blank
Ole Gunnar Solskjaer. Foto: dok/manutd

blank

Oleh: Amir Machmud NS

// tak henti-henti aral tiba/ tak berhenti pula langkah terayun/ tak pernah jeda pikiran memutar/ hingga saat itu tiba/ entah kapan/ apakah musim belum berpihak/ apakah waktunya telah tiba/ dan tak segunung batu pun/ mampu menghalang…//
(Sajak ‘Jalan Cinta Solskjaer’, 2021)

DAN, Ole Gunnar Solskjaer terus berjalan, selalu dengan cinta.
Karena dia mencintai klub ini, Manchester United.
Karena dia tak pernah berhenti membuka jendela Theatre of Dream.
Karena dia sangat mengenal detail tribune, bahkan angin dan rumput Old Trafford, pada setiap sudut.
Karena Solskjaer adalah salah satu di antara Setan Merah yang berjiwa merah, berkarakter merah, dan semerah itulah hasrat yang tak surut dari waktu ke waktu. Baginya, Manchester is red.

Dulu, saat menjadi salah satu penggawa kepercayaan Sir Alex Ferguson, dia sudah merah. Dan kini, saat menghayati apa yang dulu Fergie rasakan, tak pernah luntur merahnya.

Lantaran cinta maka Solskjaer menjadi kuat. Dalam ikatan kimiawi jiwa dengan MU, dan dalam tanggung jawab lebih rumit, karena kini dia panglima untuk memberi arah dan warna bagi anak-anak Old Trafford.

Di bawah kendali Solskjaer, MU nomor dua di Liga Primer. Di Liga Europa juga nomor dua. Pun baru “sampai” semifinal untuk Piala FA dan Piala Liga. Artinya, musim ini dia nir-gelar di semua ajang.

Bandingkanlah, si “tetangga yang berisik”, Manchester City mulus membukukan trofi Liga Primer dan Piala Liga. Sang musuh klasik, Chelsea sukses besar di Liga Champions, sedangkan Leicester City dengan mantap membendaharakan Piala FA.

Anda ingat bukan, karena penampilan yang menjanjikan di separuh musim, MU bahkan sempat diproyeksikan untuk kemungkinan meraih treble winners. Dan, ketidakkonsistenan-lah yang akhirnya merusak kelempangan jalan mereka.

* * *

TENTU bisa dipahami, inkonsistensi itu membuat Ole Gunnar Solskjaer belum merasa tenang. Rupanya dia belum menemukan terapi tepat. Memasuki musim 2021-2022, dia dikategorikan beruntung karena masih dipercaya oleh manajemen MU.

Pria Norwegia itu berhak merajut lagi mimpi meraih gelar pertama untuk Setan Merah dalam posisi sebagai pelatih. Ketika menjadi pemain, The Baby Face Assassin merasakan nikmat aneka trofi, termasuk bersama Teddy Sheringham mencatat momen sebagai penentu kemenangan dalam final dramatis Liga Champions 1999.

Sebagai arsitek tim, gegalau hati yang dirasakan tentu berbeda. Dia bertanggung jawab untuk merancang, memberi jiwa, memotivasi, mentransformasi karakter, meracik taktik, menaklukkan ruang ganti, dan mengeksekusi kebutuhan-kebutuhan tim.

Setelah berhasil mempertahankan Edinson Cavani yang musim kemarin terbukti menjadi striker pembeda, akan terwujudkah kemauan merekrut Jadon Sancho? Bagaimana pula dengan follow up keterpincutan pada Harry Kane, Kieran Trippier, dan Raphael Varane? Mantap pulakah dia melepas Paul Pogba?

Dibandingkan dengan City dan Chelsea yang sedang bergembira, karakter permainan MU belum sepenuhnya terasa. Yang paling menonjol adalah ketidakajegan performa. Ada kalanya tampil luar biasa, pada laga yang lain tiba-tiba anjlok seperti berlevel medioker. “Penyakit” inilah yang membuat Harry Maguire dkk tersalip oleh City pada paruh kedua musim.

Pekerjaan rumah Solskjaer untuk mengatasi inkonsistensi antara lain membutuhkan topangan stok rotasi pemain yang mantap. Dia sudah punya pilar pada setiap posisi, tinggal memperkuat dengan kedalaman skuad.

Musim 2021-2022 agaknya menjadi ajang pembuktian yang memantapkan penilaian: bagaimana merawat sentralitas peran Bruno Fernandes, mendeterminasi peningkatan signifikan Scott McTominay, konsistensi Luke Shaw, memulihkan performa Marcus Rashford, memberi kesempatan lebih besar kepada Mason Greenwood, dan mengeksplorasi kematangan Cavani.

Selain PR internal, realitas bahwa Manchester Biru sudah mematok konfidensi di orbit elite Liga Primer, tentu menjadi tantangan bagi MU. Begitu juga Chelsea yang pasti terlecut sukses di panggung Eropa.

Dari jendela Teater Impian, Solskjaer menatap (harus) dengan keyakinan dan keberanian. Bukankah Manchester Merah punya DNA juara sebagai sejarah?
Aura itu pantas memotivasi, bukan justru membebani…