Oleh : Tri Hutomo
Tahun Ajaran Baru 2021 sudah dimulai, namun masa Pandemi Covid-19 masih membayangi. Konsep sekolah di rumah (home schooling atau PJJ merupakan metode pembelajaran yang mungkin cukup efektif sebagai pengganti pembelajaran dengan tatap muka di masa pandemi Covid-19.
Namun tetap saja banyak kendala yang harus dihadapi, misalnya listrik padam atau jaringan internet yang buruk, orang tua yang tidak dapat mendampingi siswa, ataupun siswa yang tidak konsisten dengan jadwal belajar. Juga akses internet yang belum terjangkau di daerah-daerah pegunungan, guru yang belum menguasai aplikasi daring, atau tingginya biaya untuk membayar akses internet yang memberatkan siswa kurang mampu.
Berbagai kendala yang dialami oleh penyelenggara pendidikan maupun peserta didik tersebut dapat mengakibatkan tidak dapat terpenuhinya hak-hak asasi manusia, khususnya hak atas pendidikan.
Sedangkan kebutuhan akan pendidikan tidak boleh terhambat karena kondisi yang tidak kondusif, sehingga meskipun pengajar dan siswa tidak bertatap muka, pembelajaran harus tetap berlanjut. Sejalan dengan era perkembangan teknologi, banyak sekolah-sekolah dasar dan menengah di Indonesia di masa pandemi Covid-19 ini yang menerapkan pembelajaran jarak jauh berbasis dalam jaringan (online) maupun luar jaringan (offline) pada praktiknya.
Peraturan yang mengatur tentang pendidikan jarak jauh (PJJ) diantaranya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Kemudian saat pandemi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri),Kementerian Agama (Kemenag) telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Pembelajaran Pada Tahun Ajaran Baru dan Tahun Akademik Baru di Masa Pandemi Covid-19 memungkinkan pembelajaran tatap muka di kabupaten/kota yang merupakan zona hijau dengan memperhatikan protocol kesehatan.
Kenyataannya saat ini adalah ketidaksiapan regulasi yang dimiliki oleh Indonesia dalam menghadapi keadaan darurat seperti adanya pandemi covid-19 ini. Kesempatan untuk membuat regulasi atau aturan-aturan hukum yang mengatur secara langsung terkait kegiatan pembelajaran di masa darurat sangat sempit sehingga menuntut pemerintah untuk membuat kebijakan di luar aturan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Aturan hukum yang dibuat oleh pemegang kebijakan di Indonesia selalu kalah cepat dibandingkan dengan masalah empiris yang berkembang di tengah-tengah masyarakat termasuk di dalamnya adalah kalah cepatnya pemerintah dalam menyiapkan regulasi di segala sektor antara lain pendidikan guna mengantisipasi apabila terjadi kejadian di luar kemampuan manusia.
Sehingga saat ini hampir seluruh perundangan yang dibuat dan berlaku di Indonesia belum ada yang mengatur tentang keadaan darurat baik yang disebabkan oleh perbuatan manusia maupun karena hukum alam, seperti pandemi covid-19.Akibatnya adalah aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah dimasa pandemi covid-19 termasuk masalah aturan tentang PJJ terkesan hanya sebuah aturan yang bersifat ad hoc.
Hal ini terbukti dengan hanya diterbitkannya Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang salah satu isinya membahas mengenai pembelajaran daring atau PJJ. Kegagapan pemerintah dalam membuat regulasi dalam keadaan darurat ini sejatinya tidak perlu terjadi apalabila semua pihak memahami sumber hukum atau aturan hukum tertinggi di negara Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Di dalam UUD 1945 tersebut telah disediakan pasal “sekoci” yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam membuat aturan-aturan hukum apabila negara dan bangsa Indonesia dalam keadaan bahaya yaitu di dalam Pasal 12 yang berbunyi “Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”.
Memang pemahaman terhadap pasal ini tidak boleh terpaku pada kata “keadaan bahaya” dengan mengartikan bahwa bahaya yang dimaksud disini adalah ancaman perang atau serangan dari negara lain atau serangan dari musuh yang nyata seperti teroris dan lain lain.
Namun harus dipahamai secara komprehensif bahwa keadaan bahaya disini termasuk di dalamnya adalah ancaman terhadap masyarakat secara menyeluruh termasuk di dalamnya adalah ancaman dari penyakit berbahaya yang justru dapat melumpuhkan seluruh sendi kehidupan.
Keadaan yang dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat secara luas dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara lain faktor alam, non alam, dan faktor manusia itu sendiri yang dapat menimbulkan korban jiwa manusia, rusaknya lingkungan hidup, musnahnya kehartabendaan, bahkan berdampak pada psikologis manusia itu sendiri.
Minimal ada tiga jenis bencana yang dapat dijadikan acuan dalam menetapkan keadaan darurat bencana. Pertama, bencana alam seperti tsunami, gunung meletus, banjir, gempa bumi, kemarau panjang atau kekeringan, angin topan atau badai, dan tanah longsor. Kedua, bencana nonalam seperti gagal teknologi, epidemi, dan wabah penyakit. Ketiga, bencana sosial yang diakibatkan oleh perbuatan manusia itu sendiri seperti konflik sosial antar kelompok dan komunitas masyarakat, dan terorisme.
Dari hal-hal tersebut setidaknya saat ini di negara kita telah memiliki dua landasan hukum yang secara tegas dan spesifik mengatur mengenai penanganan wabah penyakit yaitu UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Namun demikian, kenyataannya kedua undang-undang tersebut belum terlalu lengkap karena belum ada peraturan dan penjabaran yang lebih teknis, seperti halnya UU No. 6 tahun 2018.
Selain itu, kedua undang-undang ini juga tidak menjadikan Pasal 12 UUD 1945 sebagai payung hukum, sehingga pemberlakuannya pun masih mengacu pada keadaan normal, dan itu mengakibatkan pemerintah ragu-ragu dalam menerapkannya karena sebenarnya penerapannya tidak cocok dengan situasi saat ini yang mengalami keadaan darurat secara menyeluruh.
Menurut Fuller di dalam Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa sebagai ukuran dalam melihat suatu negara memiliki sistem hukum yang baik adalah dengan meletakkan pada delapan asas yang dinamakannya principle of legality, yaitu: pertama, di dalam suatu sistem hukum harus tekandung aturan-aturan. Tidak boleh hanya sekedar mengandung putusan-putusan yang bersifat ad hoc atau sementara.
Kedua, diumumkan atau diundangkannya aturan yang telah dibuat. Ketiga, tidak diperkenankan adanya aturan yang berlaku surut, namun jika hal ini terjadi maka aturan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku, dengan memperbolehkan sebuah aturan berlaku surut berarti telah merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku pada masa mendatang.
Keempat, rumusan yang ada di dalam peraturan tersebut harus bisa dimengerti dan dipahami oleh semua pihak. Kelima, suatu sistem yang baik adalah tidak adanya saling bertentangan antara satu aturan dengan aturan lainnya. Keenam, aturan-aturan yang ada tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan atau melampaui kemampuan manusia dalam melaksanakan aturan tersebut.
Ketujuh, peraturan yang ada tidak boleh sering dirubah sehingga mengakibatkan seseorang akan kehilangan tujuan. Dan kedelapan, harus sinkron antara peraturan yang dibuat dengan implementasinya di lapangan. Jika dikaitkan dengan pendapat Fuller tersebut maka jelaslah bahwa aturan-aturan yang dibuat khusus tentang PJJ di masa pandemi covid-19 ini hanya bersifat ad hoc
Kemudian aturan tersebut ada yang saling bertentangan, misalnya aturan tentang syarat bagi perguruan tinggi yang akan membuka PJJ minimal harus terakreditasi B dan harus memiliki izin dari kementerian, dan aturan tersebut tidak memiliki pengecualian.
Namun aturan itu menjadi tidak berarti ketika dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang mengatur masalah pelaksanaan pembelajaran dimasa pandemi covid-19. Karena di dalam edaran tersebut telah mengesampingkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah sekolah atau perguruan tinggi yang akan melakukan perkuliahan/pembelajaran secara daring atau jarak jauh.
Namun jika Indonesia dapat lolos dari Covid-19 maka bisa dipastikan kita telah memiliki modal masa depan yang sangat berharga. Salah satunya adalah modal kedisiplinan dalam bernegara dan kemampuan untuk mempersiapkan regulasi yang kokoh, sehingga melahirkan aturan-aturan yang tidak multitafsir serta memberikan kepastian hukum.
Regulasi yang kokoh tidak akan menimbulkan kegaduhan di tengah – tengah masyarakat yang merasa dirugikan karena adanya aturan tersebut. Saling bertentangannya antara aturan yang satu dengan aturan yang lain dapat menimbulkan kebingungan masyarakat dan menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi untuk dilakukan gugatan oleh pihak-pihak yang merasa memiliki kepentingan dalam aturan tersebut.
Pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 119 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, diatur bahwa pendidikan jarak jauh menggunakan berbagai sumber belajar melalui penerapan prinsip-prinsip teknologi pendidikan/pembelajaran.
Kerap kali frasa “penerapan prinsip-prinsip teknologi” ini kemudian yang seringkali diartikan sebagai penerapan pembelajaran daring menggunakan perangkat keras dan aplikasi perangkat lunak oleh masyarakat.
Keberadaan hukum diperlukan untuk melindungi dan memenuhi hak-hak atas pendidikan bagi para warga negaranya. Karena sebagai negara hukum yang mengakui HAM, Indonesia harus menerapkan hukum yang sesuai dengan perlindungan HAM.
Namun tetap dengan memperhatikan Pancasila yang menjadi volksgeist atau “jiwa bangsa” Indonesia, supaya pengembangan hukum nasional dalam konstitusi dapat menjadi lebih lengkap, komprehensif dan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Penulis adalah Ketua LBH Teguh Wicaksono Indonesia Cabang Jepara