blank
Proses vaksinasi covid-19. Foto: dok/ist

Oleh: Achmad Sulchan & Uswatun Khasanah

blankVAKSINASI adalah pemberian vaksin ke dalam tubuh seseorang, untuk memberikan kekebalan terhadap suatu penyakit. Untuk itu, dalam rangka percepatan pencegahan dan penanggulangan wabah covid, pemerintah melaksanakan vaksinasi covid-19, yang menjangkau 181,5 juta orang atau 70 persen dari penduduk Indonesia pada tahun 2021, guna mencapai kekebalan kelompok (herd imunity).

Pelaksanaan vaksinasi covid-19 oleh pemerintah ditarget selesai dalam waktu satu tahun. Maka program vaksinasi tersebut akan terus berjalan, meskipun umat Islam sebentar lagi akan menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan.

Muncul pertanyaan di tengah masyarakat, tentang status hukum vaksinasi bagi orang yang menjalankan ibadah puasa Ramadan. Oleh karena itu, perlu ada penjelasan tentang status hukumnya bagi umat Islam, dalam menjalankan ibadah puasa tetap bersedia untuk divaksinasi.

Terhadap program pemerintah yang harus berjalan dengan baik, maka perlu adanya pedoman pada status hukum terhadap vaksinasi bagi orang yang menjalankan ibadah puasa Ramadan.

Berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahwa vaksinasi tersebut tidak membatalkan puasanya, karena zat yang berada ditenggorokan adalah sisa-sisa yang masuk lewat pori-pori.

Sedangkan yang membatalkan puasa adalah, sesuatu yang masuk lewat rongga yang terbuka, seperti jalan masuk ke tubuh atau jalur keluar darinya seperti mulut, kubul dan dubur, bukan dari pori-pori.

Pendapat al-Qasthalani dalam kitab Irsyadu al-Sari (7/96), yang menjelaskan bahwa, berobat karena sakit dan menjaga diri dari wabah adalah Wajib (al-Nisaa:102).

Sebagian pendapat dari ulama-ulama menyebutkan bahwa, sesuatu yang sampai pada perut itu membatalkan puasa, jika masuk lewat rongga badan yang terbuka. Dan sesuatu tersebut dianggap makanan dan atau minuman.

Pendapat-pendapat itu antara lain:
1. Pendapat Ibnu al-Hammam al-Hanafi dalam Kitab Fathu al-Qadir (2/330), bahwa yang membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk lewat rongga yang lazim, seperti mulut, kubul, dan dubur.
2. Ungkapan al-Rafi’I yang dinukil oleh al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ (6/313), bahwa sesuatu yang masuk ke perut dan membatalkan puasa itu dengan syarat, masuknya lewat rongga yang terbuka, dengan sengaja, dan dalam keadaan tidak lupa.
3. Pendapat Imam al-Ramli dalam kitab Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (3/165), bahwa jika sesuatu yang sampai pada perut itu terasa bermanfaat sebagai nutrisi bagi badan (makanan atau minuman), maka itu membatalkan puasa.
4. Pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim Syarh al-Mukoddimah al-Hadraniyah (246), bahwa termasuk yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu ke saluran perut melalui jalur rongga badan yang terbuka, sedangkan minyak oles, celak, atau air sebab mandi yang masuk lewat pori-pori tidak membatalkan.
5. Pendapat Imam al-Nawawi dalam kitab Raudhatu al-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muffin (2/358), bahwa obat yang masuk ke dalam daging tidak membatalkan puasa.

Selain itu, ada pendapat ulama-ulama mutaqaddimin, bahwa yang dimaksud al-huqnah (suntikan) yang membatalkan puasa adalah, sesuatu yang dimasukkan lewat dubur seseorang, antara lain:
a. Pendapat Imam Ahmad Al-Khatib al-Syarbini dalam kitab Muqhni al-Muhtaj ila Ma’rifati alfadz al-Minhaj (5/127): “(huqnah) yaitu sesuatu seperti obat yang masuk lewat dubur atau kubul tidak menyebabkan seseorang menjadi mahram (menurut pendapat yang kuat), karena tidak dianggap memberikan nutrisi. Karena huqnah tersebut berfungsi untuk melancarkan buang air besar. Pendapat yang kedua, huqnah tersebut menyebabkan kemahraman sebagaimana hal tersebut membatalkan puasa.
b. Pendapat Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi dalam kitab Syarh Zad al-Mustaqni (4/103): Ungkapan (atau huqnah), seperti memasukkan sesuatu ke dubur. Mereka berpendapat bahwa itu membatalkan puasa, karena sesuatu yang dimasukkan tersebut sampai pada lambung, dan seseorang dapat merasakan makanan serta dapat dirasakan adanya obat dan proses penyembuhan.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dan dari pendapat, saran, serta masukan yang berkembang dalam Sidang Pleno Komisi Fatwa MUI pada tanggal 16 Maret 2021, bertepatan dengan 2 Rajab 1442 H, dengan bertawakal kepada Allah SWT, maka MUI memutuskan dan menetapkan, Fatwa Tentang Hukum Vaksinasi Covid-19 Saat Berpuasa, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum.
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
a). Vaksinasi adalah proses pemberian vaksin dengan cara disuntikkan atau di teteskan ke dalam mulut untuk meningkatkan produksi antibodi guna menangkal penyakit tertentu.
b). Injeksi intramuscular adalah injeksi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat atau vaksin melalui otot.

2. Ketentuan Hukum.
a). Vaksinasi covid-19 yang dilakukan dengan injeksi intramuscular tidak membatalkan puasa.
b). Melakukan vaksinasi covid-19 bagi umat Islam yang berpuasa dengan injeksi intramuscular, hukumnya boleh sepanjang tidak menyebabkan bahaya (dlarar).

Berdasarkan hal-hal tersebut, MUI merekomendasikan dalam Fatwa Nomor 13 Tahun 2021 tentang Hukum Vaksinasi Covid-19 Saat Berpuasa, adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah dapat melakukan vaksinasi covid-19 pada saat bulan Ramadan untuk mencegah penularan wabah covid-19, dengan memperhatikan kondisi umat Islam yang sedang berpuasa.
2. Pemerintah dapat melaksanakan vaksinasi covid-19 terhadap umat Islam pada malam hari bulan Ramadan, jika proses vaksinasi pada siang hari saat berpuasa dikhawatirkan menyebabkan bahaya akibat lemahnya kondisi fisik.
3. Umat Islam wajib berpartisipasi dalam program vaksinasi covid-19 yang dilaksanakan oleh Pemerintah, untuk mewujudkan kekebalan kelompok dan terbebas dari wabah covid-19.

Demikian status hukum vaksinasi covid-19 bagi orang dan atau umat Islam yang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan. Semoga fatwa MUI tersebut bisa dibuat pedoman dan dasar hukum, agar kita semua mematuhinya.

Dr H Achmad Sulchan SH MH (Dosen Fakultas Hukum dan DPL KKN Unissula) dan Uswatun Khasanah (Mahasiswa Fakultas Agama Islam dan Peserta KKN Unissula Semarang)