blank
Foto: dok/bluebay2014-Fotolia

Oleh: Catur Pramudito Damarjati

MEDIA yang seharusnya menjadi medium pembebasan bagi masyarakat terhadap cengkeram kekuasaan, acapkali jusru sebaliknya. Pembredelan majalah Tempo pada 1997, misalnya, menjadikan demokrasi tak lebih dari sekadar jargon kampanye menjelang pemilu.

Kabar gembira pada akhir 1965 mengenai surat perintah perpindahan kekuasaan, mengembuskan angin segar bahwa badai krisis politik, ekonomi, maupun gejolak sosial segera meredam. Selama beberapa periode kekuasaan Soeharto, arah demokrasi kembali menemukan jati dirinya dalam bingkai Pancasila.

Tak hanya pembenahan sektor pemerintahan, yang diawali dengan kejahatan genosida terbesar sepanjang sejarah pascarevolusi, Orde Baru memulai pembangunan ekonomi yang signifikan, pembangunan infrastruktur, serta keterbukaan media yang melahirkan stabilitas Nasional.

Marshall McLuhan yang dikutip Jakob Oetama, dalam Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus mengatakan, perangkat komunikasi atau media massa disebut sebagai The Extension of Men atau tangan panjang manusia. Lewat media massa, masyarakat mendapatkan informasi dan melanjutkan proses komunikasi. Proses ini juga dapat diartikan sebagai tanggung jawab media terhadap kontrol sosial.

Dalam periode awal Orde Baru, peran media menjadi pemain utama dalam proses pembebasan, terutama transparansi pemerintah kepada masyarakat. Beranjak ke tahun 1980-an, departemen penerangan yang memayungi seluruh industri penyiaran, melakukan pembredelan terhadap Tempo, yang ditengarai dari sebuah liputan kekacauan kampanye Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta.

Pembredelan tersebut dilakukan, karena pemerintah melarang segala pemberitaan mengenai konflik. Tentu hal ini berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi yang mengutamakan asas-asas kebebasan. Akibatnya, media mulai berjalan di bawah bayang-bayang kekuasaan.

Kehadiran media tak lain sebagai alat penguasa untuk melanggengkan tampuk kekuasaan. Pada zaman Orde Baru, pers diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers dan UU Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas UU No 11/1966.

UU tersebut memberi pandangan mengenai media sebagai wahana demokrasi dan penyaluran aspirasi masyarakat, serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif.

Hal ini tertuang di dalam Pasal 2 Ayat 3 UU 21/1982 tentang Perubahan atas UU 11/ 1966, yaitu: “Dalam rangka meningkatkan peranannya dalam pembangunan, pers berfungsi sebagai penyebar informasi yang objektif, menyalurkan aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara Pemerintah, pers dan masyarakat.”

Atau dapat dilihat dalam Pasal 2 Ayat 2 Huruf c: “Memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers yang bertanggungjawab”.

Di mata hukum, pers merupakan lembaga kemasyarakatan yang bebas dari kepentingan kekuasaan. Ia berbasis pada sektor industri media. Informasi dikelola dan disiarkan oleh sebuah perusahaan yang mengantungi izin usaha atau dikenal sebagai SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Departemen Penerangan.

Meskipun telah diatur sedemikian rupa, SIUPP justru menjadi semacam alat penguasa untuk melakukan pengawasan dan pengendalian sepihak oleh pemerintah. Media yang dianggap terlalu mengkritisi dan tidak sejalan dengan program pemerintah, dicabut SIUPP-nya, atau dibredel tanpa bukti kuat terjadinya pelanggaran hukum pers.

Jauh dari Angan Kemerdekaan
Tak dapat dipungkiri, media pada masa Orde Baru jauh dari angan kemerdekaan, meskipun pada periode awal hubungan pemerintah dan pers berjalan harmonis. Keharmonisan ini berubah setelah pembredelan dilakukan, dengan mengesampingkan UU 11/1966 maupun UU 21/1982.

Pemerintah yang seharusnya menjalankan amanat konstitusi justru merupakan pengkhianat terbesar terhadap nilai-nilai demokrasi. Alih-alih mengimpikan suatu bangsa yang makmur dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, masyarakat justru berjalan di bawah cengkeram kekuasaan yang otoriter.

Maka setelah 30 tahun berkuasa, akhirnya Orde Baru yang sarat akan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, menutup usia. Bangsa Indonesia membuka tirai baru reformasi dengan serangkaian tragedi, rentetan pembunuhan, dan kerusuhan. Ironisnya, seluruh tindak anarki tersebut berhasil melahirkan UU Hak Asasi Manusia dan UU 40/1999 tentang Pers yang disahkan pada 23 September 1999.

Mengawali periode reformasi, pembenahan demi pembenahan di berbagai sektor dilakukan. Kekuasaan yang sentralistik beralih menjadi otonomi daerah, UUD Pasal 28 kembali menjadi asas kebebasan masyarakat untuk menyampaikan pendapat melalui media sebagai wahana dialog serta menjamin hak-hak demokrasi.

Beragam langkah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk meningkatkan pembangunan Nasional. Reformasi tidak hanya menjadi babak baru bagi insan media menuju ke arah demokratisasi, tetapi juga menjadi awal bagi kemunculan media baru sebagai pengaruh arus globalisasi. Milenium baru hadir dengan teknologi komunikasi yang memperhitungkan segi kecepatan dan kepraktisan, mendesak pelaku media untuk melakukan konvergensi dan beralih pada media digital.

Perubahan yang sedemikian cepat ini, serta merta menimbulkan beberapa persoalan yang patut dipertanyakan. Yakni, keterancaman eksistensi media cetak dan media dalam bingkai industrial.

Dalam era industri media, lazimnya kepemilikan media tidak berada di tangan wartawan yang memiliki idealisme dan cita-cita luhur. Media modern didirikan justru oleh pelaku industri atau pemodal, yang memiliki bisnis inti di luar perusahaan media. Pendirian media dinilai semata-mata atas alasan finansial. Dapat dipahami, bahwa media sebagai agen pencerahan dan pembebasan, tidak diperhitungkan secara serius.

Dalam praktik, industri media sarat dengan kepentingan-kepentingan bisnis. Melalui agenda setting, media memberikan ruang penuh pengiklan untuk menggencarkan sikap konsumerisme agar masyarakat selalu membelanjakan uangnya untuk membeli produk terbaru. Munculah gelombang komersialisasi yang merambah di berbagai aspek kehidupan, terutama informasi. Makin tersuguhkan informasi hiburan untuk segmen masyarakat kelas menengah ke atas.

Akibatnya, ketimpangan sosial ekonomi terjadi di tengah arus pembangunan. Ironisnya, media merupakan agen utama yang bertanggungjawab atas terjadinya ketimpangan ini.

Menurut UU 40/1999 Pasal 3 Ayat 1, “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”.

Jelaslah, peraturan perundang-undangan dibentuk sedemikian rupa, agar media memiliki fungsi dan peran yang berimbang dan netral. Informasi dikelola dan disiarkan dalam rangka pembangunan Nasional. Hal ini menunjukkan, idealnya hukum menjadi kekuatan utama dalam asas-asas bermedia. Nyatanya, media sangat dipengaruhi oleh kekuatan industri yang berorientasi laba.

Danny Schechter, kritikus media dalam buku Matinya Media: Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi menulis, pekerja media, khususnya jurnalis paham betul terjadi tekanan korporasi yang membuat mereka tak berdaya untuk melawan.

Kritikus Jhon Leonar menyatakan, “Sensor yang paling membelenggu diri adalah kesempatan naik jabatan ke posisi terpuncak atau jatuh terjungkal dari jenjang karier”.

Tentu hal ini merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan para wartawan, mengingat mereka haruslah menaati profesionalitas dan etika jurnalistik dalam korporasi media yang pelik.

Sampai sini dapat dilihat, kemajuan teknologi membawa serta keterbukaan yang bersifat positif bagi masyarakat, untuk berpartisipasi secara aktif. Yakni dengan membangun komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Di sisi lain, media dalam bingkai industrial, sekali lagi menjauhkan diri dari hakikat kemerdekaan dan independensi.

Media menciptakan ketimpangan yang luar biasa di masyarakat, memunculkan keseragaman berita dan dominasi, mengunggulkan nilai-nilai Barat yang berakibat menggeser sikap gotong royong dalam basis komunitas menjadi individualis-konsumerisme. Beragam upaya dilakukan oleh para pemodal untuk menggenjot laba sebagai tujuan utama.

Maka ada baiknya kita mawas diri mempertanyakan kembali, apa sesungguhnya hakekat kemerdekaan?

Kita dilahirkan oleh sebuah anggapan, kebebasan adalah anugerah yang harus didapatkan, bagi individu, kelompok maupun sebuah bangsa. Akibatnya, manusia saling menuntut satu sama lain, menyakiti sebagai hak, dan yang lebih buruk dari itu, penindasan. Tidakkah kita menyadari, sejarah menjadi pertumpahan darah ketika menyinggung soal kebebasan?

Kemerdekaan adalah perihal batas untuk tidak saling mencederai dan kebebasan adalah persoalan jarak agar kemanusiaan tetap terjaga.

Catur Pramudito Damarjati, Mahasiswa Fiskom UKSW Salatiga