Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Malam nanti dikenal khalayak dengan sebutan Malem Siji Sura; dan di berbagai tempat masih ada ritual menyambutnya. Tempat tertentu nanti malam akan dikunjungi sejumlah orang, dan konon semakin malam semakin banyak jumlah pengunjungnya.
Mengapa mereka datang atau melakukannya? Ada seribu satu alasan, tetapi satu hal sangat pasti ialah orang-orang itu kepingin ngalap berkah, mencari dan memohon agar memperoleh berkat Tuhan. Pertanyaannya, mengapa (harus) nanti malam, bukankah berkat Tuhan kapan pun dapat terjadi/ada?
Salah satu jawaban atas pertanyaan itu, ialah masyarakat di mana pun pasti memiliki ikatan-ikatan cinta kultural, yang secara turun-temurun dan bersifat periodik serta berkembang semakin kontekstual.
Artinya, pada suatu era tertentu aspek kultural malem siji sura sangat terkesan wouwwww karena (memang) didukung oleh kisah-kisah heroik penuh magisnya. Contohnya, masyarakat sekitar Semarang, selama kurun waktu tahun 80 an sampai 90 an, sangat akrab bila mendengar kata-kata “tugu Suharto.”
Pada era itu begitu mendengar tugu Suharto, orang pasti langsung mengaitkannya dengan kungkum di sungai, yakni berendam di sungai tidak jauh dari daerah Sampangan di kota Semarang, utamanya pada malem siji sura.
Untuk maksud apa? Lagi-lagi, untuk ngalap berkah, karena konon ceritanya bla….bla…….bla …. yang terkait dengan kisah heroik magis yang pernah dilakukan oleh Pak Harto sebelum menduduki jabatan menjadi pemimpin.
Baca Juga: Adu Sungut, Mencari dan ”Mencuri” Perhatian di Masa Pandemi
Atas dasar cerita dan kisah-kisah lisan yang berkembang selama puluhan tahun, maka terciptalah semacam mitos bahkan mirip-mirip kepercayaan umum, betapa siapa pun harus laku kungkum di situ apabila ingin sukses dalam pekerjaan atau kepemimpinan. Dan paling afdol, lakukanlah pada setiap malem siji sura. Itulah proses ikatan cinta ngalap berkah yang terkait langsung dengan kebiasaan begadang (melek-melek).
Ngalap artinya njupuk (mengambil) atau ngepek (memiliki); seperti contohnya jasa para pemulung yang dengan suka hati mengambil barang-barang bekas dari bahan plastik yang telah dibuang oleh pemiliknya. Itu namanya ngalap, mengambil, dan ternyata jasanya untuk kepentingan lingkungan hidup sangat besar.
Ngalap berkah bermakna nunut supaya katut oleh berkah, yakni orang melakukan suatu tindakan (keputusan??) secara ikut-ikutan terhadap apa yang pernah dilakukan orang lain, dan tindakan ikut-ikutan itu dilakukan agar ia memperoleh berkah (seperti dulu orang itu memerolehnya).
Di sinilah aspek turun-temurunnya itu, dan semakin subur karena disertai cerita-cerita mitos setengah percaya terkait sukses (berkah) yang pernah dialaminya.
Mengapa dikaitkan dengan malem siji sura? Lagi-lagi ini terkait dengan aspek kultural. Dalam siklus dari tahun ke tahun kehidupan manusia (masyarakat) pasti ada bulan atau hari-hari tertentu yang dianggap lebih istimewa/penting dari hari-hari lainnya.
Ada banyak contoh tentang hal ini, seperti hari kelahiran (weton), hari peringatan meninggalnya seorang anggota keluarga (geblak); atau bulan Sura yang dipandang lebih istimewa dibandingkan dengan bulan lainnya.
Pada hari atau bulan istimewa itu, dilakukanlah tindakan khusus pula, entah doa khusus, entah pula bahkan ada pesta peringatan, dan sebagainya. Saat itulah ikatan cinta ngalap berkah berproses, dan jangan lupa ini sudah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun secara turun temurun.
Apa berkatnya? Jawaban atas pertanyaan ini ada pada pengalaman pribadi masing-masing orang. Oleh karena itu, mari kita bertanya kepada siapa pun secara pribadi, berkat Tuhan apa saja yang Anda peroleh ketika melakukan ritual tertentu di hari atau bulan khusus/istimewa itu? Seribu satu kisah berkah pasti akan terdengar, entah lantang entah sayup. Inilah ikatan cinta ngalap berkah.