Oleh: Amir Machmud NS
// hari baru bagi hati yang mengharu-biru/ tepiskan murung/ dan bergembiralah Leo/ kau ada untuk sepak bola/ sepak bola ada untuk manusia/ berikan kebahagiaan untuk mereka//
(Sajak “Murung La Pulga”, 2021)
SENYUM yang mengembang ketika membentangkan kaos bernomor punggung 30 di Stadion Parc des Prince itu, betapa kontras dengan isak tangis di depan mike di Camp Nou, pekan lalu.
Apakah Lionel Messi betul-betul telah menemukan kegembirannya memulai hari dalam durasi kontrak dua tahun bersama Paris St Germain?
Satu setengah juta followers yang langsung membanjiri akun resmi klub, menggambarkan netizens dari seluruh penjuru jagat menumpahkan kelegaan: La Pulga telah menemukan “rumah”, walaupun hati dan jiwanya masih ada di Barcelona.
Hari-hari berikut bakal menjadi lembar buku puisi baru tentang rasa dan hati. Kita akan lebih melihat seperti apa penyatuan jiwa antara Leo Messi dengan Les Parisiens. Nuansa-nuansa seperti apa yang menuangkan tontonan sepak bola yang tiada duanya.
Bukan Liga Kelas Dua
Pertama, kita amati ini. Liga Prancis, yang berlabel Ligue 1, banyak disebut tidak sekompetitif Liga Primer Inggris, La Liga Spanyol, Liga Seri A Italia, atau Bundesliga Jerman; walaupun mungkin seurat lebih tinggi dari Eredivisie Belanda.
Para pemain bintang yang menempuh “MPP” atau “masa persiapan pensiun”, biasanya menoleh ke Major Soccer League di Amerika Serikat, ke Liga Qatar, Liga China, atau J-League. Liga-liga ini, yang bagi para eks bintang dinikmati sebagai “relaksasi”, sekaligus juga berjaminan gaji tinggi.
Zico, Gary Lineker, dan para mantan bintang pernah menikmati madu J-League. Kini Andres Iniesta juga merumput di sana. Di Liga China tercatat Pato, Paulinho, Oscar, dan Tevez, sedangkan Beckham, Raul, Rooney, Gerard, Lampard, Henry, Drogba, dan Ibrahimovic punya sejarah karier MSL.
Sementara itu, setelah menyelesaikan kontrak dengan Barcelona, Xavi Hernandez bermain dan kemudian mengarsiteki Al Sadd di Liga Qatar. Xavi mengembangkan tiki-taka ala Barca di sana. Di liga ini pernah berkiprah Cazorla, Benatia, setelah sebelumnya Batistuta, Mercado, Desailly, dan Sneijder.
Lalu, apakah keputusan Lionel Messi berlabuh ke PSG lebih beraksen menikmati kompetisi? Jika Ligue 1 dinilai tidak sekompetitif La Liga, apakah berarti pemilik enam Ballon d’Or itu rela turun derajat?
Tentu tidak bisa seserampangan itu menilai. Kepergian Messi dari Barcelona bukan keputusan yang dikehendaki. Bagaimanapun, PSG telah berkembang menjadi magnet sepak bola Prancis, dan berambisi merajai Eropa.
Di bawah kepemilikan Syekh Nasser al-Khelaifi dari Qatar Investment Corps, selama tujuh tahun terakhir PSG menginvestasikan dana besar untuk membeli para bintang dunia.
Puncaknya, mereka sukses mendatangkan Neymar Junior dengan transfer Rp 3,3 triliun dari Barcelona. Ibrahimovic, Buffon, dan Cavani adalah nama-nama besar yang pernah menjadi pilar Les Parisiens.
Kini Angel Di Maria, Marco Icardi, Marco Veratti, Ander Herrera, Keylor Navaz, Gianluigi Donnarumma, Sergio Ramos, dan Kylian Mbappe merupakan jaminan klub ini tidak kalah dalam aset sumberdaya pemain dari raksasa-raksasa Eropa lainnya. Dalam skuad arahan Mauricio Pochettino ini juga terdapat Marquinhos, Rafinha, serta bintang lokal Abdou Diallo dan Presnel Kimpembe.
Sukses memiliki Messi boleh dibilang sebagai puncak “kegilaan” PSG, yang berarti memadukan Sang Messias dengan Neymar dan Mbappe. Segera terbayang kehebatan Trio MSN di Barcelona pada 2013-2017 ketika Messi, Luis Suarez, dan Neymar bahu membahu menggelontorkan gol untuk kejayaan Barca.
Dulu sempat timbul kekhawatiran, apakah kehadiran Neymar tidak menciptakan sindrom “matahari kembar” dengan Messi?
Nyatanya, mereka bisa terkolaborasikan sebagai adonan mematikan. Kemaharajaan Messi tidak terusik, dan Neymar menjadi pangeran yang saling menopang.
Formasi Tiga Bintang
Mengotak-atik formasi tiga megabintang itu menjadi sisi menarik kedatangan Messi. PSG mendapat berkah dari kemelut saat-saat akhir relasi La Pulga dengan Barcelona lantaran aturan financial fair play La Liga.
Kita tentu berimajinasi Trio MNM (Messi, Neymar, Mbappe) menjadi kekuatan yang mengerikan bagi lawan mana pun.
Tak kalah menarik menunggu Messi bahu membahu dalam skema permainan bersama Sergio Ramos. Eks kapten Real Madrid itu, notabene adalah “penjaga” yang sering bermain galak terhadap Messi.
Pastilah kini La Liga bakal kehilangan sebagian pesonanya, sedangkan Ligue 1 mendapatkan sinar terang. Jika kehadiran Messi mampu meningkatkan gairah dalam industri kompetisi di Liga Prancis, maka bakal terdongkrak pula competitiveness Ligue 1.
Yang kita harapkan dari pemilik PSG adalah konsistensi merawat klub, bukan sekadar untuk tunggangan kepentingan. Prancis punya sejarah kelam Olympique Marseille era Bernard Tapie pada dekade 1990-an.
Dia terinspirasi Dream Team AC Milan-nya Silvio Berlusconi dengan mengumpulkan bintang-bintang dunia seperti Chris Waddle, Jean Pierre Papin, Dragan Stojkovic, Robert Prosinecki, Zvonimir Boban, dan Basile Boli; namun Marseille malah terlibat dalam pengaturan pertandingan lantaran Tapie punya ambisi instan dalam kontestasi politik.
Les Parisiens yang pada musim 2019-2020 menjadi runner up Liga Champions, kita harapkan menampilkan performa ambisi yang berbeda, betul-betul bergerak dalam trek industri sepak bola.
Roman Abramovich patut dijadikan contoh keterlibatan serius seorang taipan dalam klub sepak bola. Chelsea kini telah menjelma menjadi salah satu kekuatan Liga Inggris dan Eropa.
Tampaknya, “tugas” Leo Messi, antara lain adalah juga menjaga PSG di trek yang sama.
Namun, yang pertama kali kita amati, seperti apa La Pulga mengekspresikan kegembirannya di habitat yang baru.
Saya mencatat statemen Eric Cantona, legenda Manchester United, ”Messi bersepak bola seperti anak-anak yang mengungkapkan kegembiraan. Jagalah kegembiraannya, dan Messi akan menunjukkan kualitas permainannya”…
— Amir Machmud NS, wartawan senior kolumnis sepak bola dan penulis buku —