleh Kang Ali Tuba Asy’arie, Pimpinan Majelis Panembahan Saung Cinta dan Gubug Mahabah di Kelurahan Gondoriyo Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang.

Pria yang juga menjadi Kepala Satuan Koordinator Cabang BANSER Kota Semarang ini menjelaskan, ritual tersebut adalah bagian dari merawat budaya, bukan ritual mistis yang menjurus pada kemusyrikan.

“Ini adalah bagian dari budaya, bukan masalah mistisnya. Karena mencintai budaya adalah bagian dari mencintai Indonesia. Sementara generasi muda sekarang ini banyak yang mengabaikan hal-hal semacam ini, lha kami berniat ingin melestarikan budaya-budaya itu,” jelasnya seusai melakukan ritual penjamasan.

Makanya, katanya, setiap sebelum tanggal 10 Sura dia melakukan penjamasan (perendaman) gaman (senjata bertuah) sebelum mutih (dicuci) pada tanggal 10 Sura nanti,” imbuhnya.

Ali Tuba kemudian menjelaskan salah satu gaman yang dia miliki, yang bernama Tosan Aji. Dia mengatakan, gaman tersebut dia dapat dari gurunya yang mendapatkannya dari Damaskus, Suriah.

Dan ini adalah Tosan Aji, senjata dari Damaskus yang saya didapat dari gurunya itu disimpan di rumah. Dan konon katanya, hanya beberapa orang yang memiliki gaman ini, makanya saya rawat seperti ini. “Dan ini dulu tahun 2013, pernah ada seorang kolektor gaman yang menawar seharga 10 juta rupiah. Cuman karena saya mencintai senjata ini, akhirnya saya tidak melepaskannya,” ujarnya.

Ali Tuba juga menjelaskan salah satu gaman koleksinya yang dititipkan oleh seorang kolektor untuk dirawat. Gaman tersebut pernah ditawar 30 juta rupiah pada 1997 lalu.

“Gaman Keris Petir Langit, titipan dari seorang kolektor. Tahun 1997 pernah ditawar 30 juta rupiah. Sama dengan tadi tidak saya lepas. Kalau sekarang harganya naik sekitar 60 juta. Namun si kolektor yang punya gaman ini juga tidak mau melepas,” ungkapnya.

Calok Madura

Selain itu, Ali Tuba juga mendapat titipan gaman khas madura yang bernama Calok.  “Lalu ini gaman khas madura, namanya Calok, berbeda dengan carok yang bentuknya celurit, nah ini calok mirip-mirip tombak,” tandasnya.

Ali Tuba mengatakan, dirinya mendapatkan gaman-gaman tersebut melalui beberapa cara.  “Dari beberapa barang di sini ada yang tiba-tiba muncul sendiri dengan tanpa sengaja, kita menemukan saat sedang melakukan persemedian. Ada yang memang titipan dari kolektor. Ada juga yang pemberian dari seseorang yang merasa tidak mampu merawat lalu kami bersedia merawat,” paparnya.

Ali Tuba dan rekannya memiliki 60 buah gaman dan 150 gaman titipan kolektor untuk dilakukan penjamasan.

“Gaman yang kami rawat ada 60-ah buah, biasanya ada juga orang yang meminta dicucikan sehingga total ada 150-an lebih,” jelasnya.

Kiai Nur Shodiq, tokoh agama dan tokoh kebudayaan desa setempat juga menunjukkan gaman miliknya saat penjamasan.  “Saya sendiri memiliki gaman berupa tombak Wahyu Temanten Pinayungan satu pasang (dua buah) yang diberikan oleh seseorang bernama Mbah Mawardi yang merupakan keturunan ke-6 seorang pejuang Kesultanan Mataram,” ujar Kyai Nur Shodiq.

Kiai Nur Shodiq mengatakan dirinya sebenarnya tidak memiliki ikatan darah dengan Mbah Mawardi ataupun dengan pejuang kesultanan Mataram tersebut. Namun dirinya mendapat kepeecayaan karena kenal baik.

“Saya sendiri sebetulnya tidak memiliki ikatan darah dengan Mbah Mawardi atau pejuang kesultanan Mataram tersebut. Namun karena saya kenal baik maka saya dipercaya untuk merawat gaman ini,” jelasnya.

Sama seperti Ali Tuba, Kiai Nur Shodiq juga seorang pecinta budaya dan barang-barang kuno yang memiliki nilai sejarah.

Dia menegaskan, bahwa gaman-gaman tersebut adalah karya seni yang perlu dirawat untuk mengingatkan generasi berikutnya dengan perjuangan leluhur di masa lalu. “Merawat gaman adalah upaya merawat ingatan,” katanya.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, dia bukannya mempromosikan mistisisme, tapi lebih karena kecintaan saya dengan budaya. “Karena gaman-gaman ini adalah sebuah karya seni yang sangat agung. Para pembuat gaman ini melakukan proses panjang seperti tirakat dan semedi hingga menjadi senjata bagi para pejuang pada zaman dahulu,” ucapnya.

Pada tahun-tahun sebelumnya saat belum ada pandemi covid-19, para praktisi budaya di Kelurahan Gondoriyo mengadakan prosesi acara untuk melakukan upacara penjamasan, sekali lagi sebagai perayaan budaya.  “Tapi sekarang kami pending dulu untuk menghindari kerumunan,” tandasnya.

Namun yang penting bagi mereka, setiap tahun melakukan perawatan untuk menghormati karya besar ini agar tidak karatan.

Absa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini