Oleh: Amir Machmud NS
RESAPILAH dari relung paling hening, akan kau rasakan betapa sepak bola adalah ungkapan cinta yang sangat membahana.
Dalam sebundar bola, tersimpan sejuta rasa.
Dalam sebundar bola, tak pernah kering narasi berderet puisi.
Dia — sepak bola — ada dan terkadang membuncah sebagai kristal rasa, karsa, dan karya cipta manusia.
Dia memancarkan daya yang memaku hati lewat magnet keindahan. Bahkan para pecintanya tak menolak diberi label ekstrem “gila bola”.
Gila karena cinta. Cinta karena tergila-gila. Gila dan cinta karena bola. Inikah adonan karsa yang lalu membentuk hamparan semesta rasa?
Anda akan merasakan, betapa cinta membadai hingga puncak kompetisi Eropa musim ini tergelar di Estadio do Dragao, Porto, pekan lalu. Di sana, sepak bola menegaskan ruap cinta yang memancar ke pelbagai penjuru dunia.
Kepul aromanya menembus sekat-sekat negara, tak cukup menjadi urusan perang uang Roman Abramovich dan Sheikh Mansour. Tak hanya menjadi ajang kejeniusan Thomas Tuchel dan Pep Guardiola. Tak cukup mengimpulsikan harga diri para bintang yang memilari kedua pasukan. Tak pula sekadar merepresentasikan seteru sepak bola Kota London dan Manchester.
Dan, kalau Anda ungkapkan cinta paling indah dari laga final itu, mungkin N’Golo Kante yang berhak menerimanya. Bahkan sang pencetak satu-satunya gol, Kai Havertz berada di bawah level cinta untuk pahlawan rendah hati dengan senyum pemalu itu.
Kante adalah curahan cinta fans Chelsea, lewat ungkapan dedikasinya untuk keluarga besar Stamford Bridge.
Maka ketika bursa calon penerima Ballon d’Or 2021 mulai beredar, dan Kante diposisikan sebagai salah satu kandidat, rasanya atas nama cinta pula, itu merupakan apresiasi yang memadai.
* * *
PERNAHKAH mengalkulasi, mengapa Anda menjadi fans Chelsea? Mengapa pula sebagian dari Anda mengagumi tanpa syarat Manchester City?
Kita pun, dengan serta-merta bermakmum kepada Pep Guardiola sebagai “imam sepak bola indah”, lalu kini mulai terbuai “syariat” sepak bola efektif ala Thomas Tuchel.
Ketakziman itu muncul secara naluriah tanpa baiat, berkembang menjadi ritus kepengikutan dari penikmatan, apresiasi, dan lama-lama ketakjuban.
Dan, bukankah itu bagian dari bukti sepak bola adalah cinta? Itulah pertautan hati yang tanpa syarat, seperti model-model kepengikutan berbasis “fanshood” yang tiba-tiba mengikat dan memunculkan fanatisme yang sulit dipahami.
Bagaimana Anda mula-mula mengagumi Manchester United, Liverpool, Chelsea, Arsenal, Barcelona, Real Madrid, AC Milan, Inter Milan, Juventus, atau Bayern Muenchen?
Cinta lazimnya setia pada “protokol purba” dari mata turun ke hati, logika keterpincutan lantaran magnetika pesona. Atau falsafah Jawa mengenal “witing tresna jalaran saka kulina”.
Tanda-tanda fisikkah yang menjadi pengikat manusia untuk mencintai sebuah klub sepak bola? Karena pesona para bintangnya, corak permainan, keunggulan pelatih, momentum yang bersentuhan dengan sensitivitas kehidupan pada suatu ketika, realitas psikografi, atau apa?
Pemuja Manchester United boleh jadi bilang, dia suka klub Theater of Dream itu karena bermula dari detail pengenalan terhadap sebuah klub sepak bola. Seperti itu, misalnya.
Atau yang sesederhana ini, Anda mencintai Liverpool karena ada faktor Mohamed Salah di sana. Nah, apabila suatu ketika Mo Salah tak lagi menjadi bagian dari keluarga Anfield Road, apakah Anda akan melepas pula cinta kepada Si Merah? Tetapi mengapa hati dan rasa itu tetap bertaut sebagai chemistry dukungan?
Bagi para pemuja Barcelona, Lionel Messi-kah faktor keterpincutan itu? Atau ada kosmologi rasa yang menyatukan fakta-fakta itu: Barca dan La Pulga memang pantas dicintai?
* * *
SELAIN cinta, sepak bola mengetengahkan kisah-kisah manusia dalam industri yang kadang terlihat garang. Alur pikir profesionalisme bisa melambungkan pemain atau pelatih; bisa pula membenamkannya. Lika-liku praksis profesionalisme juga bisa membuat seseorang merasa nyaman atau terbuang di lingkungannya.
Kosmologi rasa membentangkan semesta sepak bola dengan aneka karakter manusia. Ada benci dan cinta. Ada dendam dan kelembutan. Semua memancar sebagai bagian dari dinamika naik-turun hidup manusia dalam realitas bioritmis yang populer sebagai “Cakra Manggilingan”.
Di balik bundar bola ada cinta yang terbahasakan dengan pancaran aneka rasa. Ada kalanya kita menyerap dan menikmati ekspresi cintanya. Ada pula saat-saat cinta dan elok rasa itu menjadi milik “mereka”, yang sedang berada di seberang “kita”.
Sosok seperti N’Golo Kante, rasa-rasanya berhak berada di mana saja. Tidak di “kita”, tak pula di “mereka”.
Cinta sepak bola untuk dia. Untuk kehebatan, dan untuk senyum manisnya…
Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis olahraga, Ketua PWI provinsi Jawa Tengah